Konten dari Pengguna

Paradoks Digitalisasi: Ketika Teknologi dan Manusia Berjalan Beriringan

afzil Ramadian
Afzil Ramadian merupakan lulusan S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta dengan predikat Pujian, Afzil bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain bekerja sebagai ASN Afzil juga aktif mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen LABORA.
1 Oktober 2024 9:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari afzil Ramadian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto. Ilustrasi dalam Paradox Digitalisasi Transformasi Organisasi Foto.Afzil
zoom-in-whitePerbesar
Foto. Ilustrasi dalam Paradox Digitalisasi Transformasi Organisasi Foto.Afzil
ADVERTISEMENT
Kita hidup di era di mana teknologi digital merambah ke setiap aspek kehidupan. Bisnis pun tak luput dari transformasi digital. Namun, di balik pesatnya perkembangan teknologi, seringkali kita menemui paradoks yang menarik. Bagaimana bisa sebuah perusahaan sukses secara digital, namun di sisi lain masih memiliki kelemahan dalam hal teknologi informasi?
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda mendengar kisah startup rintisan yang berhasil meroket dengan model bisnis digitalnya, namun sistem IT internalnya masih sangat sederhana? Ini bukanlah hal yang aneh. Banyak perusahaan rintisan yang berhasil merebut pasar berkat ide brilian dan kecepatan adaptasi, namun belum sempat membangun infrastruktur IT yang solid.
Contoh: Sebuah startup e-commerce berhasil menarik jutaan pelanggan dengan aplikasi mobile yang user-friendly. Namun, di balik layar, sistem inventori mereka masih menggunakan spreadsheet manual, yang seringkali menyebabkan kesalahan dalam pemenuhan pesanan.
Menurut Wijaya (2023), fenomena ini tidak jarang terjadi di perusahaan yang tumbuh pesat. "Fokus pada pertumbuhan bisnis terkadang membuat perusahaan lupa untuk meningkatkan infrastruktur IT internal mereka," ujarnya dalam sebuah seminar di Jakarta.
ADVERTISEMENT

Digitalisasi Proses, IT Manual

Di sisi lain, ada juga perusahaan besar yang telah berhasil mendigitalisasi banyak proses bisnisnya, namun masih mengandalkan proses manual pada bagian-bagian tertentu. Ini sering terjadi karena adanya silo-silo data atau kurangnya integrasi antara sistem yang berbeda.
Contoh: Sebuah bank telah berhasil mengembangkan aplikasi mobile banking yang canggih, namun proses verifikasi identitas nasabah baru masih dilakukan secara manual, yang berpotensi menimbulkan penundaan dan risiko keamanan.
Situasi ini, menurut Pratama dan Sari (2022), menggambarkan "digitalisasi parsial" yang sering terjadi di industri jasa keuangan. "Banyak bank fokus pada pengalaman nasabah di front-end, tapi lupa bahwa back-end juga perlu didigitalisasi untuk efisiensi maksimal,"

IT maturity Tinggi, Praktik Konvensional

Paradoks terakhir adalah perusahaan yang memiliki infrastruktur IT yang sangat canggih, namun praktik bisnisnya masih sangat konvensional. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pemahaman tentang bagaimana memanfaatkan teknologi untuk menciptakan nilai tambah bagi bisnis.
ADVERTISEMENT
Contoh: Sebuah perusahaan manufaktur telah menginvestasikan banyak uang dalam sistem otomasi pabrik, namun masih mengandalkan rapat-rapat tatap muka yang panjang untuk membuat keputusan bisnis.
Fenomena ini dikenal sebagai "maturity trap", di mana perusahaan terlalu fokus pada pencapaian skor atau sertifikasi tanpa benar-benar mengubah budaya kerja. Rahman (2024) dalam bukunya "Transformasi Digital: Beyond the Hype" menyoroti pentingnya perubahan mindset, bukan hanya teknologi.

Mengapa Paradoks Ini Terjadi?

Beberapa faktor yang menyebabkan paradoks ini antara lain:
ADVERTISEMENT

Bagaimana Mengatasi Paradoks Ini?

Untuk mengatasi paradoks digitalisasi, perusahaan perlu:

Kesimpulan

Transformasi digital adalah perjalanan yang kompleks dan penuh tantangan. Meskipun teknologi menawarkan banyak peluang, perusahaan perlu memahami bahwa teknologi hanyalah alat. Suksesnya transformasi digital bergantung pada bagaimana perusahaan mengelola perubahan dan memanfaatkan teknologi untuk menciptakan nilai tambah bagi bisnis dan pelanggan.
ADVERTISEMENT
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari paradoks ini? Pertama, transformasi digital harus menyeluruh, tidak bisa setengah-setengah. Kedua, jangan terpaku pada penampilan luar atau sertifikasi semata. Yang terpenting adalah bagaimana teknologi benar-benar mengubah cara kerja dan memberikan nilai tambah.
Bagi Anda yang sedang dalam proses transformasi digital, ingatlah bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam. Teknologi hanyalah alat, yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakannya untuk membuat pekerjaan lebih efisien, produktif, dan bermakna.