Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Mungkinkah Rakyat Biasa Mampu Mendamaikan Israel-Palestina?
23 Juli 2024 13:38 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Dalam langkah bersejarah pembukaan Konsulat Kehormatan Indonesia pada 13 Maret 2016 di Ramallah, Tepi Barat, Palestina, Israel terang-terangan menampar kehormatan Indonesia dengan tidak mengizinkan over flight helikopter angkatan udara Yordania yang bakal mengangkut Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi ke sana.
ADVERTISEMENT
Urung dilaksanakan di Ramallah, acara pembukaan konsulat kemudian digeser di Ibu Kota Yordania, Amman. Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang sedianya menjamu Retno malah repot-repot terbang ke Amman menghadiri acara tersebut.
Terungkaplah kemudian bahwa setelahnya Menlu Retno bukan hanya sekali itu hendak ke Palestina, tetapi berulang kali. Hanya saja lagi-lagi Israel tak memberi izin Retno masuk. Meski Retno mau memasuki wilayah Palestina, tetapi Israel secara de facto turut menguasai wilayah udara di seluruh langit tersebut.
Kontras dengan situasi itu, pada 2018 PM Israel Benjamin Netanyahu justru berkenan menemui yang kini menjabat Ketum PBNU, Yahya Cholil Tsaquf alias Gus Yahya. Lalu pada awal Juli 2024, giliran Presiden Israel Isaac Herzog rela menemui lima tokoh Nahdlatul Ulama—yang foto pertemuannya viral di media sosial dan memantik kontroversi.
ADVERTISEMENT
Zainul Maarif, salah satu tokoh NU yang turut dalam pertemuan dengan Herzog, mengaku membawa misi perdamaian dan dialog lintas iman bersama langkahnya ke Israel. Meski belakangan diketahui, keberangkatannya disponsori oleh organisasi non-pemerintah pro Israel, ITREK.
Di media sosial, banyak yang meremehkan langkah Zainul. Pada intinya netizen memperingati: Jangankan pesan damai dari Zainul, resolusi Dewan Keamanan PBB hingga putusan International Court of Justice (Mahkamah Internasional) saja belum tentu didengar.
Pendapat tersebut ada benarnya. Hanya saja bukan berarti rakyat biasa–atau dalam istilah kajian Hubungan Internasional disebut “masyarakat internasional”–tak bisa berperan aktif dalam resolusi konflik Israel-Palestina.
Berkaca dari Perjanjian Oslo I
Awalnya tidak ada yang menyangka jika seorang sosiolog “biasa” asal Norwegia bernama Terje Rød-Larsen menjadi tokoh kunci dalam perundingan dan perjanjian tatap muka pertama antara perwakilan Israel dan Palestina melalui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)
ADVERTISEMENT
Larsen memimpin sebuah think tank bernama Fafo yang berfokus pada riset masalah sosial-ekonomi lokal dan internasional, termasuk di wilayah Palestina medio 1980-90an. Bersama istrinya Mona Juul yang merupakan diplomat Kemenlu Norwegia, keduanya berperan aktif dalam mempertemukan tokoh-tokoh Israel dan Palestina.
Larsen dan Mona menggunakan koneksi mereka untuk meyakinkan kedua belah pihak bahwa mediasi Norwegia bisa dipercaya. Mereka menekankan pendekatan informal dan rahasia untuk membangun kepercayaan dan memungkinkan diskusi yang lebih terbuka dan jujur.
Pertemuan rahasia itu awalnya bermula pada Desember 1992 yang dihadiri Dosen Universitas Haifa Yair Hirschfeld dan petinggi PLO Ahmad Qurei (Abu Ala) di London. Pertemuan ini merupakan batu loncatan mulainya pertemuan di Oslo, Norwegia, pada Januari 1993.
ADVERTISEMENT
Pada pertemuan berikutnya yang dikenal sebagai “Saluran Oslo”, Hirschfeld ditemani rekannya sesama akademisi dan sejarawan Israel, Ron Pundak, bertemu Abu Ala. Fafo menyediakan tempat dan dukungan logistik untuk pertemuan ini, serta memastikan bahwa diskusi tetap rahasia dan terlindungi dari perhatian publik dan media.
Salah satu elemen penting dari mediasi Fafo adalah penekanan pada fleksibilitas dan pendekatan bertahap, yang memungkinkan kedua belah pihak untuk mencapai kemajuan tanpa harus menyelesaikan semua isu sekaligus seperti status Yerusalem, pengungsi Palestina, pemukiman Israel, keamanan dan perbatasan.
Pada Agustus 1993, setelah berbulan-bulan perundingan rahasia, para perunding berhasil menyusun deklarasi prinsip-prinsip. Dokumen yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Oslo ini memuat kerangka kerja untuk negosiasi lebih lanjut dan penetapan pemerintahan otonomi Palestina di beberapa wilayah Tepi Barat dan Gaza.
ADVERTISEMENT
Pada September 1993, Perjanjian Oslo secara resmi diumumkan dan ditandatangani di Washington D.C. dengan kehadiran Presiden AS Bill Clinton, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, dan Ketua PLO Yasser Arafat.
Meski terdapat kontroversi dan banyak yang menilai gagalnya Perjanjian Oslo, dalam sejarah ia tetap dicatat sebagai titik balik dalam konflik Israel-Palestina dan membuka jalan bagi upaya perdamaian lebih lanjut.
Apa yang Bisa Kita Petik?
Kisah Larsen dan Juul di atas merupakan salah satu bentuk keberhasilan masyarakat internasional yang ingin berperan dalam resolusi konflik. Salah satu gambaran berlangsungnya upaya perdamaian yang keduanya buat dapat Anda tonton dalam film Oslo (2021).
Namun keberhasilan itu tidak serta merta. Selain kepiawaian dan kepercayaan yang dibangun oleh mediator, Perjanjian Oslo barangkali tidak akan terjadi jika sedari awal kedua pihak berkonflik sudah enggan berdamai. Maka faktor pertama yang menjadi kunci keberhasilan Perjanjian Oslo ialah adanya intensi untuk damai.
ADVERTISEMENT
Dari sisi Israel, dorongan untuk berdamai dengan Palestina memang merupakan janji politik PM Yitzhak Rabin saat pemilu di Knesset pada 1992. Sebab, satu dekade ke belakang protes besar-besaran yang dikenal sebagai Intifada I (1987) berlangsung. Israel juga menghadapi kecaman dunia atas tindakan kerasnya terhadap demonstran Palestina.
Sedangkan dari pihak Palestina, Yasser Arafat kabarnya sejak 1979 sudah meminta Norwegia untuk menyediakan jalur komunikasi rahasia ke Israel. Dalam sesi diskusi HBO History Makers Series pada tahun 2006, Larsen menyebut Arafat terpaksa berdamai melalui Perjanjian Oslo karena PLO bangkrut secara politik dan finansial.
“Kesalahan strategisnya (Arafat) berpihak pada Saddam Hussein [yang kalah] dalam Perang Teluk menyebabkan kebangkrutan finansial bagi PLO. Dan sebenarnya ada oposisi yang kuat terhadapnya di dalam Fatah dan PLO,” ujar Larsen. Oslo, menurut Larsen, jadi jalan keluar Arafat keluar dari masalah ini
ADVERTISEMENT
Faktor kedua menekankan pentingnya kerahasiaan. Kita mengetahui bahwa Saluran Oslo merupakan saluran komunikasi tidak resmi antara otoritas Israel dan Palestina. Di hadapan publik, keduanya memiliki wibawa dan citra tak mengakui eksisnya entitas satu sama lain.
Maka saluran komunikasi tidak resmi acap digunakan sebagai upaya jaga-jaga sebuah negara menjalin relasi dengan negara lain tanpa merusak stance negaranya. Dalam kajian HI, ini disebut backdoor atau backchannel atau track II diplomacy yang tidak melibatkan aktor atau pejabat negara secara langsung, melainkan pihak lain seperti individu (rakyat sipil) atau organisasi non-pemerintah.
Track II diplomacy memungkinkan pihak-pihak yang merundingkan suatu permasalahan kedua negara secara lebih fleksibel dan mencari pendekatan out of the box–karena biasanya pejabat negara diikat oleh aturan-aturan yang berlaku di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika hasilnya positif, hasil perundingan dalam track II diplomacy dapat diadopsi menjadi sikap resmi kedua negara. Tetapi jika hasilnya negatif atau sama-sama sulit mencari titik temu, perundingan itu dapat dengan mudah ditinggalkan tanpa membuat negara itu kehilangan muka.
Pun jika perundingan rahasia pada track II diplomacy ketahuan dan menimbulkan kontroversi di kalangan publik, otoritas resmi dapat dengan mudah menyangkal telah terlibat perundingan itu.
Saya meyakini jika kunjungan beberapa tokoh NU ke Isaac Herzog sejak awal diniatkan untuk mengemban misi sebagai juru damai dalam kerangka track II diplomacy, maka sedari mula pula pertemuan itu sedianya tidak akan menjadi konsumsi publik, apalagi diunggah ke medsos.
Dengan mempublikasikan pertemuan, dikhawatirkan itu justru digunakan oleh Israel sebagai instrumen diplomasi publik. Ini adalah upaya suatu negara untuk mempengaruhi orang atau organisasi lain di luar negaranya dengan cara positif sehingga mengubah cara pandang orang tersebut terhadap negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Di tengah komunitas internasional, Israel kini tengah didera citra negatif akibat kebiadaban yang mereka lakukan pada Perang 7 Oktober. Dengan mempublikasikan pertemuan forum lintas iman yang dihadiri lima tokoh NU, Israel berusaha mencitrakan diri sebagai negara yang cinta damai dan selalu mengupayakan perdamaian.
Jangan sampai kedatangan masyarakat Indonesia ke Israel—siapa pun itu—justru turut berperan menjadi cap stempel terhadap citra positif Israel tersebut.