Konten dari Pengguna

Menjadi Martir Melawan Tambang: Uang dan Kongsi Jahat

Agung Rifna Ajie
Pengajar dan Content Writer, Instagram: @agungrifna
1 November 2023 9:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Rifna Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tambang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Suasana yang biasanya tenang dan damai, pagi itu terasa begitu mencekam. Anak-anak PAUD yang berada di balai desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur menangis dan menjerit ketakutan. Di sana Salim Kancil yang kurus digorok gergaji, disetrum, dianiaya dengan balok kayu, batu, dan cerulit oleh sekitar 40-an orang sebelum akhirnya diseret ke pemakaman di dekat lapangan desa untuk dieksekusi.
ADVERTISEMENT
Salim yang malang. Dia bukan orang besar atau gedongan, hanya seorang petani dan buruh tani yang menjadi tulang punggung ekonomi dari keluarga. Salim mengandalkan enam petak sawah di Pesisir Pantai Watu Pecak untuk penghidupan. Namun tanpa sepengetahuannya, dua petak sawah yang ia miliki rata dengan tanah.
Haryono – kepala desa berdalih ratanya sawah itu akan dijadikan jalan untuk program desa wisata. Padahal dijadikan akses dumptruck dan alat berat untuk mengeruk pasir besi di bibir pantai secara ilegal. Salim dan petani lain tentu keberatan dan merasa dizalimi setelah melihat akibat dari aktivitas tambang merusak sistem irigasi dan wilayah pesisir yang merendam area pesawahan.
Salim memang petani kecil tapi bukan berarti dia akan membiarkan haknya diambil orang. Salim dan 11 kawannya yang lain kemudian membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar yang tujuannya memprotes penambangan pasir.
ADVERTISEMENT
Setelah melacarkan berbagai aksi dan mengadu sana-sini. Anggota forum berhasil memaksa kepala desa menandatangani surat pernyataan untuk menghentikan aktivitas tambang. Namun, tak sampai beberapa jam kegembiraan berlangsung, anggota forum mendapatkan ancaman pembunuhan.
Anggota forum tak gentar, bagi mereka (petani Selok Awar-Awar) masalah tambang ini menyakut hidup dan mati keluarga. Setelah melapor ancaman pembunuhan, Salim dan kawan-kawan tetap melanjutkan aksi karena ternyata surat penghentian penambangan dari kepala desa tidak mampu menghentikan aktivitas penambangan.
Pada Sabtu pagi, 26 September 2015 atas perintah Haryono – kepala desa Selok Awar-Awar, Salim diculik didepan anak dan cucunya, kemudian diikat, dan dianiaya sepanjang jalan untuk dibawa sejauh dua kilo meter ke balai desa. Tidak jauh dari sana, dia dieksekusi dan mati sebagai martir yang melawan tambang.
ADVERTISEMENT

Manisnya Uang Tambang

Ilustrasi kerusakan lingkungan akibat penambangan liar (Foto: Freepik)
Kejadian yang menimpa Salim bukanlah yang terakhir, pada Kamis, 30 Maret 2023 lalu seorang kakek bernama Sabriansah juga dibunuh orang suruhan perusahaan tambang karena memblokir jalan untuk mempertahankan lahan miliknya. Ya, mungkin akan ada martir-martir lain di masa depan.
Uang tambang memang nampak begitu manis. Haryono yang masih kelas coro saja menurut penelusuran Jaksa telah mengantongi Rp 3,408 Miliar dalam 12 bulan. Apalagi penambangan besar, lihat saja perbandingan melalui gaji pekerja tambangnya yang tembus sampai Rp 230 Juta/Bulan (CNBC).
Bisa dibayangkan (atau tak terbayangkan) besar pendapatan perusahannya. Saking besarnya bahkan Menkopolhukam Mahfud MD mengungkapkan bahwa jika korupsi di sektor pertambangan bisa ditutup, maka setiap orang bisa mendapatkan uang senilai Rp 20-an juta tanpa harus bekerja.
ADVERTISEMENT
Tapi bukan berarti uang itu lantas membawa kesejahteraan dan kebahagiaan. Di negara yang korupsinya peringkat 110 (ICW 2022) ini sulit mengharapkan hasil bumi dan tambang memberikan manfaat kemakmuran bagi warganya. Malah yang ada adalah bencana sebagaimana rusaknya pesisir pantai di Selok Awar-Awar, banjir di Konawe Utara (2020), longsor di Satui, Tanah Bambu (2022), dan puluhan hingga ratusan bencana lain yang panjang untuk disebutkan.
Bukan rahasia lagi bahwa di tambang, kongsi jahat (hampir) selalu terjadi. Lihat saja laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dimana para pengusaha tambang bersekongkol dengan elite politik, aparat pemerintah, dan pihak-pihak lainnya untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar. Tidak ada ruang demokrasi di tambang, mereka yang berani melawan diteror, dianiaya, dikriminalisasi, bahkan dihilangkan nyawanya.
ADVERTISEMENT
Namun tambang bagai dua sisi koin. Satu sisi ia menopang kebutuhan hidup manusia sehari-hari, di sisi yang lain ia adalah tempat orang-orang jahat dan serakah berkumpul yang mungkin setan pun malu berada di dekatnya.