Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dilema dan Kesenjangan di Permakaman: Upaya yang Dapat Merangkul Semua Kalangan
14 Mei 2023 14:46 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Agung Rifna Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu pagi menjelang siang saat sedang piket sekolah, saya dikabari sepupu bahwa paman meninggal . Entah apa yang saya rasakan waktu itu, yang saya ingat saya bergegas meminta izin untuk ikut memandikan, mensalatkan, dan menguburkan paman.
ADVERTISEMENT
Saya ikut berjalan di belakang keranda bersama keluarga lain diiringi suara lailaha illallah dan sesekali terdengar suara isak tangis saat mengantarkan jenazah ke pusara terakhir, inalillahi wainailaihi rojiun. Beliau dimakamkan secara sederhana, di bawah tanaman semboja di samping mertuanya yang juga adalah nenek saya.
Permakaman ini milik keluarga, tidak luas dan mewah. Kontur tanahnya sedikit menanjak karena tepat di kaki gunung. Agak kurang nyaman sebenarnya jika berziarah ke sini karena agak ramai, dekat pemukiman, dan tepat berada di tepi jalan desa di mana banyak kendaraan lalu lalang.
Dengan segala kekurangannya, keluarga saya sebenarnya cukup beruntung mempunyai area permakaman pribadi sehingga nuansa privat terjaga. Banyak warga di kampung saya yang hanya mengandalkan tanah wakaf yang semakin hari semakin penuh. Saya juga tidak yakin tanah tersebut akan cukup menampung jenazah dalam beberapa tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Sudah sesak penuh, makam pun jarang yang terurus. Hanya sesekali orang soleh membersihkan dengan sukarela, keluarga mungkin hanya satu atau dua kali dalam setahun membersihkan makam di hari raya. Itu pun kalau tidak lupa.
Di kota masalah permakaman lebih dilematis lagi. Terbatasnya luas makam membuat pemerintah menyiasatinya dengan cara ditumpang yaitu satu liang untuk beberapa jenazah. Masifnya pembangunan membuat pemakaman juga rawan penggusuran karena dipandang tidak mempunyai nilai ekonomi. Ini belum termasuk perizinan, pemeliharaan, pungli, penataan, dan keamanan makam.
Permakaman bagi si Kaya
Berbanding terbalik dengan itu, ada kompleks permakaman yang “mewah” seperti San Diego Hills. Permakaman di sana bak perumahan elite yang dibagi ke dalam kelas-kelas dengan pilihan yang macam-macam.
ADVERTISEMENT
Untuk tipe satu lubang yang bernuansa Islam kisaran harganya Rp 63,4 juta. Ada juga yang privat bisa sampai Rp 2,7 miliar yang bisa lebih murah atau mahal tergantung kostumisasi dan kapasitas. Ya kalian tidak salah baca, di sini bisa kostumisasi tergantung pesanan untuk kenyamanan saat berziarah.
Bagi yang ekonomi pas-pasan seperti saya, kira-kira kalau dihitung dengan gaji sekarang, saya dapat memiliki area privat yang paling elite tanpa kostumisasi dengan “hanya” menabung sekitar 78 tahun-an. Itu pun kalau uangnya tidak dipakai makan, jajan, dan cicilan.
Soal kebersihan jangan ditanya. Permakaman dirawat dengan baik secara profesional layaknya tempat pariwisata. Fasilitasnya pun lebih lengkap dibanding SMA Negeri se-kabupaten Bandung Barat. Dimulai area reuni keluarga, tempat ibadah, gedung serba guna, restoran italia, kolam renang, lintasan joging, toko makanan, tempat oleh-oleh, danau yang indah, dan sistem keamanan 24 jam. Jauh dari kesan angker dan seram.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang desa tak terpikirkan orang macam apa yang bisa membeli area kuburan dengan harga seperti itu. Bukti bahwa San Diego Hills laris menunjukkan kesenjangan sosial di masyarakat kita bukan hanya jomplang tapi bak langit dan alam gaib, tak terukur.
Tulisan ini bukan mengkritik area permakaman mewah seperti San Diego Hills. Saya mengerti bahwa kenyamanan mahal harganya. Tapi seharusnya pengelolaan permakaman juga menjadi bagian dari fokus pengelolaan daerah yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Pembangunan bukan hanya melulu memperluas kegiatan ekonomi masyarakat, namun juga mementingkan kebutuhan lain yang juga mendesak.
Jika terus dibiarkan, permakaman yang seharusnya menjadi tempat istirahat yang damai hanya akan mampu dimiliki oleh orang-orang berada. Dan upaya mengatasi kesenjangan sosial tidak mungkin bisa terwujud. Jangankan dalam kehidupan masyarakat, di kuburan yang isinya tulang belulang pun kita dibeda-bedakan.
ADVERTISEMENT