Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kenapa Hamas yang Menyerang Roket Duluan, Israel yang Disalahkan?
16 Mei 2021 11:11 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 26 Mei 2021 7:19 WIB
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Begitulah salah satu pertanyaan yang mungkin berseliweran di antara teman-teman, kerabat, hingga warganet di media sosial berkaitan dengan konflik Israel dan Palestina yang belakangan mencuat.
ADVERTISEMENT
Ada pendapat yang saling bertentangan. Di satu sisi, mengecam Israel atas serangan bertubi-tubi yang menewaskan ratusan orang termasuk puluhan anak.
Di sisi lain, ada yang menyalahkan Hamas (faksi politik di Palestina khususnya Gaza) karena menyerang Israel lebih dulu dengan ratusan roket. Ini juga disebut menyebabkan sejumlah warga sipil termasuk anak-anak tewas.
Lalu bagaimana sebaiknya kita memahami konteks pertentangan wacana tersebut?
Memahami Duduk Perkara
Semua orang tahu peribahasa tidak ada asap kalau tidak ada api. Sering kali, dari kejauhan kita hanya melihat asap sebuah permasalahan tapi tidak mengetahui di mana letak api penyebab asap itu berada/berasal.
Begitu pula dengan permasalahan konflik Israel-Palestina yang belakangan terjadi. Acap kali orang hanya mengetahui ada konflik di mana Hamas menembakkan roket, lantas Israel menangkis dengan Iron Dome (pertahanan udara Israel), kemudian Israel membalas dengan serangan udara ke sejumlah target di Palestina.
ADVERTISEMENT
Dari situ seolah-olah Israel sedang dalam posisi membela diri (self defence). Ini tampak ketika konflik sudah mencuat berupa pertempuran, dan penyebab konflik itu dilupakan atau terlewat.
Padahal sebab konflik sudah dimulai ketika Israel berencana menggusur permukiman warga Palestina di Sheikh Jarrah dan membangun permukiman yahudi di atas tanah itu. Sejumlah keluarga Palestina yang tinggal berpuluh tahun lamanya di sana dipaksa pindah.
Protes pun timbul atas rencana pencaplokan tanah tersebut. Bentrokan antara polisi Israel dan demonstran terjadi di sejumlah wilayah Tepi Barat.
Ketegangan bertambah saat setelah salat Jumat terakhir bulan Ramadhan di Kompleks Masjid Al Aqsa, warga muslim Palestina bentrok dengan aparat keamanan Israel. Padahal salat Jumat digelar khusyuk di tempat suci ketiga umat muslim itu.
ADVERTISEMENT
Setelah salat Jumat usai, polisi menembaki warga dengan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa. Mereka mengubah tempat suci itu menjadi tempat berdarah. Sejumlah warga dilaporkan terluka.
Dari kejadian itulah, Hamas mengultimatum Israel agar menghentikan kekerasan di Kompleks Masjid Al Aqsa. Jika tidak, mereka akan membalas tindakan tersebut dengan serangan roket. Dan terjadilah serangan balasan itu.
Memahami Prinsip Perang
Tidak ada benar atau salah karena memulai perang lebih dulu. Yang ada adalah apakah perang itu sah (justified) atau tidak. Teori perang macam ini muncul dalam doktrin just war yang berkembang berabad-abad dalam pandangan kekristenan hingga kemunculan hukum humaniter internasional pada Konvensi Den Haag hingga Jenewa.
Dua prinsip yang dipegang dalam doktrin tersebut adalah jus ad bellum dan jus in bello. Yang pertama berkaitan dengan bagaimana suatu pihak bisa dibenarkan memulai peperangan. Yang kedua berkaitan dengan bagaimana perang itu mesti dilangsungkan.
ADVERTISEMENT
Banyak turunan dari dua prinsip tersebut. Pada prinsip jus ad bellum, salah satu yang mesti ada yakni alasan berperang yang dibenarkan. Apakah perang itu ditujukan untuk mencegah agresi, melindungi nyawa orang banyak, dan lain-lain? Atau hanya untuk mencaplok atau menguasai wilayah demi kepentingan negara tersebut?
Pada era modern, jus ad bellum dikenal maknanya oleh komunitas internasional sebagai upaya self defence. Perang itu, secara sederhana, mesti dilaksanakan dalam rangka membela diri atau membela pihak lain yang diperlakukan tidak adil atau terancam.
Sedangkan pada jus in bello, dikenal berbagai prinsip pelaksanaan perang yang adil. Di antaranya membedakan antara kombatan (tentara/pasukan bersenjata) dan non kombatan (sipil/palang merah/prisoner of war).
Selain itu, pertempuran mesti dilakukan berdasarkan military necessity, misalnya hanya menghancurkan objek militer yang dianggap perlu, hingga penerapan asas proporsionalitas dengan tidak menarget objek-objek sipil secara membabi buta demi keunggulan militer.
ADVERTISEMENT
Yang Dilakukan Hamas dan Israel
Jika ditanya siapa yang memulai perang akhir Ramadhan tahun ini, tentu jawabannya memang Hamas karena secara de facto ia menyerang pakai roket terlebih dahulu. Namun, jika ditanya apakah tindakan itu sah, tentu saja jawabannya sah dan bisa dijustifikasi sesuai doktrin just war.
Musababnya, menilik duduk perkaranya, upaya Hamas ini awalnya merupakan ultimatum atas tindakan polisi Israel yang melakukan upaya represif atas umat Muslim yang mengunjungi Kompleks Masjid Al Aqsa. Sebab ini diperkuat dengan adanya rencana penggusuran permukiman warga Palestina di Sheikh Jarrah.
Hal itulah yang menjadi sebab banyak pihak mengecam dan menyalahkan Israel atas peperangan yang terjadi belakangan ini. Jika tindakan represif Israel itu dihentikan, harapannya tak perlu ada serangan roket dari Gaza. Namun, hal ini tidak digubris Israel yang berujung pada peperangan bersenjata.
ADVERTISEMENT
Sayangnya komunitas internasional justru hanya fokus pada upaya retaliasi Israel terhadap serangan roket-roket tersebut. Sehingga, mereka menganggap upaya self defense hanya dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.
Hal itu diperkuat dengan komentar Presiden AS Joe Biden yang membela Israel dengan pernyataan, "Israel punya hak untuk membela diri (wilayahnya)." Seolah yang membela diri hanya Israel, padahal Palestina juga sedang membela diri atas tanahnya yang hendak dicaplok hingga upaya represif dan sewenang-wenang polisi di Masjid Al Aqsa.
Analoginya, bagaimana seandainya sejengkal tanah Indonesia memiliki sengketa dengan Malaysia? Lihatlah sejarah bagaimana Indonesia bereaksi dengan adanya Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1962. Konteks macam ini juga mirip dengan apa yang dilakukan Hamas terhadap Israel: sama-sama membela diri atas sebab tindakan/laku tertentu dari entitas lain.
ADVERTISEMENT
Pembelaan AS terhadap Israel yang berpihak juga cukup kentara ketika beberapa waktu sebelum pernyataan Biden, jubir Kemlu AS Ned Price gelagapan saat ditanya wartawan soal self defense. Wartawan justru bertanya sebaliknya, apakah Palestina yang warga dan anak-anaknya tewas karena serangan Israel punya hak untuk membela diri?
Ned Price tak menjawab tegas iya atau tidak. Ia justru berdalih masih mengikuti perkembangan informasi di lapangan dan belum bisa mengkonfirmasi ada warga dan anak-anak yang tewas di pihak Palestina.
Alih-alih menuding siapa yang memulai perang—yang mana tidak ada benar atau salah soal itu—komunitas internasional mesti fokus pada pelaksanaan perang itu sendiri. Apakah perang itu sudah sesuai prinsip jus in bello dan hukum humaniter internasional?
ADVERTISEMENT
Kenyataan di lapangan, warga sipil dan anak-anak tewas karena masing-masing pihak tidak mengikuti prinsip-prinsip perang yang sudah ditentukan tersebut.
Pihak Hamas menarget roket ke Israel mengenai sipil lantaran teknologi roket buatan sayap militer Izzuddin al-Qassam itu sebagian memang tidak dirancang untuk mendiskriminasi target atau tidak ada pemandunya.
Adapun dari pihak Israel sendiri kerap menyerang Palestina secara tidak proporsional: misalnya menarget gedung sipil seperti perkantoran hingga sekolah. Teranyar, pihak Israel meluluhlantakkan gedung yang terdapat kantor Al Jazeera dan Associated Press.
IDF (tentara Israel) berdalih serangan itu dilakukan karena infrastruktur tersebut digunakan juga sebagai markas militer Hamas. Namun benar atau tidak dalih itu, tetap saja, serangan ini melanggar hukum humaniter internasional karena menarget infrastruktur non kombatan sehingga dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang.
ADVERTISEMENT
Yang Mesti Dilakukan Komunitas Internasional
Demi kemanusiaan, tentu peperangan mesti dihentikan. Tapi hal itu tak akan terjadi dengan sendirinya oleh pihak yang berkonflik sebelum ada yang kalah atau luluh lantak salah satunya. Karenanya diperlukan dukungan komunitas internasional menghentikan perang ini untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.
Di antara upaya yang bisa dilakukan komunitas internasional soal situasi yang sedang berkembang saat ini adalah:
ADVERTISEMENT
***
Kuningan, 16 Mei 2021
- Agaton Kenshanahan S.H.Int.
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 21:56 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini