Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Wong Cilik dan Inlander: Simbolisme dan Retorika dalam Pidato Prabowo
21 Oktober 2024 10:19 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Apakah benar kita merdeka jika rakyat kecil masih menderita?" Kalimat ini seakan menjadi inti dari pidato prabowo dalam inagurasi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2024–2029. Dalam pidatonya, Prabowo Subianto membangkitkan narasi tentang wong cilik dan istilah inlander, membawa kita pada kisah sejarah yang mendalam dan emosi kolektif bangsa. Namun, kenapa Presiden Prabowo mengangkat tema-tema ini? Apa sebenarnya makna di balik penggunaan istilah ini?
ADVERTISEMENT
Mengurai Rangkaian Tema dalam Pidato Prabowo
Pidato Presiden Prabowo memuat sejumlah tema besar yang menggarisbawahi komitmen dan pandangannya tentang masa depan bangsa. Salah satu tema yang paling menonjol adalah soal kemiskinan dan ketidaksetaraan. Prabowo secara eksplisit menyebutkan bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, bahkan anak-anak yang harus berangkat sekolah tanpa sarapan. "Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi," ujarnya. Kutipan ini memperlihatkan bahwa perhatian Prabowo sangat tertuju pada kesejahteraan rakyat kecil, yang menjadi inti dari pidato dan janji-janji politiknya.
Selain itu, Prabowo juga mengangkat tema penghargaan terhadap perjuangan masa lalu. Dalam pidatonya, ia dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa ini diraih berkat pengorbanan terbesar dari wong cilik—rakyat kecil yang berjuang memberi makan para pejuang saat masa-masa sulit. Ia mengingatkan, "Dan kita harus paham dan ingat selalu pengorbanan yang paling besar adalah pengorbanan dari rakyat kita yang paling miskin, wong cilik, yang berjuang memberi makan kepada pejuang-pejuang." Penggunaan istilah ini memperlihatkan bahwa Prabowo tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga menjadikannya sebagai landasan untuk masa depan yang lebih inklusif.
ADVERTISEMENT
Tema lain yang mencuat adalah persatuan dan kolaborasi nasional. Prabowo berkali-kali menyerukan pentingnya bersatu menghadapi tantangan bangsa. "Marilah kita kerja keras dan berjuang tanpa menyerah. Mari kita menghimpun dan menjaga semua kekayaan kita," serunya. Seruan ini menggambarkan visi Prabowo untuk menyatukan seluruh elemen bangsa, termasuk wong cilik, dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Prabowo juga menegaskan komitmen Indonesia terhadap perdamaian dan kebijakan luar negeri yang bebas aktif. Ia menolak aliansi militer, namun tetap membuka pintu untuk menjalin persahabatan dengan berbagai negara. "Kita memilih jalan bersahabat dengan semua negara... kita ingin menganut filosofi kuno: seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak," kata Prabowo. Sikap ini menegaskan bahwa meski Indonesia menjaga hubungan baik dengan dunia internasional, kedaulatan bangsa tetap menjadi prioritas.
ADVERTISEMENT
Wong Cilik & Inlander: Dari Romantisme Sejarah ke Kebijakan Masa Kini
Dalam pidatonya, Prabowo menyebut istilah "wong cilik" sebanyak empat kali. Setiap penyebutan bukan hanya sekadar pengulangan, tetapi membawa konteks yang berbeda, menggambarkan rakyat kecil sebagai sosok sentral dalam sejarah perjuangan dan pembangunan bangsa. Ketika ia menyatakan, "Cita-cita kita adalah melihat wong cilik iso gemuyu, wong cilik bisa senyum, bisa tertawa," Prabowo menempatkan wong cilik sebagai inti dari visi kebijakannya. Ia mencoba menyampaikan bahwa pemerintahannya berkomitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil dan memastikan bahwa mereka yang telah berkorban tidak dilupakan.
Prabowo tidak berhenti pada masa lalu; ia juga menghubungkan narasi wong cilik dengan kebijakan masa kini, terutama dalam konteks pandemi COVID-19. Ia menekankan bahwa keputusan-keputusan yang diambil harus mempertimbangkan nasib wong cilik, warteg, dan ojol—kelompok yang bergantung pada pendapatan harian. Dengan menyebut kelompok-kelompok ini, Prabowo mencoba meyakinkan audiens bahwa pemerintahannya akan berakar pada kepentingan rakyat kecil, menciptakan narasi bahwa pemerintah ini akan berpihak pada wong cilik.
ADVERTISEMENT
Selain menggugah narasi tentang wong cilik, Prabowo juga mengangkat kembali istilah inlander, sebuah istilah kolonial yang merendahkan rakyat pribumi. Ia mengenang bagaimana istilah ini tertulis di prasasti masa kolonial yang ia lihat sendiri di Manggarai pada tahun 1978. "Kita bahkan digolongkan lebih rendah dari anjing, banyak prasasti dan marmer papan-papan di mana disebut hhonden en inlander verboden. Saya masih liat prasasti di kolam renang Manggarai tahun 78," katanya. Ungkapan ini menggambarkan bagaimana Prabowo menghubungkan memori sejarah bangsa dengan emosi pribadinya, menggugah perasaan kolektif bahwa bangsa ini telah mengalami penindasan yang berat di masa lalu.
Namun, narasi ini bukan sekadar pengingat luka. Prabowo menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bahwa rakyat kecil yang dulu dianggap rendah, kini harus dihormati sebagai kekuatan utama bangsa. Narasi inlander ini digunakan untuk memperkuat pesan solidaritas dan nasionalisme, mengajak seluruh rakyat, terutama wong cilik, untuk bangkit bersama dan menjaga kedaulatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Simbolisme dalam Narasi Wong Cilik dan Inlander
Untuk memahami lebih dalam tentang simbolisme yang digunakan Prabowo, kita perlu melihatnya dari sudut pandang semiotika menggunakan model yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Mengapa ini penting? Karena Barthes memungkinkan kita untuk membedah tidak hanya makna literal dari istilah “wong cilik” dan “inlander,” tetapi juga makna konotatif dan bagaimana simbol-simbol ini membangun citra politik dan moral yang ingin disampaikan. Prabowo tidak sekadar menggunakan istilah, melainkan mengubahnya menjadi simbol kekuatan moral dan patriotisme yang bisa menggugah emosi dan dukungan publik.
Dalam perspektif Barthes, “wong cilik” menjadi lebih dari sekadar rakyat miskin; ia adalah pilar moral dan kekuatan yang membangun negara ini. Demikian pula dengan “inlander”, yang di masa lalu digunakan untuk merendahkan rakyat pribumi, kini menjadi simbol kebangkitan dan martabat bangsa yang harus dijaga. Melalui simbol-simbol ini, Prabowo menciptakan jembatan emosional antara masa lalu dan masa kini, berusaha mengokohkan narasi tentang solidaritas dan harga diri nasional.
ADVERTISEMENT
Analisis Wacana Kritis
Lebih lanjut mari kita telaah wacana ini dari sudut pandang yang lebih kritis dengan meminjam model yang dikembangkan Van Dijk. Jika semiotika Barthes membantu kita memahami simbolisme dan makna tersirat dari pidato Prabowo , maka pendekatan Van Dijk memberikan pandangan yang berbeda namun saling melengkapi. Van Dijk menekankan bagaimana wacana dapat digunakan untuk membentuk kekuasaan dan memobilisasi dukungan. Dengan memahami bagaimana Prabowo menggunakan narasi “wong cilik” dan “inlander,” kita bisa melihat bagaimana ia tidak hanya menarik simpati publik, tetapi juga membangun legitimasi politik dan pesan kepada bangsa lain.
Penting untuk menganalisis ini, karena Van Dijk memberikan kerangka untuk memahami bagaimana wacana politik digunakan sebagai alat untuk mengukuhkan kekuasaan. Ketika Prabowo mengangkat narasi wong cilik, ia tidak hanya berbicara kepada rakyat kecil, tetapi berupaya menciptakan hubungan emosional yang memperkuat dukungan politik. Sementara itu, dengan narasi “inlander”, Prabowo mengirimkan pesan tegas kepada bangsa lain bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, yang siap menjaga harga diri dan kedaulatannya di panggung internasional.
ADVERTISEMENT