Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Seri UMS Membangun Desa: Ironi Desa Wisata (2)
29 Agustus 2023 18:53 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Agus Triyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah seri ke-2 tentang kontribusi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui Lembaga Pengabdian Masyarakat dan Pengembangan Persyarikatan (LPMPP) dalam membangun desa. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tingkat kesehatan, kualitas pendidikan serta menjaga kebudayaan serta nilai yang ada di dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menyikapi berbagai perubahan yang ada di desa tersebut, beberapa upaya responsif coba dilakukan. Meskipun terkesan terburu-buru, minim kajian akademis dan perencanaan yang matang, toh hal tersebut tetap dilakukan. Ya, memunculkan gagasan desa wisata. Dengan ide ini, maka orang-orang didorong untuk pergi ke desa, tentunya bukan sekadar pergi, tetapi desa berupaya menyiapkan sesuatu yang atraktif untuk bisa dikunjungi.
Keindahan alam, spot selfie yang dibangun serta revitalisasi tempat ibadah untuk kegiatan wisata religi adalah beberapa kelatahan yang dilakukan. Tujuannya sederhana, agar orang kota pergi ke desa. Harapannya kehidupan ekonomi masyarakat desa menjadi meningkat, lalu muncul mata pencaharian baru misal sebagai pedagang, pemandu ataupun sekadar tukang parkir.
Namun demikian, langkah yang dilakukan seperti ini tidak bertahan lama. Alih-alih desa menjadi berdaya, justru dengan adanya kegiatan tersebut maka masyarakat tetap saja menjadi penonton, bukan menjadi pelaku pengembangan desa.
ADVERTISEMENT
Bahkan, data yang ada, dari 238 desa wisata yang ada di Bali, hanya 40 persen saja yang masih eksis untuk memasarkan kegiatan pariwisatanya. Dari 40 persen tersebut, hanya 20 persen yang benar-benar eksis. Kenapa demikian? Salah satu faktornya adalah masyarakat tidak menjadi pelaku, tapi hanya sebagai penonton.
Hal ini diperparah dengan bergantinya mata pencaharian masyarakat yang semula bertani, menjadi berdagang dan sekadar tukang parkir. Tidak hanya itu, pengelola juga latah membuat tempat wisata untuk selfie tanpa mempertimbangkan aspek risiko dan kerusakan yang ditimbulkan jika para pengunjung datang berduyun-duyun.
Padahal, karakteristik masyarakat sekarang cenderung cepat bosan dan pengin hal yang baru. Maka, jika seseorang sudah mengabadikan dalam foto/video, jangan berharap pengunjung tersebut akan berkunjung lagi.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, inilah ironi atas kelatahan kita dalam merespons urbanisasi. Meskipun tujuannya bagus, tapi mengeksploitasi desa untuk berubah secara budaya, justru semakin memperparah kerusakan yang ada. Belum lagi, jika pemilik modal masuk dengan investasi yang besar: membuat wahana dan penginapan. Selamat, masyarakat kembali menjadi penonton.