Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Seri UMS Membangun Desa: Angin Segar Dana Desa? (3)
31 Agustus 2023 17:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Agus Triyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah seri ke-3 tentang kontribusi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui Lembaga Pengabdian Masyarakat dan Pengembangan Persyarikatan (LPMPP) dalam membangun desa. Pada tulisan sebelumnya, penulis mengupas tentang kelatahan yang terjadi merespons fenomena desa wisata yang pada ujungnya masyarakat kembali menjadi objek semata.
ADVERTISEMENT
Kemunculan UU No 6 Tahun 2014 tentang desa, memunculkan secercah harapan tentang perbaikan kualitas masyarakat desa. Tujuan dana desa tersebut secara eksplisit disebutkan sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dengan adanya Dana Desa, desa dapat menciptakan pembangunan dan pemberdayaan desa menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Beberapa kajian yang dilakukan tentang bagaimana pengaruh dana desa terhadap kualitas masyarakat, baik sektor pendidikan, kesehatan maupun ekonomi, memang menunjukkan hasil yang baik. Artinya, kehadiran dana desa sebagai stimulus pembangunan, memberikan pengaruh positif pada warga. Namun demikian, beberapa kritik dilontarkan terhadap penggunaan dana desa.
Pertama, Kepala Desa sebagai Superman. Di awal penerapan dana desa pada tahun 2015-2016, seorang mampu memegang berbagai macam peran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan di lapangan serta pelaporan pengelolaan keuangan desa. Padahal, kepala desa seharusnya mampu bekerja secara sama dengan tim dalam pengelolaannya. Hal ini tentunya untuk menjaga prinsip akuntabilitas dan juga transparansi. Perlu diingat, bahwa dana desa bukan dana (untuk) Kepala Desa tapi dialokasikan untuk Pemerintahan Desa dalam mewujudkan kemandirian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, misconception tentang regulasi dan tata kelola dana desa. Pada awal dana desa ini bergulir, beberapa pemerintah desa tidak memahami substansi serta pemahaman yang menyeluruh tentang pengelolaan dana desa. Alhasil, mereka beranggapan bahwa manajemen dana desa hanya berkutat pada pengajuan pencairan dana desa, perumusan alokasi kegunaan dana desa, dan pelaporan semata.
Ketiga, fokus pada infrastruktur. Agaknya ini yang masif terjadi dalam perencanaan penggunaan dana desa. Sebagian besar pemerintah desa meletakkan pembangunan infrastruktur sebagai program prioritas. Akibatnya, beberapa program pembangunan terkesan diada-adakan, tanpa diawali identifikasi kebutuhan masyarakat. Proyek-proyek mercusuar dan monumental muncul yang tidak memberikan pengaruh pada masyarakat, selalu bermunculan setiap tahunnya.
Terlebih lagi jika muncul anggapan dengan menggalakkan infrastruktur, berkiblat pada sesuatu yang sedang hits agar orang mau berkunjung, maka tidak perlu menunggu lama, bisa dipastikan bangunan tersebut akan mangkrak. Bagaimana tidak, setiap 'mercusuar' yang dibangun membutuhkan biaya perawatan yang tidak sedikit. Belum lagi analisis potensi terhadap kerusakan lingkungan sudah pasti diabaikan.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika ditelisik lebih mendalam, terdapat prioritas program untuk dilakukan: membangun super struktur dalam ini manusia. Ya, super struktur bisa ditingkatkan melalui berbagai macam kegiatan pelatihan, penyuluhan serta pengembangan layanan kesehatan dan pendidikan. Jika ini dilakukan dengan baik, maka kemandirian dan pemberdayaan masyarakat tentunya bukan hal yang sulit untuk diwujudkan.
Kemandirian ini penting untuk dibangun, agar desa berserta masyarakatnya tidak selamanya tergantung pada dana desa. Meskipun dana ini adalah amanat undang-undang, tapi tidak menutup kemungkinan dalam beberapa tahun ke depan, besaran dana yang diberikan tentunya akan berkurang, dan bisa aja nanti akan dihentikan.