Konten dari Pengguna

Feminisme Standar Tik Tok: Mereka yang Mencoba Mendorong Tren Misogini Patriarki

Ageng Rachmad
Saya seorang mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidIkan, Universitas Jember.
24 Januari 2024 13:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi | Foto: Ageng Rachmad
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi | Foto: Ageng Rachmad
ADVERTISEMENT
Hanya membutuhkan kuota dan handphone kita dapat menonton aib-aib orang dengan bebas, siapa yang gak mau?
ADVERTISEMENT
Tik Tok adalah platform yang menyediakan konten-konten video untuk semua orang, baik video komedi, kuliner, gaya hidup, dance, dan menari dengan tren viral yang dapat menarik jutaan penonton. Meski banyak tren yang dianggap tidak berbahaya, beberapa di antara konten yang ada dirancang hanya untuk menampilkan tubuh wanita. Sebagian lagi menunjukkan tuntutan kesetaraan gender yang sebenarnya tak akan pernah terwujud secara fair.
Kepekaan saya terhadap adanya budaya feminisme postmodern berawal dari seringnya melihat konten-konten wanita yang secara sengaja memamerkan oppai dan bodi hotnya. Konten wawancara dadakan di pinggir jalan yang sengaja memberikan pertanyaan random juga mewarnai kayanya beranda saya. Konten macam apa ini! Tapi kok nagih? Kok bikin penasaran? Bodohnya lagi diputar hingga berulang kali.
ADVERTISEMENT
Berdiskusi bersama Novelia Putri seorang seleb Tik Tok yang memiliki 48,1 ribu followers dan telah mendapat lebih dari 114 ribu like pada konten yang telah dipublikasikannya. Baginya membuat konten di Tik Tok adalah sesuatu yang memberikan dampak positif sekaligus memerdekakan dan memberdayakan.
“Membuat konten di Tik Tok saya lakukan ketika gabut aja. Kontennya bebas, se-mood nya aja, lebih ke hal yang baru sih, yang belum dipakai orang jadi hal itu menjadi daya tarik orang” katanya (07/01/2024). Mayoritas konten yang ia publikasikan adalah visualisasi dirinya baik berupa kumpulan foto (klip video jedag-jedug) dan tarian tren viral yang dipadukan dengan backsound populer. Novelia mengatakan “Senangnya buat konten di Tik Tok itu dapat uang dari banyaknya tayangan dan like, juga bebas berekspresi”.
ADVERTISEMENT
Feminisme postmodern telah mengeksplorasi metode untuk memberdayakan perempuan melalui media digital, salah satunya Tik Tok. Feminisme ini tidak disadari telah menavigasi norma gender dalam masyarakat. Melalui sesuatu yang dianggap kepositifan seks dan membiarkan perempuan atas kepemilikan seksualitas atas tubuh mereka adalah cara guna melawan norma-norma gender patriarki. Kepemilikan ini mendorong budaya barat terhadap budaya lokal guna menormalisasi konten yang dianggap cabul dan bahkan termasuk ke dalam kategori pornografi ringan.
Hal ini tentu memunculkan kontroversi, apakah feminisme standar Tik Tok ini memerdekakan dan memberdayakan, atau justru mengobjektifikasi?

Feminisme Standar Tik Tok Mungkin Lebih Merugikan daripada Menguntungkan Gerakan Feminis

Sebagai seorang laki-laki, saya rasa adanya fenomena feminisme standar Tik Tok justru mengarah ke objektifikasi kepositifan tubuh. Algoritme Tik Tok mendorong pengguna (perempuan) untuk membuat konten-konten sugesif dan terang-terangan bersifat seksual serta lebih ke arah menyombongkan anggota tubuh. Bukan tanpa maksud. Konten seperti ini memperbesar peluang mereka untuk mendapat banyak penayangan dan like serta sekaligus melibatkan mereka ke dalam algoritme viral.
ADVERTISEMENT
Selaras yang dikatakan Novelia, “banyak konten-konten yang memiliki konsep sama (seperti miliknya) menirukan tren-tren viral seperti menari mendapat ribuan tayangan dan like”.
Wanita-wanita yang memiliki standar kecantikan postmodern akan mendapat banyak penayangan dan like. Meskipun gagasan tentang pengungkapan konten dan tren yang menampilkan tubuh wanita dinilai sebagai sesuatu yang merendahkan adalah subjektif. Tetapi yang jelas bagi saya konten semacam ini memunculkan maskulinitas beracun.
Di era saat ini, anggapan tentang kepemilikan kepositifan atas tubuh perempuan melalui media digital yang dianggap sebagai bagian dari feminisme adalah kepalsuan. Mengapa? Sebab tetap saja kepemilikan sebenarnya terletak pada pandangan laki-laki. Justru ini akan merugikan gerakan feminisme modern yang seharusnya mengangkat seluruh kelompok perempuan yang terpinggirkan. Malahan sekarang tergantikan dengan wanita-wanita good looking yang dianggap memiliki tubuh ideal. Wanita yang dianggap “biasa” tidak akan mendapat sorotan publik.
ADVERTISEMENT
Konten-konten seperti ini selalu berada diposisi wahid. Generasi perempuan muda selama menggunakan Tik Tok akan terus terpapar feminisme radikal. Jika ditentang maka mereka akan berkoar-koar dan mendukung sebuah antitesis yang disebut “kebebasan”.

Algoritma Tik Tok Mampu Mendoktrin Kesetaraan Gender yang Bullshit

Sering kali muncul di beranda, konten-konten yang melontarkan satu pertanyaan random ke orang-orang di jalan, terkhusus sasarannya adalah seorang wanita. Konten seperti ini memang membuat kita penasaran, diputar hingga selesai bahkan berulang kali.
Teringat betul satu konten Tik Tok yang menayangkan seorang wanita kemudian ditanyai soal kriteria laki-laki idaman. Dari beberapa wanita sebagai narasumber menyatakan paradigma yang hampir sama. Kesamaannya terlihat di pernyataannya menyebut tidak membutuhkan laki-laki yang ganteng, asalkan sanggup membiayai gaya hidup wanita itu. Terlihat materialistis.
ADVERTISEMENT
Saat ditanya soal pekerjaan rumah tangga, mereka menganggap pekerjaan semacam ini bukan semata-mata tanggung jawabnya. Mereka berpendapat jika laki-laki yang ingin mendapatkannya, maka mereka dituntut untuk menjadikan dia ratu dan melemparkan pekerjaan tersebut ke asisten rumah tangga. Itu pun saya pikir kalo laki-lakinya mampu memakai jasa asisten.
Banyak netizen mendukung algoritme wanita tersebut di kolom komentar, bahwa wanita harus diratukan tidak hanya laki-laki yang dianggap posisi utama dalam rumah tangga. Peristiwa ini menunjukkan bahwa feminisme Tik Tok dapat mendoktrin kesetaraan gender soal pekerjaan. Jelas saya menganggap ini bukan lagi feminis tetapi ingin memenangkan gender.
Namun bagi saya kesetaraan gender tak akan terwujud secara fair. Wanita-wanita Tik Tok selalu menengok ke atas, menganggap pekerjaan para Menteri, DPR atau pekerjaan berada dan memiliki posisi semuanya mayoritas adalah laki-laki. Wanita menginginkan kesempatan yang sama. Namun, ketika diberi statement bahwa mayoritas kuli bangunan adalah laki-laki mereka bungkam. Harusnya diberikan kesempatan yang sama dong, harus adil.
ADVERTISEMENT
Pernyataan-pernyataan mereka soal kesetaraan gender tak lebih dari omong kosong. Tetapi yang jelas peristiwa ini menunjukkan gambaran cita-cita mereka yang mencoba mendorong tren misogini patriarki.