Konten dari Pengguna

Pemilu dalam Bayang-bayang Ketidakpahaman, Jangan Mau Dibodohi!

Ageng Rachmad
Saya seorang mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidIkan, Universitas Jember.
30 Desember 2023 14:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi | Foto: Ageng Rachmad
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi | Foto: Ageng Rachmad
ADVERTISEMENT
Menjelang masa pemilu muncul isu-isu politik dikaitkan ke dalam berbagai bidang, misalnya sosial ekonomi, pendidikan, era 5.0, hingga masalah HAM kian turut mewarnai kampanye-kampanye yang ada. Ini adalah salah satu cara guna mempengaruhi mental dan pikiran masyarakat serta menggiring mereka ke dalam “pembodohan”.
ADVERTISEMENT
Mengapa bisa dikatakan pembodohan? Fakta yang jarang diumbar ke dalam publik adalah mayoritas generasi yang akan maju bersuara ada tiga, Gen X (1965-1980), Milenial (1981-1996), dan Gen Z (1997-2012). Tetapi yang mendominasi dalam pemilu 2024 kali ini adalah Milenial dan Gen Z sebesar 56%.
Sedangkan data dari Badan Pusat Statistik Persentase Angkatan Kerja Menurut Pendidikan Tinggi 2022 memperlihatkan mayoritas masyarakat yang akan menjadi voter pemilu kali ini dominan masih lulusan SMA ke bawah. Sebesar 44,48% masih lulusan SD ke bawah, disusul lulusan SMA/SMK sederajat sebesar 31%.
Belum lagi masalah IQ atau kecerdasan seseorang dalam mengidentifikasi calon presiden. Tentu ini menjadi sasaran empuk mereka untuk mendapatkan suara. Jika ingin menjadi presiden tahun depan, tidak akan mungkin jika tidak mendapat vote sekarang, mau kapan lagi?
ADVERTISEMENT
Berbagai propaganda kian gencar dipromosikan ke dalam platform yang ada di era digital saat ini. Pro dan kontra membanjiri setiap konten yang tersebar luas ke seluruh media sosial. Buzzer-buzzer muncul guna saling menyuarakan kebijakan capres idolanya yang kaya akan pro kontra, begitu pun sebaliknya akan saling menjatuhkan musuh-musuh capresnya.
Inilah cara mereka menggiring voter-voter ke dalam jurang pembodohan. Setidaknya capres yang akan menang dalam sebuah pemilihan umum harus memenangkan dulu pikiran dan hati masyarakat.

Mereka yang mampu menguasai pikiran dan hati, merekalah yang menang

Pertama adalah pikiran. Pikiran didasari dari objektivitas dan fakta-fakta. Masyarakat bisa memperoleh informasi dengan mudah di era digital saat ini. Misalnya masyarakat menyoroti visi misi, janji-janjinya, kebijakan-kebijakannya secara detail dan menyeluruh setiap capres hingga mampu berkesimpulan bahwa misalnya capres A lebih baik dari capres C dan begitu pun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Dengan cara mengkritisi capres menggunakan logika seperti ini maka dialah yang memenangkan pikirannya. Masyarakat bisa berpikir maju, membayangkan bagaimana jika capres A akan menjadi presiden ke depannya. Apakah ekonomi Indonesia bakalan naik atau turun? Hingga misalnya dikaitkan dengan masalah BBM, bahan pokok, dan nasib para buruh.
Kedua adalah hati. Tentu ini lebih sulit ketimbang memenangkan sebuah pikiran. Dikala banyaknya gempuran para buzzer yang saling menyuarakan capres pilihannya dan menjatuhkan capres lainnya. Banyak pula masyarakat yang termakan isu-isu tersebut. Melihat ironi ini, maka akan berkaca dan balik lagi ke banyaknya SDM yang rendah. Semakin rendah pendidikannya, semakin irasional keputusannya. Begitu pun juga semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi pula keputusan rasionalnya.
Masalah hati tentu akan berhubungan dengan emosional. Setidaknya ada lima emosi dasar yang dimiliki oleh manusia, yakni kebahagiaan, kebencian, kesedihan, ketakutan, dan kemarahan. Capres yang mampu menguasai lima emosi ini dialah yang akan menang. Lantas yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana caranya?
ADVERTISEMENT
Banjirnya kampanye digital melalui platform seperti Instagram, Twitter, Tik Tok, Facebook dan sejenisnya menjadi sarang penyebaran isu-isu mereka. Balik lagi ke soal pendidikan rendah. Berkaca dari pengalaman pemilu 2019 antara Jokowi dan Prabowo muncul istilah cebong dan kampret. Cebong ditujukan untuk pendukung Jokowi, dan kampret ditujukan untuk para pendukungnya Prabowo. Ini menjadi polemik dan polarisasi politik. Jika di antara kedua kubu ini terjadi perbedaan pendapat, maka bertengkarlah mereka, misalnya dengan adu debat di kolom komentar.
Jelas ini masuk dalam penggiringan secara emosional. Begitu pun jika masyarakat dipancing secara kebahagiaan atau harapan maka tidak mungkin mereka bertengkar. Bukankah pesta demokrasi seharusnya mempersatukan kita? Bukan malah kita yang menjadi domba? Tentu untuk menjawab ini, maka perlulah mengetahui akar konfliknya. Apakah itu?
ADVERTISEMENT

Hoaks adalah akarnya

Ribuan berita dan konten hoaks serta disinformasi kian mencuat dari hari ke hari menjelang berlangsungnya pemilu. Informasi yang memancing emosi begitu banyak menyebar di media sosial. Dalam kurun waktu setahun (2023) saja Kominfo telah mengantongi 11.357 kasus hoax, mulai dari isu politik sebanyak 1.355 kasus, kebencian 519 kasus, pemerintah 2.075 kasus, dan lain sebagainya.
Kasus-kasus hoax terbanyak dari data yang telah terkumpul menurut Kominfo ternyata dari platform Facebook. Kita ketahui bahwa di era maraknya Artificial Intelligence (AI) yang notabenenya sedang digempur oleh kalangan-kalangan Gen Z yang cenderung memilih aplikasi populer seperti Twitter, Instagram maupun Tik Tok, berbeda dengan Facebook yang cenderung masih dipakai oleh kalangan Gen X dan sebagian besarnya Milenial dengan latar pendidikan yang rendah.
ADVERTISEMENT
Separasan bapak-bapak dan ibu-ibu lebih memilih Facebook sebagai media hiburan mereka sekaligus menjadi sarang hoaks pemilu 2024. Inilah yang menjadi sasaran para buzzer guna memanipulasi pikiran dan emosi masyarakat. Informasi yang tersebar mampu mengubah pandangan ideologi warga hingga ter-influence dan dikuasai untuk memilih pihak tertentu.
Lantas bagaimana cara kita sebagai calon voter pemilu 2024 agar tidak mudah terpengaruh oleh informasi, konten maupun berita yang selalu mengiringi keseharian aktivitas kita? Ingat...

Jangan mau dibodohi!

Solusi yang bisa diambil dari maraknya informasi yang tersebar di media sosial adalah dengan membuat keputusan secara seimbang, kemudian ikuti kata hati. Pastikan dulu apakah informasi yang dilihat sesuai fakta, mengingat sudah ribuan konten hoaks yang telah tersebar luas dan merekomendasikan melihat dari website resminya masing-masing. Mulai dari visi misi dan kebijakan-kebijakannya serta pencapaian apa yang telah dimiliki oleh capres.
ADVERTISEMENT
Jangan mau dibodohi, pilihlah presiden yang paling menyentuh hati kalian, tetapi berdasarkan fakta dan objektivitas. Toh tujuan pesta demokrasi guna menunjukkan kedaulatan kita sebagai rakyat. Ini menjadi alat pertimbangan guna tidak asal pilih ketika 14 Februari nanti.
Pilihanmu sekarang menentukan nasibmu lima tahun mendatang. Salam sehat.