Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Efektivitas Satgas Harga Tiket Penerbangan
21 Juli 2024 19:21 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tingginya harga tiket penerbangan rupanya membuat Pemerintah membentuk Satgas Harga Tiket Penerbangan. Menko Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, geram melihat mahalnya harga tiket penerbangan, namun menurut saya Menko belum memahami apa saja penyebab sebenarnya mahalnya harga tiket penerbangan.
ADVERTISEMENT
Jadi seperti biasa pembentukan Satgas ini juga tidak akan banyak membantu, kecuali terlihat keren namanya tapi hasilnya belum jelas. Ingat Satgas Pungli dan Satgas Pinjol? Hasilnya nyaris tak terdengar.
Persoalannya, lima tahun belakangan ini industri penerbangan Indonesia terkena turbulensi yang cukup dahsyat setelah di hantam pandemi COVID-19 yang diikuti dengan hantaman resesi dunia yang cukup parah.
Akibatnya maskapai domestik hanya bisa sekadar terbang tidak bisa tumbuh dan menjadi tumpuan logistik barang dan pergerakan manusia. Dengan keterbatasan cash flow dan armada, maskapai domestik mencoba bertahan. Sementara publik terus berharap supaya harga tiket penerbangan turun.
Beban tingginya harga tiket penerbangan sebenarnya disebabkan oleh persoalan domestik maskapai penerbangan dan persoalan infrastruktur penerbangan seperti kewajiban maskapai ke bandara (seperti pembayaran PJP2U, biaya listrik, biaya sandar dan sewa garbarata, sewa Auxiliary Power Unit atau APU, dan lain-lain), harga avtur, dll.
ADVERTISEMENT
Di beberapa artikel saya di media lain sudah pernah membahas beberapa penyebab tiket penerbangan mahal. Di sini kembali akan saya bahas lebih rinci demi pemahaman publik yang lebih baik, termasuk rencana membentuk Satgas Harga Tiket Penerbangan.
Mengapa Harga Tiket Penerbangan Tinggi
Publik terus mendesak pemerintah dan maskapai untuk menurunkan tarif penerbangan, namun belum berhasil karena masih dilakukan secara sporadis oleh masing-masing sektor. Seharusnya upaya ini segera dilakukan oleh Menko Perekonomian melalui penerbitan Peraturan Pemerintah atau kalau mau cepat pakai Peraturan Presiden. Jangan hanya Peraturan masing-masing Menteri.
Pada dasarnya tingginya harga tiket pesawat dipengaruhi oleh sangat banyak faktor, antara lain biaya operasi (Opex) penerbangan yang tinggi sebagai akibat, antara lain mahalnya harga bahan bakar avtur (30% - 40%), biaya perawatan termasuk operasi dan suku cadang (15% - 20%). Lalu banyaknya jenis pajak dan cukai yang harus dibayar oleh maskapai ke pemerintah (10% -15%), biaya personel (15% - 20%) dan keuntungan maskapai sekitar (1% - 5%).
ADVERTISEMENT
Terkait dengan mahalnya tiket penerbangan bukan hanya menjadi tanggungjawab Menteri Perhubungan. Untuk penerbangan kelas ekonomi, tupoksi Menteri Perhubungan hanya sampai menetapkan tarif batas atas (TBA), yaitu melalui PM Perhubungan No. 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formula Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (jet atau baling-baling). TBA ini belum pernah berubah hingga hari ini dan TBA menjadi tanggung jawab Menteri Perhubungan.
Secara rinci biaya OPEX di atas meliputi komponen harga tiket berdasarkan jarak penerbangan, Pajak (PPn) dan Bea dan Cukai untuk suku cadang dan atau biaya reparasi, biaya di Bandara termasuk sewa kantor, biaya Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) bayar listrik yang di atas tarif TDL PT PLN, biaya avtur dengan throughput fee yang lumayan sehingga HET-nya mahal, sewa kendaraan operasional, sewa garbarata dan parkir pesawat, membayar iuran wajib asuransi Jasa Raharja, dan biaya tambahan lainnya yang bisa dikenakan dalam kondisi tertentu, seperti fluktuasi harga bahan bakar, biaya operasional selama hari raya, dan biaya pelayanan tambahan.
Pajak Pertambahan Nilai yang tahun depan akan meningkat menjadi 12%, tingginya PJP2U atau dikenal dengan istilah Airport Tax sebagai konsekuensi mewah tidaknya bandara dan naiknya beberapa tarif kebandarudaraan merupakan sebuah konsekuensi niat pemerintah membangun bandara yang megah.
ADVERTISEMENT
PJP2U ditarik dari penumpang untuk membayar kenyamanan di bandara (AC, listrik, air, toilet, mushola, kursi, biaya online, charging HP dsb). Semakin mewah bandaranya, maka semakin tinggi PJP2Unya.
Selain itu maskapai juga masih harus membayar ground handling (penanganan check in, boarding, penanganan bagasi penumpang, bus pengantar penumpang dsb), maskapai juga harus membayar sewa garbarata, parkir pesawat, biaya mendarat dan lepas landas beserta biaya navigasi oleh Air Nav. Besaran sewa di masing masing bandara berbeda.
Lalu ada Iuran Wajib Jasa Raharja sebesar Rp. 5.000 per orang per penerbangan yang dibebankan pada tiket penerbangan. Harga bahan bakar, air dan listrik (kantor dan APU) juga lebih mahal dari harga TDL PT PLN karena ada biaya through put atau tambahan biaya sebagai biaya koordinasi dari bandara ke maskapai penerbangan.
ADVERTISEMENT
Terbang domestik dengan maskapai domestik memang menjadi mahal selain karena masalah di atas juga karena daya beli masyarakat juga menurun. Pendapatan maskapai mayoritas ditopang dengan APBN/D melalui proyek-proyek pemerintah.
Mayoritas penumpang pesawat adalah ASN atau pejabat dan publik yang ditugaskan pemerintah dan dibiayai APBN/D sejak COVID-19. Saat ini dari korporasi swasta atau publik sudah mulai tumbuh tetapi segera dihantam dengan nilai tukar yang terpuruk
Harga avtur sulit diharapkan bisa turun karena harga dunia juga masih mahal dan sebagian besar impor. Yang kedua masalah biaya perawatan yang mempengaruhi biaya operasi juga. Jika mesin pesawat rusak dan tidak dapat ditangani di MRO (Maintenance, Repair and Overhaul) domestik seperti GMF di Cengkareng atau BAT di Batam, maka engine harus di reekspor ke MRO asing, misalnya di Singapore atau Australia.
ADVERTISEMENT
Ketika engine itu selesai di reparasi, masuk kembali ke Indonesia, maskapai harus membayar pajak dan cukai karena engine tersebut dianggap barang baru. Kebijakan ini perlu dibahas antara Menteri Keuangan dengan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian yang di koordinasikan oleh Menko Perekonomian.
Langkah Penurunan Harga Tiket
Nah untuk memperingan beban maskapai, pemerintah sebetulnya dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres) yang membahas efisiensi harga tiket penerbangan. Tidak perlu melalui pembentukan Satgas yang pastinya akan memerlukan waktu lama untuk membuat peraturan internal K/L lalu menunjuk anggota dan pimpinan satgas, anggaran dan sebagainya. Serahkan saja pada Menko Perekonomian.
Pemerintah juga harus merevisi atau membuat peraturan baru yang tidak membunuh maskapai, misalnya peraturan terkait dengan kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dan penggolongan di Harmonized System (HS). Kelompokan HS untuk semua komponen pesawat, jangan dicampur dengan komponen lain, seperti baut jangan disamakan dengan baut sepeda, ban jangan disamakan dengan ban sepeda dsb.
ADVERTISEMENT
Penerapan TKDN di kelompok pesawat termasuk diatur oleh berbagai Peraturan Menteri Perindustrian. Sementara untuk impornya ditetapkan oleh Menteri Perdagangan No. 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023 Tentang Kebijakan dan Peraturan Impor.
Namun sampai hari ini, Permendag ini belum mempunyai petunjuk teknisnya. Alhasil impor suku cadang pesawat masih bermasalah dan terpaksa banyak pesawat dikandangkan oleh maskapai. Bayangkan berapa kerugian publik dan maskapai akibat kebijakan Kemendag yang tak jelas ini.
Dengan ditataulangnya peraturan impor suku cadang pesawat (jet dan propeller) dipastikan dapat menurunkan harga tiket pesawat hingga 15% belum lagi jika beberapa tarif Bandara diturunkan. Coba rapikan berbagai komponen bandara yang harus ditanggung maskapai melalui harga tiket.
ADVERTISEMENT
Tidak perlu lagi bangun bandara besar dan mewah supaya ada pengurangan harga tiket. Segera duduklah bersama antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan membahas semua catatan di atas yang dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian.