Konten dari Pengguna

Jalan Buntu Industri Penerbangan

Agus Pambagio
Pemerhati kebijakan publik dan lingkungan.
3 Juni 2019 13:55 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Raya Lebaran tinggal menunggu si hilal sudah muncul. Sebagian besar pemudik sudah selamat sampai di kampung halaman dengan menggunakan berbagai macam moda transportasi, baik pribadi maupun umum.
ADVERTISEMENT
Semua moda transportasi menunjukkan kenaikan yang positif, hanya transportasi udara yang menurun. Okupansi di bandara-bandara besar yang biasanya panen di waktu masa mudik dan balik Lebaran menurun hingga rata-rata 10-15 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018, semua menurun. Begitu pula dengan angkutan logistiknya atau kargo turun 25-30 persen.
Angkutan laut meningkat hampir 40 persen (seperti yang disampaikan oleh salah satu direksi pada saya di RRI Pro2 Jakarta). Sayang kenyamanan menggunakan angkutan laut belum manusiawi dan masih mengabaikan keselamatan.
Demikian pula angkutan darat via tol yang baru tahun ini dibuka dan dapat dilalui dari Merak-Probolinggo sejauh kurang lebih 1.000 kilometer. Kereta api yang sudah sejak 6 tahun lalu tertib masih tetap tertib bahkan banyak inovasi tambahan layanan.
ADVERTISEMENT
Lalu bus antar kota antar provinsi (AKAP), tahun ini muncul bus-bus baru yang moderen dengan pelayanan yang meningkat, meskipun terminal bus masih dihindari oleh publik dan pemilik bus.
Sementara angkutan udara saat ini sedang terpuruk karena mahalnya harga tiket penerbangan, meskipun Kementerian Perhubungan sudah melakukan intervensi. Dari sisi transportasi umum, siklus ini bagus karena publik saat ini mempunyai banyak opsi untuk mudik atau bepergian.
Untuk penerbangan saatnya para maskapai, bandara, Airnav, dan bisnis ikutan lainnya berbenah dengan berbagai inovasi baru yang menggairahkan industri penerbangan. Di sisi lain pemerintah juga harus cerdik mengaturnya. Di dunia usaha, kondisi seperti saat ini sudah biasa terjadi. Pada saatnya akan kembali normal asal pemerintah mengaturnya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Ide presiden untuk membuka industri penerbangan kepada asing belum tentu bisa membuat harga tiket murah karena semua maskapai di dunia juga sedang kelimpungan. Dua maskapai asing yang sahamnya ada di badan hukum Indonesia (Transnusa dan Indonesia Air Asia) juga belum mulus beroperasi di banyak bandara, hanya bandara tertentu saja dan juga ikut merugi.
Apa iya dengan adanya maskapai asing masuk di usaha penerbangan Indonesia tiket akan lebih murah? Pendekatan ini merupakan jalan keluar atau jalan buntu? Coba kita analisis secara sederhana saja.
Asing Masuk Tiket Turun. Apa Iya?
ADVERTISEMENT
Berbagai saran dan komentar untuk menormalkan industri penerbangan banyak disuarakan oleh beberapa tokoh masyarakat, ahli penerbangan, hingga Presiden Jokowi. Usul presiden untuk mengundang maskapai asing masuk ke Indonesia dengan maksimum penguasaan saham 49 persen bukan hal baru, namun rawan 'dibuli'.
Siapapun pemainnya, termasuk maskapai asing, harus taat pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan aturan turunannya.
Maskapai asing hanya boleh maksimum menguasai 49 persen saham, sisanya (51 persen) harus dikuasai badan hukum domestik. Berminatkah mereka berbisnis penerbangan domestik di tengah rendahnya nilai rupiah terhadap mata uang asing?
Saat ini sudah dua (2) maskapai asing yang berkolaborasi dengan badan usaha domestik, yaitu Indonesia Air Asia (IAA) dan TransNusa. Sebelumnya sempat ada beberapa maskapai asing yang beroperasi di Indonesia, seperti Indonesia Air Asia Max (IAAX), Mandala Tiger (MT), dan sebagainya tetapi bangkrut dalam tempo singkat.
ADVERTISEMENT
IAA saat ini mempunyai izin terbang di sekitar 10 kota dan dalam operasinya juga 'berdarah-darah'. Pertanyaannya, maskapai asing mana yang mau beroperasi di Indonesia saat ini?
Berita terkini yang saya dapatkan, Menteri Perhubungan mengatakan sudah ada 28 maskapai China, seperti Southern Airlines Co., Air China Ltd., China Eastern Airlines Corp Ltd, dan lain-lain yang berminat masuk ke Indonesia. Apa benar? Karena di China nasib mereka sama saja, sedang kesulitan keuangan. Demikian pula dengan maskapai dari kelompok Timur Tengah yang tampak perkasa, mereka juga 'ngap-ngapan' napasnya.
Dari beberapa liputan berita bisnis penerbangan dunia termasuk China, bisnis penerbangan sedang melambat. China saat ini tengah mengandangkan 96 pesawat B 737 Max 8-nya atau sekitar 4 persen dari jumlah armada pesawatnya karena kasus Lion Air dan Ethiopia Air.
Pesawat Boeing 737 MAX 8 Foto: Reuters/Jason Redmond/File Photo
Pertanyaannya, apakah B 737 Max 8 tersebut yang akan diterbangkan di wilayah udara Indonesia? Apakah dengan mengizinkan maskapai asing masuk terus harga tiket akan murah?
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan isu kartel yang terus merebak sehingga presiden mengusulkan maskapai asing masuk? Kepastian ada kartel atau tidak harus menunggu Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang hingga hari ini tidak kunjung muncul. Tidak tegasnya KPPU membuat situasi semakin melebar dan merugikan publik serta dunia usaha.
Dari catatan Garuda Indonesia, dengan tidak menerbangkan pesawat B 737 Max 8 maka kerugian GA akan mencapai sekitar USD 3 juta per bulan dengan asumsi pesawat terbang 9,5 jam per hari dengan potensi menghasilkan pendapatan.
Demikian pula maskapai penerbangan lainnya, termasuk China yang harus menanggung biaya sewa sekitar 100.000 Yuan atau USD 14.470 per hari belum termasuk pendapatan yang hilang. Menurut pernyataan seorang pakar penerbangan China, Li Xiaojin, kerugian tersebut bisa hilang jika beroperasi di Indonesia. Ini yang harus dicegah mengingat otoritas penerbangan Indonesia juga masih melarang terbang B 737 Max 8 milik Lion Air dan Garuda Indonesia. Ide ini harus dicegah.
ADVERTISEMENT
Saran kepada Pemerintah
Sesuai UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (Lampiran III), ide presiden memang tidak melanggar dan dapat dilakukan asalkan dalam pelaksanaan rincinya harus mengikuti kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Lalu para maskapai yang berpatungan dengan asing ini harus diberlakukan sama dengan maskapai domestik.
Mereka harus sama-sama terdaftar dengan kode PK dan harus mau menerbangi semua rute domestik, bukan hanya rute gemuk saja. Untuk itu Menteri Perhubungan harus mengeluarkan Peraturan Menteri yang secara tegas mewajibkan mereka menerbangi rute kurus juga atau batasi ambil rute gemuk supaya setara dengan maskapai domestik.
ADVERTISEMENT
Harga tiket akan tetap tinggi kecuali ada terobosan pemerintah di pengenaan pajak dan retribusi, serta penguatan nilai tukar rupiah karena semua biaya untuk menetapkan harga satuan per kursi per kilometer, kecuali komponen biaya pegawai kebandarudaraan (10 persen), menghitungnya berdasarkan mata uang USD.
Hindari munculnya ide baru yang sesat dan akan menghancurkan industri penerbangan yang saat ini sedang giat membangun dan merenovasi bandara dengan biaya triliunan. Kalau kondisi ini terus memburuk, bisnis bandara dan ikutannya pasti ikut terpuruk.
Kita doakan dan pastikan saja ada strategi jitu dari Bank Indonesia supaya tiket penerbangan turun dan bisnis penerbangan Indonesia kembali moncer.
Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)