Konten dari Pengguna

Ruang Besar Nahdlatul Ulama

Surya Al-Bahar
Penulis dan Pengajar di SMA Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo
21 Oktober 2023 16:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surya Al-Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Nahdlatul Ulama (NU). Foto: Supri/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Nahdlatul Ulama (NU). Foto: Supri/REUTERS
ADVERTISEMENT
Setiap menjelang pemilu, utamanya pilpres, pembahasan tentang Nahdlatul Ulama (NU) selalu ramai. Bahkan, hampir mendekati kontroversi. Dikatakan kontroversi karena narasi tersebut sebelumnya tidak ada. Kemudian sekarang ada. Sehingga jadi masalah baru. Pembahasannya tidak jauh dari sekadar politik praktis.
ADVERTISEMENT
Sebagai organisasi ruang, bukan materi, sebenarnya pantas saja NU terus-terusan dibahas. Yang namanya rumah dan ruang besar, tentu banyak sekali pihak-pihak yang ingin bertamu ke sana.
Sebagai organisasi ruang, politik hanyalah ruang kecil. Masih ada ruang besar, yaitu kemaslahatan dan kebermanfaatan di masyarakat. Bagaimanapun caranya. Ruang kecil itu mungkin ruang tamu, bukan kamar tidur.
Mereka yang datang hanya dipersilakan di luar, bukan di dalam. Meski kadang agak besar ruang tamu ketimbang kamar tidur, namun yang dilihat bukan besarnya, tetapi keintimannya.
Dari bagian rumah, kamar tidur merupakan tempat sakral dan intim. Baik buruknya rumah ada di sana. Makanya, tidak semua orang diperbolehkan masuk. Tetapi sekarang banyak sekali orang ingin masuk ke sana. Sudah bersyukur diterima, tapi minta lebih. Kata orang Jawa, sudah dikasih hati, malah minta jantung. Itu namanya tak sopan.
ADVERTISEMENT
Berbicara NU itu tidak bisa hanya sekotak, PBNU misalnya. NU itu berkotak-kotak. Memiliki banyak elemen. PBNU selaku mewakili NU struktural pun beda dengan NU kultural. Bagian ini tidak bisa terwakili.
Mereka sendiri-sendiri. Kalau struktural punya prinsip, mereka yang kultural pun sama. Cuma prinsip dalam pengertian satu jalan. Bukan satu komando. Apalagi komando pilpres. Pasti tidak.
Survei Litbang Kompas pada Mei 2023 menunjukkan, 61,7 persen responden mengakui dirinya warga NU, nahdliyin. Meski bukan struktural, mereka punya rasa kedekatan pada NU. Kedekatan pada hal ajaran, spiritual, nilai, dan sebagainya. Bukan pada pilihan. Itu terbukti di Nahdliyin akar rumput.

Suara Nahdlatul Ulama (NU)

Ilustrasi kantor Nahdlatul Ulama (NU). Foto: Shutterstock
Soal NU dan PKB misalnya. Konon, PKB partainya NU. Orang NU milihnya PKB. Nyatanya, tidak semua pejabat yang terafiliasi NU dan PKB menang di daerahnya masing-masing. Masih banyak juga yang kalah.
ADVERTISEMENT
Kalau 61,7 persen tadi ikut instruksi soal pemilihan, logikanya pasti di banyak daerah dipimpin orang-orang NU cum PKB. Itu logika sederhana. Nyatanya juga tidak. 61,7 persen itu tidak sedikit. Setengah lebih banyak. Di antara mereka, banyak yang terafiliasi dengan NU, tapi bukan PKB.
Jadi PKB hanya jalan. Sedangkan banyak sekali jalan, meskipun satu tujuan. Menurut survei Litbang Kompas Agustus 2023, referensi politik warga NU terlihat menyebar ke partai-partai besar juga. Di antaranya PDIP, Gerindra, dan PKB.
Antara tiga partai besar tersebut, paling banyak justru di PDIP. Sebesar 22,2 persen. PDIP paling banyak dipilih Nahdliyin. Sedangkan di PKB yang konon partainya nahdliyin malah cuma 10,2 persen. Masih banyak di Gerindra, 19,9 persen.
ADVERTISEMENT
Soal wasilah, ajaran, kita sama, tapi soal pilihan, tidak sama. Kira-kira begitu. Survei LSI Denny JA Agustus 2023 pun sama. PDIP menempati posisi pertama. Disusul Gerindra. Setelah itu PKB dan Golkar.
Sebetulnya sudah benar yang dikatakan Gus Yahya, Ketua PBNU. Silakan berpolitik, tapi jangan menggunakan nama NU. Terlebih memakai kantor-kantor NU. Sederhananya, Itu semacam penegasan soal yang ramai belakangan ini tentang politik identitas.
NU jelas merupakan identitas. Apalagi identitas sebagai ormas agama. Kadang kita itu lucu. Melakukan pelarangan. Sepakat, tapi setengah-setengah. Berlaku di satu bidang tertentu, tapi tidak di bidang lain.
Mungkin sebagian nahdliyin setuju jika NU dibawa ke politik praktis, tetapi sebagian besar juga tidak. Bagian Nahdliyin akar rumput terutamanya. Mereka sadar, NU besar. Suara dan pengaruhnya besar. Kurang etis jika dilibatkan dengan hal-hal semacam ini.
ADVERTISEMENT
Hasilnya malah pertengkaran dan keributan. Lagi-lagi, dilihatnya kurang pantas. Cocoknya memang merangkul semua. Diterima semua. Setelah diterima, disediakan sebagian ruang untuk menempatkan mereka. Artinya jalan bersama untuk kepentingan bangsa.
Belum lagi keributan antara PKB dengan PBNU. PKB dengan keluarga Gus Dur. Sampai muncul artikel opini dari KH. Imam Jazuli di Disway.id untuk Muktamar Luar Biasa (MLB) NU. Hanya karena tidak ada keberpihakan PBNU pada PKB.
Itu bentuk ketragisan yang parah. Pertengkaran yang tak etis. Yang perlu diingat, NU bukan hanya ada di PBNU, PWNU, sampai ke Ranting. NU masif di mana-mana.
Kedekatan mereka bukan hanya kedekatan struktural. Namun mereka adalah ruh penggerak. Mereka kekuatan NU masa depan. Mereka orang kampung, orang desa, orang tani, orang-orang kecil. Mereka hanya bisa menikmati tausyiah ulama-ulama NU dari acara-acara PHBI. Setahun bisa dihitung dengan jari. Bisa juga di medsos. Tanpa pernah bertemu.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah aktor pelestari ajaran NU. Mereka perlu dirawat. Dibesarkan hatinya. Dimanjakan hidupnya. Di benak mereka, aku tidak anggota NU tidak apa-apa. Yang penting aku tahlilan, yasinan, istigasah. Tetapi kalau NU ada apa-apa, aku ikut bergerak.
Bagi mereka, seringkali keributan-keributan itu justru semakin menambah jarak antara NU dan masyarakat. Mereka dibuat semakin jauh. Jauh dalam arti kepedulian untuk memiliki dan merawat.
Yang harus diperjuangkan sebenarnya bagaimana orang-orang seperti mereka ini. Yang tidak masuk di struktural, namun dalam hatinya ada rasa kepemilikan dan kepedulian.
Orang ketika berkumpul membentuk organisasi, pasti tujuannya jelas. Kalau perusahaan kumpul, tujuannya mencari laba. Kalau partai kumpul tujuannya memperjuangkan ideologi. Representasinya pada pemerintahan dan kekuasaan.
Sedangkan NU, yang diperjuangkan adalah nilai. Jika dibandingkan dengan kekuasaan dan laba, nilai adalah bentuk perjuangan yang durasinya paling panjang. Urusannya bukan kekuasaan, tetapi kemaslahatan, kemanusiaan, dan kebermanfaatan.
ADVERTISEMENT
Kalaupun ada kekuasaan, itu hanya sebagian kecil dari alat untuk memperjuangkan nilai. Sedangkan alat tidak hanya satu. Masih banyak alat dan juga banyak cara.