Konten dari Pengguna

Mengapa Inovasi Tak Selalu Diterima: Konsep MAYA dan Tantangannya di Indonesia

Agung Stefanus Kembau
Dosen Program Studi Bisnis Digital Universitas Bunda Mulia, Memiliki Antusias Digital Consumer Behavior dan Behavioral Economics
2 Oktober 2024 6:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Stefanus Kembau tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Marija Zaric on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Marija Zaric on Unsplash
ADVERTISEMENT
Inovasi bukan hanya soal kecanggihan teknologi, tetapi tentang bagaimana masyarakat bisa menerimanya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, meski ide-ide brilian terus bermunculan di berbagai sektor seperti teknologi, infrastruktur, dan pendidikan, penerimaan terhadap perubahan tidak selalu berjalan mulus. Mengapa demikian?
ADVERTISEMENT
Di tengah dunia yang terus berkembang, konsep MAYA (Most Advanced Yet Acceptable)—yang diperkenalkan oleh desainer Raymond Loewy—memberikan pandangan berharga. Inovasi yang sukses harus cukup maju untuk membawa perubahan, namun tetap dalam batas yang bisa diterima masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pemikiran visioner Nikolai Tesla yang mengatakan, "The present is theirs; the future, for which I really worked, is mine." Tesla menyadari bahwa inovasi tidak hanya tentang menciptakan masa depan, tetapi juga tentang tantangan yang dihadapi dalam membuat masyarakat siap menerima perubahan tersebut.
Ini sangat relevan dalam konteks Indonesia, terutama saat kita menghadapi tantangan transisi kepemimpinan dari Presiden Jokowi ke Prabowo pada tahun 2024. Inovasi harus berjalan selaras dengan kemampuan masyarakat untuk menerimanya, sebab inovasi yang terlalu maju tanpa dukungan penerimaan publik berisiko mengalami kegagalan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, di Indonesia, konsep MAYA menawarkan pendekatan strategis: inovasi yang diperkenalkan harus cukup revolusioner untuk menanggapi tuntutan masa depan, tetapi tetap akrab dan dapat diadaptasi oleh masyarakat hari ini.

Kegagalan Mencapai Titik Keseimbangan: Terlalu Maju atau Terlalu Konservatif?

Di Indonesia, inovasi sering kali gagal menemukan keseimbangan antara kemajuan dan penerimaan publik. Banyak penemuan baru yang memperkenalkan teknologi canggih, tetapi justru terperangkap dalam ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi dan kebiasaan masyarakat. Terlalu maju, dan inovasi tersebut teralienasi; terlalu konservatif, dan ia dianggap tidak menawarkan nilai tambah yang signifikan.
Contoh nyatanya adalah gagasan mengenai mobil listrik. Meski secara global kendaraan listrik dianggap sebagai solusi atas krisis iklim dan masalah polusi, penerimaan di Indonesia masih jauh dari ideal. Infrastruktur yang belum memadai, kurangnya stasiun pengisian, dan kekhawatiran akan harga yang tinggi menjadi penghalang utama.
ADVERTISEMENT
Masyarakat masih merasa lebih nyaman dengan kendaraan berbahan bakar minyak, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka selama beberapa dekade. Dalam hal ini, konsep MAYA memberi tahu kita bahwa mobil listrik mungkin dianggap terlalu maju dan belum sepenuhnya dapat diterima oleh publik karena jarak antara inovasi dan kenyamanan mereka terlalu lebar.
Selain itu, inovasi dalam digitalisasi layanan publik di Indonesia juga sering menemui hambatan. Meskipun berbagai layanan pemerintah telah didigitalisasi dalam era kepemimpinan Presiden Jokowi, termasuk di sektor perizinan, kesehatan, dan pendidikan, resistensi masih muncul dari segmen masyarakat yang kurang terpapar teknologi.
Kurva pembelajaran yang tinggi serta ketidakpahaman mengenai manfaat digitalisasi membuat masyarakat enggan beralih dari sistem manual yang sudah mereka kenal. Sekali lagi, di sinilah pentingnya prinsip MAYA: inovasi harus dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menjembatani kebutuhan untuk maju tanpa mengabaikan keakraban yang menjadi dasar kenyamanan masyarakat.
ADVERTISEMENT

Neophobia dan Budaya Kolektivisme: Penghalang Utama Adopsi Inovasi di Indonesia

Neophobia, atau ketakutan terhadap hal-hal baru, adalah bagian dari psikologi manusia, termasuk di Indonesia. Budaya kolektivisme yang kuat sering kali membuat masyarakat Indonesia lebih berhati-hati dalam menerima perubahan besar. Mereka cenderung mengikuti norma-norma sosial yang sudah ada dan merasa lebih aman ketika tetap berada dalam zona nyaman. Inovasi yang terlalu radikal sering kali bertabrakan dengan nilai-nilai tradisional yang dipegang erat oleh banyak kelompok masyarakat.
Sebagai contoh, meskipun e-commerce dan layanan transportasi daring seperti Gojek dan Grab telah merevolusi kehidupan perkotaan, penerimaan di wilayah pedesaan jauh lebih lambat. Di banyak daerah, pasar tradisional masih dianggap lebih dapat dipercaya, dan banyak orang ragu untuk bertransaksi secara digital.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan terhadap sistem pembayaran digital, misalnya, masih belum sekuat di negara-negara maju, karena banyak masyarakat yang lebih nyaman bertransaksi secara langsung. Di sinilah inovasi harus disesuaikan dengan pola pikir masyarakat, dan MAYA menawarkan panduan untuk tetap memperkenalkan teknologi baru sambil menjaga hubungan yang kuat dengan tradisi lokal.

Transisi Kepemimpinan 2024: Tantangan dan Harapan bagi Inovasi

Menarik untuk dicermati, perubahan besar dalam penerimaan inovasi juga sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik. Dengan transisi kepemimpinan dari Presiden Jokowi ke Prabowo pada tahun 2024, kita bisa mengharapkan adanya pergeseran kebijakan yang memengaruhi lanskap inovasi di Indonesia. Di bawah kepemimpinan Jokowi, fokus pada infrastruktur dan teknologi telah membuka jalan bagi berbagai inovasi, tetapi pertanyaannya sekarang adalah: Apakah masyarakat Indonesia siap untuk menerima perubahan yang lebih besar di era Prabowo?
ADVERTISEMENT
Jika Prabowo mengadopsi pendekatan yang lebih tegas terhadap modernisasi dan industrialisasi, seperti yang ia kampanyekan, maka inovasi mungkin akan dipercepat, khususnya di bidang teknologi pertahanan, pangan, dan energi. Namun, tanpa pendekatan yang berhati-hati seperti yang disarankan oleh MAYA, percepatan inovasi ini bisa memicu resistensi lebih besar.
Masyarakat yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan perubahan yang diperkenalkan di era Jokowi mungkin merasa bahwa mereka ditarik terlalu cepat menuju masa depan yang belum mereka pahami. Penting bagi pemerintahan baru untuk memahami bahwa inovasi yang terlalu maju tanpa mengakar pada apa yang sudah diterima oleh masyarakat bisa menyebabkan kegagalan adopsi. Di sinilah konsep MAYA harus diintegrasikan ke dalam kebijakan, untuk menjembatani kebutuhan akan modernisasi dengan penerimaan masyarakat yang lebih luas.
ADVERTISEMENT

Menjaga Kepercayaan: Faktor Kunci Penerimaan Inovasi di Era yang Berubah

Terakhir, kunci dari penerimaan inovasi adalah kepercayaan. Masyarakat Indonesia, seperti masyarakat lainnya di dunia, membutuhkan waktu untuk membangun kepercayaan terhadap hal-hal baru. Sebuah produk atau teknologi yang baru diperkenalkan sering kali menghadapi skeptisisme. MAYA membantu kita memahami bahwa inovasi harus diperkenalkan secara bertahap agar bisa diterima dengan lebih baik.
Saat kita menatap masa depan Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan inovasi yang diusung akan menjadi faktor kunci. Pemerintah perlu memastikan bahwa inovasi yang mereka perkenalkan bukan hanya maju, tetapi juga berakar pada kebutuhan nyata dan dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanpa pendekatan yang hati-hati, inovasi yang dicanangkan hanya akan menjadi proyek ambisius yang tidak terjangkau oleh mayoritas.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Inovasi, penemuan, dan ide baru sering kali terhambat oleh resistensi masyarakat yang terbentuk dari faktor budaya, sosial, dan ekonomi yang kompleks, khususnya di Indonesia. Mengacu pada konsep MAYA (Most Advanced Yet Acceptable), inovasi tidak hanya soal kecanggihan, tetapi tentang kemampuannya untuk diterima publik. Ironisnya, Indonesia saat ini berada di ambang ketertinggalan jika terus bergelut dengan ketakutan terhadap perubahan. Digitalisasi, yang seharusnya menjadi jembatan menuju kemajuan, justru sering menemui jalan buntu karena keengganan sebagian masyarakat untuk meninggalkan cara-cara konvensional.
Dengan transisi kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo, tantangan ini akan semakin mengemuka. Pemerintahan baru harus berhenti bermain aman dengan sekadar memperkenalkan inovasi yang "dapat diterima" saja. Yang dibutuhkan adalah gebrakan radikal yang berani mengguncang zona nyaman masyarakat, terutama dalam hal digitalisasi sektor publik dan ekonomi. Jika kita terus berpegang pada konservatisme demi kenyamanan sementara, Indonesia berisiko terjebak dalam stagnasi teknologi dan ekonomi global. Inovasi yang sukses adalah yang mampu memaksa kita melangkah lebih jauh—mengintegrasikan digitalisasi sebagai fondasi masa depan—bukan yang hanya menyenangkan mayoritas yang enggan berubah.
ADVERTISEMENT