Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita Beternak Ayam: dari Sekepal Tangan sampai Urusan Menguras Tandon
21 Agustus 2023 5:41 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Surya Al-Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak keponakan membeli beberapa ayam kecil warna-warni, saya teringat dengan satu pengalaman saya dengan ayam. Saya tipikal orang yang suka bosan kalau memelihara hewan. Pernah sesekali ingin memelihara burung, tidak lama, karena bosan, akhirnya saya berikan ke teman.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan saudara saya yang lain. Ada dua saudara yang senang banget memelihara hewan, terutama burung, bahkan itu dia lakukan sampai sekarang. Di rumahnya berjejer sangkar burung yang kalau di total, harga nominalnya bisa jutaan.
Kadang saya tidak bisa paham kenapa orang dengan mudah membeli burung begitu mahal hanya untuk dipelihara. Alasan yang logis mungkin karena hobi dan cinta. Orang kalau sudah cinta, berapa pun uang yang dikeluarkan tidak jadi masalah. Asal kepuasan hatinya bisa tercapai.
Paman juga sama. Dulu sebelum rumahnya dibangun ulang, di sebelah rumahnya ada pelataran halaman yang cukup luas. Halaman itu ia tanami rumput gajah yang rata. Mirip rumput di stadion. Di sekeliling halamannya dibangun beberapa sangkar burung yang besar. Sehingga dulu saya sangat suka main ke sana. Lihat burung-burung sambil memberi makan.
Bukan hanya burung. Lama-lama peliharaannya bertambah, ada dua ekor ular anaconda yang dikurung di aquarium besar. Entah dari mana datangnya ular-ular besar itu, tetapi memang paman ini unik, sering dipanggil orang untuk dimintai tolong menangkap ular liar. Mungkin dari situ ia mendapatkannya. Ia juga sempat menyumbangkan beberapa ular tangkapannya ke Kebun Binatang Surabaya.
ADVERTISEMENT
Berkat paman, saya punya pengalaman memelihara ayam dengan waktu yang sangat lama. Saya diberi tiga ekor ayam yang kecil-kecil. Ukurannya hanya sekepal tangan. Namun sebelum memutuskan, saya tanya dulu ke ibu, karena ia juga tidak begitu suka memelihara ayam.
Ia bilang kotorannya mengganggu. Belum lagi kalau sudah keluar kandang, kotorannya bisa ke mana-mana. Waktu itu, tidak begitu jelas alasannya, tiba-tiba ia menyetujui begitu saja, maka detik itu juga langsung saya ambil ke rumah paman.
Di desa, kala itu peraturannya tidak seketat sekarang. Masih banyak ditemukan orang memelihara unggas, terutama ayam. Di beberapa rumah, mereka sengaja menyediakan halaman walau kecil untuk membuat pekarangan ayam atau bebek. Ada yang diternak karena dijual, ada pula yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri.
Sekarang berbeda. Aturan tersebut semakin ketat. Saya tidak tahu pasti apa yang melatarbelakangi, tetapi jika dilihat sekarang, di desa atau perkampungan tidak lagi ditemukan orang mempunyai hewan peliharaan, kecuali burung. Itu pun tak banyak. Meskipun banyak, memelihara burung tidak perlu membuat sangkar besar. Cukup kecil-kecil, sehingga tidak sampai mengganggu para tetangganya.
ADVERTISEMENT
Salah seorang kakak dari teman saya terkena dampaknya. Akibat sudah tidak mau harus berbuat apa, karena sulitnya mencari kerja, akhirnya ia memutuskan memelihara ayam. Tempatnya tidak begitu dekat dengan rumah-rumah tetangga.
Ia memilih tempat agak jauh di dekat pertambakan. Sekali buka peternakan ia langsung membeli banyak anak ayam. Ada sekitar puluhan ekor ayam. Namun sayangnya, tidak berselang lama, ada tetangga mengeluh dan melaporkannya ke Kepala Desa.
Otomatis ia dipanggil di balai desa. Dengan sangat terpaksa ia menuruti kemauan Kepala Desanya yaitu membongkar kandang ayamnya. Ayam yang cukup banyak itu akhirnya ada yang dijual dan dikonsumsi sendiri. Meski ada beberapa yang bisa dijual, tetapi orang-orang tidak sadar, kalau ia membuka usaha itu dengan modal meminjam di bank.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana cara dia melunasinya, sedangkan ayam peliharaannya sudah tidak ada. Menurut cerita dari adiknya, pasca kejadian tersebut, ia sampai memutar haluan menjadi pekerja pabrik untuk melunasi utang banknya.
ADVERTISEMENT
Setelah saya ambil di rumahnya, sembari menunggu kandangnya selesai, sementara ayamnya saya tempatkan di kardus besar. Tidak butuh waktu lama, kandang sudah jadi. Ukurannya cukup besar. Buat jaga-jaga saat besar nanti, biar tidak membuat kandang baru lagi. Saya letakkan ayam-ayam itu di belakang rumah, kebetulan ada lahan kecil, cukup buat meletakkan kandang.
Saya masih ingat, setiap hari selepas pulang sekolah, rutinitas saya selalu cek kondisi ayam sambil memberi makan. Kadang-kadang bermain. Si ayam saya taruh di halaman depan rumah, kemudian saya tinggal, ternyata dari belakang, dia mengikuti sambil lari. Sejak itu saya baru sadar, kenapa orang senang memelihara hewan.
Selain sebagai peliharaan, hewan-hewan tersebut juga berperan sebagai teman. Makanya, teman-teman saya yang ngekos, mereka kebanyakan membeli aquarium kecil di kamar kosnya. Katanya, ikan itu adalah teman di kala ia sepi, merasa sendiri di kos. Sehingga dengan ikan bergerak, ia merasa punya teman walau hanya sekadar dibuat lihat-lihatan.
Setelah beberapa bulan saya rawat, saya tidak tahu jika tiga ayam yang saya pelihara ternyata ayam jago. Saya kira cuma ayam potong biasa. Saya tahu ketika tiga ayam itu sudah cukup besar. Namun saya tidak berhasil memelihara tiga ayam itu. Dari tiga ayam, yang hidup cuma satu. Dua-duanya meninggal.
ADVERTISEMENT
Satunya meninggal karena tertabrak sepeda. Satunya lagi hilang misterius. Beberapa hari tidak tahu ke mana perginya. Saya baru tahu sekitar empat hari setelah ayam itu tidak pulang ke kandang. Itu pun karena ada laporan tetangga, kalau ia menemukan satu ayam mati di rumahnya. Saya merasa tidak enak lagi ketika saya tahu ternyata matinya persis di bagian vital rumahnya. Tepatnya di genting rumah, sebelah saluran air yang langsung terjun ke tandon air.
Menurut ceritanya, ia serumah merasa gatal-gatal waktu mandi. Mereka bahkan sampai membersihkan tandon air berkali-kali. Ia baru tahu penyebabnya setelah sekeluarga mencium aroma-aroma bangkai. Di setiap sudut rumah, mereka mencari asal muasal bau itu. Mereka akhirnya menemukan bau tersebut di atas. Bangkai ayam itu telah bertengger di sana berhari-hari.
ADVERTISEMENT
Bagaimana pun juga saya bersalah, karena saya yang punya ayam itu, tetapi karena saya masih kecil, tidak tahu apa-apa, akhirnya masalah tersebut diselesaikan ibu dan berakhir damai, saling maaf-memaafkan. Untungnya saya hidup di perkampungan. Budaya guyub rukunnya masih kental. Kalau bisa diselesaikan dengan baik, kenapa harus bertengkar.
Bayangkan, tandon air yang berukuran sedang itu berisi cemaran air dari bangkai ayam. Mereka harus mengurasnya berkali-kali. Saya tidak tahu seperti apa capeknya.
Setelah dikuras, masih bau, akhirnya dikuras lagi. Mereka tidak tahu karena bangkainya berada di atas, di saluran air yang menjadi tempat mengalirnya air hujan ke tandon. Kebetulan saat kejadian, sedang musim hujan.
Pasca peristiwa itu, ayam yang tinggal satu diambil lagi oleh paman dengan imbalan uang sekitar tiga ratus ribu. Uang segitu cukup besar bagi saya. Rencananya ayam tersebut dijual saja karena ukurannya sudah cukup besar.
ADVERTISEMENT