Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Agenda Bersama Usai Pemilu
25 Maret 2024 16:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 baru saja selesai. KPU telah mengumumkan para pemenang di semua pemilihan, baik Pilpres, Pileg, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten / Kota. Sebagai salah satu kontestan (Caleg) yang bertarung di Pileg DPR RI, penulis menangkap bagaimana harapan rakyat dititipkan kepada para wakilnya.
ADVERTISEMENT
Maka tak ada cara lain untuk menjawab kepercayaan itu, selain dengan kerja keras, seraya berupaya mewujudkan apa yang disebut Bung Karno sebagai “Amanat Penderitaan Rakyat”. Maka dari itu, ketika ada anomali susulan di beberapa daerah dengan mundurnya Caleg terpilih—apa pun alasan yang melatarinya—itu merupakan tindakan yang menodai kepercayaan rakyat dan berpotensi menarik mundur demokrasi kita.
Mengingat bila kita percaya pemilu dan demokrasi, maka sesungguhnya ini menjadi momen penting untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, sebagaimana ditulis Hans Kelsen, pemilu merupakan proses politik di mana rakyat memiliki kuasa untuk memilih wakil-wakilnya. Dengan demikian, setiap Caleg yang terpilih pada dasarnya telah diberikan kewenangan oleh warga negara untuk memperjuangkan kepentingannya.
Oleh Jean Jacques Rousseau, proses tersebut dikenal sebagai The Social Contract, atau kontrak sosial antara rakyat dengan wakilnya. Yang mana pemilih menyerahkan sebagian haknya kepada anggota parlemen terpilih dan pemerintah. Penyerahan hak dimaksud semata-mata dalam upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik, “....which people would receive in exchange for their independence a better kind of freedom, namely true political, or republican, liberty”.
Masih menurut Kelsen, ketika rakyat percaya wakilnya (di parlemen), maka mereka berharap kepentingannya akan diperhatikan dan diperjuangkan. Pentingnya kedaulatan rakyat dalam pemilu di atas, ditekankan sekali lagi oleh Samuel Huntington, bahwa demokrasi memungkinkan terjadinya penyusunan keputusan kolektif melalui pemilihan umum yang jujur dan adil.
ADVERTISEMENT
Tantangan Demokrasi
Hanya saja, harus kita akui bahwa tegaknya tiang demokrasi di suatu negara, sangat dipengaruhi oleh komitmen para elite yang menjalankan kekuasaan itu. Tak jarang pada masa transisi di sejumlah negara berkembang para elite terjebak, antara menguatkan demokrasi atau mengakomodasi kepentingan kelompok. Banyak fakta menunjukkan konsolidasi demokrasi menghadapi tantangan ini.
Seperti dijelaskan Christopher J Anderson, konsolidasi demokrasi kerap berhadapan dengan proses tawar-menawar antar elite untuk saling mempengaruhi. Seperti kasus di kawasan Eropa Timur, di mana terjadi political bergaining yang mengarah kepada perubahan dari model otoritarian-totalitarian menuju demokrasi. Ini berdampak pada tantangan check and balances, yang menjadi instrumen demokrasi modern.
Tantangan lain di era digital kini, demokrasi membentur tembok anomali kebebasan berekspresi, seperti penguatan politik identitas dan hate speech yang berakibat pembelahan masyarakat ke dalam dua kubu yang berhadap-hadapan. Preseden ini tidak hanya terjadi di negara demokrasi baru, bahkan juga menjadi fenomena di negara maju. Seperti munculnya white supremacy di AS, yang merupakan warisan lama. Saat Presiden Donald Trump memimpin negeri Uncle Sam, berkembang jargon Make America Great Again (MAGA).
ADVERTISEMENT
Hasilnya, begitu Trump tumbang di pemilu terakhir, 2021, terjadi penyerbuan Gedung Capitol yang menjadi markas Kongres, bahkan massa pendukung Trump sempat “mengambil alih” gedung wakil rakyat tersebut dalam beberapa jam.
Fenomena lainnya juga terjadi di Eropa dengan keluarnya Inggris dari Europa Union (EU), dan menguatnya politik Sayap Kanan di berbagai negara. Politisi-politisi rasis juga kian mendapat tempat dengan kemenangan mereka di Belanda, Norwegia, Swedia, Prancis dan sebagainya.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski sedikit berbeda, namun pembelahan di masyarakat akibat penguatan identitas tertentu—plus hoax dan hate speech—juga berkembang sejak 2014. Saat itu kita mendengar banyak keluarga dan komunitas yang terpecah akibat Pilpres, yang dampaknya masih terasa hingga kini.
Tema tersebut juga masih aktual sampai sekarang, karena di saat yang sama—sebagaimana dijelaskan di atas—tantangan serupa juga terjadi di berbagai belahan. Dengan kata lain, ada tren global yang mengarah pada penyempitan ruang politik, akibat menguatnya identitas kultural.
ADVERTISEMENT
Social Gap yang Mengancam
Di luar itu, mengutip buku karya Hamish McDonald (2015), bertajuk “Demokrasi: Indonesia in the 21st Century”, setidaknya ada tiga handicap yang membuat demokrasi kita seolah jalan di tempat. Pertama, masih tingginya praktik korupsi di berbagai tingkatan. Praktik korupsi merusak prinsip-prinsip demokrasi dengan merampas dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Penegakan hukum yang kuat dan transparansi dalam pemerintahan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Sayangnya itulah yang masih sulit kita wujudkan, setidaknya terefleksikan dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) tahun 2023. Laporan tersebut menyimpulkan kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami stagnasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115.
Kedua, masih lebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi. Ketimpangan sosial dan ekonomi antara kelompok-kelompok masyarakat masih menjadi masalah serius. Kesenjangan ini dapat mengancam stabilitas dan harmoni sosial. Oleh karenanya perlu ada langkah-langkah yang diambil untuk mengatasinya. Misalnya dengan distribusi sumber daya yang lebih adil, akses pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik, serta perlindungan hak pekerja.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka Gini Ratio tahun lalu mencapai 0,388 poin dari skala 0-1 poin. Angka itu meningkat 0,007 poin bila dibandingkan rasio Gini September 2022 yang sebesar 0,381. Rasio Gini Maret 2023 juga lebih tinggi 0,004 poin dibandingkan torehan Maret 2022 lalu yang sebesar 0,384 poin. Gejala ini harus dilihat bukan semata pada angka, namun dampaknya terhadap kualitas demokrasi. Hidup yang semakin sulit membuat orientasi pilihan politik dalam pemilu tidak lagi rasional, melainkan pragmatis dan cenderung bersifat jangka pendek. Ini tantangan nyata demokrasi kita yang harus kita tuntaskan dalam waktu dekat.
Ketiga, meningkatnya ekstremisme akibat hate speech dan hoax. Ancaman radikalisme dan ekstremisme menjadi isu penting dalam konteks demokrasi. Penyebaran paham radikalisme dan kelompok teroris dapat mengancam stabilitas dan keamanan nasional. Perlu adanya pendekatan yang melibatkan pendidikan, peran tokoh agama, dan kerja sama antarlembaga untuk menanggulangi radikalisme. Tugas tersebut semakin tidak mudah, seiring masifnya penggunaan social media, di mana banjir informasi mengakibatkan kita terjebak pada kubangan eco chamber yang berpotensi men-drive perilaku kolektif.
ADVERTISEMENT
Berjalan Bersama Meski Mimpi Berbeda
Serbuan informasi yang tidak terpilah tersebut pada akhirnya membuat masyarakat sulit memilah antara fakta dan propaganda. Akibatnya sering kali kita terjebak dalam “kebencian” antar kelompok, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Oleh karenanya penting bagi kita semua untuk mendorong penguatan Demokrasi yang bersifat Deliberatif. Di mana demokrasi model ini menekankan pada partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik melalui dialog dan diskusi rasional. Itu dapat dilakukan dengan meningkatkan literasi politik melalui program pendidikan dan informasi yang merata. Di sini peran media sangat penting, sebagai cahaya di kegelapan bagi penguatan demokrasi deliberatif yang kita tuju bersama.
Maka melalui kolom ini, penulis berharap agar para elite bangsa ini, dan semua stakeholders yang memiliki kecintaan terhadap bangsa, harus berjalan bersama untuk berpikir jangka panjang. Persaingan politik dalam pemilu adalah sah, namun di saat yang sama, mewujudkan Indonesia Emas 2045 jauh lebih utama. Itulah yang seharusnya mengikat kohesi sosial kita semua, menjadi entitas nasional yang bergerak bersama—meski memiliki mimpi elektoral yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Di sinilah indahnya demokrasi, tentu saja bila kita bisa memaknainya dalam konteks kepentingan bangsa yang lebih luas. Selamat menjalankan Ibadah Puasa.***