Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Vaksin COVID-19 itu, Pahami Makna “Zona Hijau & New Normal"
12 Juli 2020 6:12 WIB
Tulisan dari Agus Samsudrajat S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah 7 bulan kasus COVID-19 pertama terdeteksi di Dunia dan jalan 4 bulan kasus di Indonesia, kurva Statistik kasus baru per hari justru semakin naik. Hal ini bisa dikarenakan karena semakin banyaknya tes yang dilakukan baik rapid tes maupun swab/PCR. selain itu juga bisa akibat dari kembali meningkatnya aktifitas penduduk sejak diwacanakan new normal karena status zona hijau.
ADVERTISEMENT
Alasanya bisa karena warga sudah jenuh dan rindu dengan kebiasaan yang lama. Alasan lain yang mencuat adalah ketakutan ekonomi memenuhi kebutuhan dasar dan kondisi akses daerah menjadi alasan terbesar untuk memulai new normal karena status zona hijau. Selain akhirnya pemerintah akui salah dalam menggunakan diksi “new normal” yang berdampak kepada masih meningkatnya kasus baru.
Gagal Faham Zona Hijau & New Normal
Tidak sedikit daerah dan masyarakat memaknai zona hijau ini adalah zona yang aman untuk beraktifitas normal seperti biasa sebelum COVID-19, boleh berkumpul ramai tanpa jaga jarak, tanpa masker dan tanpa cuci tangan. Ada juga yang mengartikan sudah tidak berbahaya atau tidak ada kasus maupun penularan. Ada juga dengan cukup ikuti acuan Rt/Ro sudah satu atau dibawah satu seperti yang pernah disampaikan Presiden tanpa melihat sejauh apa cakupan statistik tes swab-nya.
ADVERTISEMENT
Disisi lain sebagian daerah ada yang memilih kebijakan untuk merahasiakan kasus positif konfirmasi sesorang kepada perangkat RT/RW atau warga sekitar tempat domisilinya dengan alasan etika dan stigma. Bahkan ada beberapa kepala daerah yang sempat dimuat beberapa media online untuk memilih mengurangi laju tes rapid antibodi dan tes swab/PCR. Dengan tidak ada kasus, maka bisa cepat hijau.
Padahal sejatinya fakta-fakta diatas memiliki resiko besar dan gagal paham akan zona hijau. Status zona hijau disaat COVID-19 masih terjadi di wilayah terdekat, provinsi lain atau bahkan negara lain, bukan berarti itu boleh beraktifitas seperti biasa, kumpul bersama tanpa jarak apalagi di ruang tertutup dengan sirkulasi yang kurang baik, tanpa masker yang baik, tanpa cuci tangan dengan sabun dan tanpa sterilisasi benda-benda ditempat umum.
ADVERTISEMENT
Demikian juga New Normal; bukan berarti beraktifitas normal seperti biasa seperti sebelum COVID-19. Tetapi kita harus membiasakan perilaku jaga jarak fisik 2 meter, masker dan cuci tangan dengan sabun, dan disinfeksi tempat-tempat umum yang sering disentuh, belajar dan membiasakan cara-cara baru termasuk teknologi untuk beribadah, bekerja dan beraktifitas secara aman dan produktif saat wabah masih terjadi.
Apalagi jika akses keluar masuk warga terjadi seperti biasa tanpa harus melalui tahapan tes swab/PCR. Selama ini umumnya warga yang keluar masuk daerah hanya cukup sampai pada rapid tes antibodi. Meskipun rapid tes antibodi menjadi tahap awal sebelum tes swab/PCR, hal itu masih punya resiko besar belum mampu mendeteksi dan memastikan adanya paparan COVID-19. Sebagaimana data mengatakan persentase positif rate kasus harian dari spesimen yang diperiksa berkisar di antara 10%-18%.
ADVERTISEMENT
Dari data-data yang dihimpun dan ditampilkan Kementerian Kesehatan Maupun Gugus tugas nasional 30 juni-sampai 6 Juli 2020, diketahui bahwa daerah yang sudah memenuhi standar minimal WHO, 1000 tes PCR/minggu hanya 3 provinsi yang sudah memenuhi, dari 34 provinsi yang ada. Tiga daerah itu mulai dari yang paling tinggi tes PCR-nya adalah DKI Jakarta, Sumatera Barat dan Bali. Artinya sebagian besar provinsi di Indonesia masih belum maksimal jika kita pakai acuan standar yang ditetapkan WHO dan diterapkan dibeberapa negara lain.
Yang Menarik adalah Sumatera Barat, wilayah luar jawa dengan jumlah penduduk yang tidak beda jauh dengan Kalimantan Barat tetapi kinerja laboratorium daerahnya bisa sangat berbeda. Bahkan dengan beberapa Provinsi yang ada di Jawa atau dekat dengan Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
Alternatif Solusi
Meningkatkan kauntitas dan kualitas tes PCR/swab baik dengan melalui tahapan rapid tes antibodi maupun tidak. Meningkatkan vaksinasi perilaku sosial dengan informasi dan komunikasi yang baik dan benar, Selain dari Pakar Kesehatan, kepercayaan informasi pada tokoh agama/masyarakat memiliki peran/pengaruh paling besar dalam menanggulangi pandemi ini. Diantaranya yang masih banyak gagal faham adalah penolakan rapid tes atau tes swab/PCR, tidak memberikan contoh patuh protokol COVID-19. Oleh sebab itu tokoh agama/masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam memberikan ketegasan/peringatan/hukuman bagi yang tidak patuh protokol COVID-19.
Meskipun sudah ada klaim formulasi obat, kalung anti korona, dan sebagainya, tingkat kematian masih terus terjadi. Maka yang harus menjadi prioritas utama adalah upaya-upaya pencegahan terjadinya kasus baru. Pemerintah harus mampu memberikan solusi dan ketegasan bagi pelanggar, karena secara kewenangan dan tanggung jawab pemerintah memiliki posisi di puncak tertinggi.
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagi setiap warga secara individu/mandiri di lingkup keluarga/kecil bisa saling mengingatkan menjadi hal yang harus dibiasakan disaat ini, dan akan lebih bagus jika diperkuat dengan jaminan perlindungan dari pemerintah/sosial.
Jawa Timur atau Surabaya punya solusi berupa program Polisi Kesehatan Masyarakat sebagai penindak tegas pelanggar protokol. Sedangkan Jawa Tengah punya solusi program “Jogo Tonggo” (jaga tetangga) yaitu memberitahu info orang yang positif ke perangkat desa RT/RW dan warga untuk tidak memberikan stigma dan ikut membantu dan peduli terhadap tetangga yang sedang berstatus ODP, PDP, OTG atau konfirmasi positif. Sehingga semua bisa merasa saling bertanggung jawab dan bekerjasama.
Selain itu, di Maluku ada Desa siaga COVID-19, dimana kebiasaan masyarakat dan lingkungan harus mendukung upaya pencegahan Covid-19 dan menjadi sebuah kesepakatan/komitmen bersama. Disisi lain dasar hukum nilai-nilai agama seperti mencegah kemudharatan itu lebih utama dan berlomba lomba dalam kebaikan, sangatlah tepat dijadikan dasar dalam konteks beribadah dimasa pandemi seperti ini.
ADVERTISEMENT
Semoga zona hijau dan new normal (perilaku kehidupan yang baru) bukanlah keinginan untuk segera normal kesiana perilaku dan sarana pendukung, bukan karena merasa cukup dengan tes swab dibawah standar, bukan karena data yang tidak dimunculkan ke publik supaya tidak panik, bukan karena kita keliru memahami kebijakan dan informasi dari pemerintah pusat atau bukan tidak perlu lagi pakai masker, jaga jarak dan protokol COVID-19 lainya.
Sehingga dampaknya seperti yang kita ketahui, hal ini bisa jadi adalah karena keegoisan pemikiran kita bahwa untuk bertahan hidup mendapatkan ekonomi tidak perlu memperhatikan kesehatan. Atau mungkin karena keegoisan kita bahwa untuk menjalankan ibadah dan beragama itu harus dengan cara lama yang biasa dilakukan, meskipun kondisi wabah masih terjadi. Menganggap dengan taat protokol adalah tidak taat perintah agama, merusak ibadah dan menanjauhkan dari perintah agama.
ADVERTISEMENT
Padahal COVID-19 sendiri adalah sebuah ciptaan/produk atau salah satu ayat/tanda dari Tuhan untuk manusia yang harus dipelajari, dikaji dan dipahami bersama, seperti yang juga sebelumnya pernah terjadi oleh umat-umat beragama jaman nenek moyang jauh sebelum kita.
Artinya kita tidak boleh gengsi akan kekeliruan pemikiran dan kesadaran perilaku, kurangnya kerjasama dan kepedulian kita terhadap wabah ini. Termasuk memaknai kabijakan zona hijau dan new normal ditataran tekhnis harus segera diperbaiki dan dievaluasi kembali jika memang tidak terkendali. Maka patut kita apresisasi jika pemerintah sudah mau mengevaluasi kebijakan atas gagal pahamnya eksekusi "new normal" dan zona hijau ditataran bawah yang masih sangat dini, semu atau sangat dinamis.
Semoga doa dan ikhtiar kita bisa sepaham dan sejalan untuk kembali hidup normal dengan gaya baru yang lebih baik, tidak merusak tapi justru semakin memperkuat nilai-nilai dan prinsip dasar hidup baik dalam beribadah/beragama maupun bersosial.
ADVERTISEMENT
By; Agus Samsudrajat.S | Dosen Kesehatan Masyarakat K.Sintang FIKES UMP