Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tragedi Pemahaman BPKP Mereviu Pengadaan KRL Jabodetabek
11 April 2023 10:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Agus Pambagio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik terkait kekusutan pengadaan Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) berlanjut dan semakin tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi setelah hasil reviu lapangan yang dilakukan oleh BPKP ke Jepang menambah kekusutan pengadaan angkutan umum paling utama dan paling dibutuhkan masyarakat Jabodetabek sejak 1976 lalu.
Tugas BPKP hanya mereviu rencana pengadaan KRL atas permintaan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, namun rekomendasinya konyol karena BPKP melakukan reviu teknis tanpa didampingi oleh ahli manajemen dan operasi perkeretaapian. Saya khawatir rekomendasinya menghasilkan kebijakan yang salah.
Kita ketahui bersama bahwa kebijakan pengoperasian KRL Jabodetabek didasarkan pada Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2011 Tentang Penugasan PT KAI (Persero) Untuk Menyelenggarakan Prasarana dan sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno Hatta dan Jalur Lingkar Jakarta – Bogor – Depok – Tangerang – Bekasi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Perpres tersebut PT KCI sebagai operator KRL Jabodetabek wajib melakukan perencanaan penambahan prasarana dan sarana sekaligus untuk mengantisipasi jumlah penumpang hingga 1,2 juta di tahun 2019 dan target ini tercapai dengan tingkat keandalan dan keselamatan tinggi, meski menurun kala pandemi.
Saat ini penumpang terus bertambah begitu pula panjang jalur KRL Jabodetabek hingga Cikarang dan selesainya Stasiun Manggarai, membuat pola perjalanan KRL Jabodetabek juga berubah, supaya dapat melayani penumpang secara berkeselamatan dengan jarak kedatangan kereta (headaway) maksimum setiap 3 menit.
Untuk itu dibutuhkan lebih banyak rangkaian kereta, makanya PT KCI memerlukan tambahan rangkaian untuk melayani kondisi perkembangan angkutan KRL Jabodetabek tersebut.
Bukan hanya sekadar mengganti rangkaian yang sudah tua. Perubahan tata Kelola operasi ini harus dilakukan PT KCI di tengah penolakan kenaikan tarif tahun lalu oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Problematik KRL Jabodetabek
Pembahasan langkah pengembangan dan kebutuhan KRL Jabodetabek sudah selalu dibahas dalam berbagai kesempatan baik internal PT KAI/PT KCI maupun dengan para stakeholder lain sejak beberapa tahun lalu, bukannya belum pernah dan penulis pun beberapa kali dilibatkan. Jadi tidak benar pernyataan Kementerian Perindustrian yang mengatakan tidak pernah dibahas.
Pembahasannya selalu pada kebutuhan dan jaminan pendanaan, termasuk kesiapan PT INKA membuat KRL tersebut, namun tanpa pernah ada keputusan yang jelas dari pemerintah. Mau beli bekas atau baru impor atau dibuat oleh PT INKA (PT INKA sendiri anggarannya tipis dan perlu dukungan pemerintah) tak kunjung putus hingga munculnya polemik ini.
Di tengah kekusutan kebutuhan yang sudah mendesak, PT KCI dengan persetujuan PT KAI dan Kementerian Perhubungan diputuskan membeli KRL bekas dari Jepang (misalnya JR East). Surat Permohonan ditujukan ke Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perdagangan minta rekomendasi Kementerian Perindustrian, di sinilah masalah dimulai karena Kementerian Perindustrian menolak dengan alasan TKDN dan harus beli dari industri dalam negeri (PT INKA), meskipun baru bisa beroperasi di tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana menangani kekosongan kereta? Terjadilah polemik yang tak putus ini, hingga akhirnya Kemenko Marves meminta BPKP untuk mereviu langsung ke Jepang dan munculah Laporan Reviu tertanggal 27 Maret 2023, yang menurut saya ajaib dan urgensi keperluan PT KCI patut diduga tidak dipahami oleh BPKP.
Bagaimana mungkin Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bisa mereviu teknis perkeretaapian komuter tanpa menyertakan atau berdiskusi dengan ahlinya, dapat menyimpulkan persoalan utilisasi, teknis dan pengoperasian KRL Jabodetabek.
Patut diduga keputusan Menko Marves akan kurang tepat dan menciptakan problem baru. Pengaturan Perka KRL Jabodetabek itu sangat kompleks dan bagaimana bisa BPKP dapat menyimpulkan sedemikian cepat hanya dalam waktu sekitar 1 minggu di lapangan ?
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh keanehan reviu, di poin 3 terkait dengan biaya konservasi, perbaikan atau upgrade. Apakah BPKP paham akan terjadi gangguan sangat besar di suplai ketika 220 trainset berkurang karena di konservasi, perbaikan dan upgrade/retrofit?
Pahamkah BPKP apa arti layak operasi bagi KRL manula yang sudah harus berhenti operasi? Kalau soal biaya yang harus ditanggung PT KAI pasti BPKP paham. Bagaimana BPKP menyatakan 1.078 unit siap beroperasi tanpa masalah.
Memangnya BPKP paham cara menguji kelayakan tanpa melibatkan ahlinya? Lalu Apa yang terjadi kalau meretrofit KRL tua yang sudah punah, di mana suku cadang juga sudah tidak ada, kalaupun ada harus dibuat dan mahal.
Menurut para ahli perkeretaapian, meretrofit KRL mahal membutuhkan anggaran kira-kira 50% dari harga KRL baru. Dari mana anggarannya dan kapan selesai? Sementara pertumbuhan pengguna tinggi pascapandemi.
ADVERTISEMENT
Begitu pula di poin 5, bagaiman BPKP mengetahui soal alokasi trainset dan Perka kalau tidak melibatkan ahlinya. Sepertinya reviu BPKP terbatas melakukan wawancara entah dengan siapa karena tidak semua manajemen KCI/KAI juga paham soal Pengaturan perjalanan KRL.
Pengaturan yang dilakukan sekarang disesuaikan dengan jumlah KRL yang sehat, waktu headaway dan sebagainya. Sangat teknis. BPKP saya akui paham soal manajemen proyek dan akuntansi tetapi tidak pengaturan atau manajemen perjalanan KRL jabodetabek.
Hasil reviu yang tidak tepat dapat memberikan keputusan yang salah bagi Menko Seharusnya sebelum diserahkan ke Menko Marves dibahas dulu dengan PT KCI sebagai operator KRL Jabodetabek, persis seperti kalau BPKP mengaudit proyek. Sebelum di terbitkan laporan resmi, BPKP selalu mendiskusikan dengan pengguna atau yang diaudit tentang akurasi isi laporan.
ADVERTISEMENT
Mohon Bapak Menko berhati-hati dalam mengambil keputusan tetapi harus cepat karena sudah sangat-sangat mendesak. Pendapat saya sebagai penutup, saya tidak peduli apakah negara akan impor KRL baru atau bekas dari mana saja atau menggunakan produk INKA yang kita belum jelas kapan akan selesai (PT KCI sudah kontrak dengan PT INKA senilai Rp 4 triliun bulan Maret 2023), silakan. Atau akan ada lagi lagi penumpang KRL naik di atas atap karena pengap.
Kawan-kawan pengguna KRL sudah resah karena mereka sangat tahu permasalahan yang dihadapi oleh PT KCI (lebih paham dari BPKP), bahwa sarana yang ada sudah menua dan sebagian harus segera diganti. Diperkirakan ada ratusan ribu penumpang KRKL Jabodetabek yang tidak terangkut per hari di tahun 2023 ini, jika persoalan pengadaan KRL tidak terselesaikan. Akan muncul gorengan netizen/buzzer yang dahsyat dari pengguna KRL Jabodetabek ke pihak terkait, seperti yang menimpa beberapa anggota Komisi VI DPR-RI lalu.
Kalau polemik ini terus berlanjut tanpa keputusan sementara armada KRL yang uzur dipaksa terus beroperasi, kita harus siap dengan persoalan keselamatan dan sosial, seperti saat kemarin ada KRL yang harus sudah pensiun berasap di Stasiun Bojonggede–Bogor.
ADVERTISEMENT
Kurangnya armada dan headaway yang lebih dari 5 menit di jam sibuk (pagi – sore) lalu muncul berbagai anjlokan akan sangat meresahkan dan harus ada yang bertanggung jawab. Jika kondisi KRL Jabodetabek memburuk, kendaraan pribadi akan semakin mengular dan mengganggu perekonomian Jabodetabek.
Jika itu terjadi maka pihak yang paling bertanggung jawab adalah K/L terkait yang selama ini kurang berempati, lepas tangan dan hanya menyalahkan PT KCI untuk persoalan angkutan utama rakyat, khususnya di wilayah Jabodetabek. Ingat PT KCI hanya operator bukan regulator.