Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Presidential Club, Bukan Sekedar Omon-Omon
12 Mei 2024 16:30 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kabar menggembirakan muncul beberapa hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengesahkan kemenangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Yang dimaksud adalah ide Pak Prabowo untuk membentuk Presidential Club, yakni forum para mantan presiden untuk duduk bersama, memberikan pandangan dan saran sebagai sumbangsih kepada the ruling president. Ide ini bukan sesuatu yang baru, baik di dunia maupun di Indonesia. Di Amerika Serikat (AS), sejak lama ide forum mantan presiden menghadirkan debat publik, namun yang pasti para ex-Presidents tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah. Pasalnya sebagai “makhluk politik”, mereka selalu memiliki idealisme untuk membangun negaranya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang dilakukan Presiden Jimmy Charter, beberapa tahun setelah ia lengser dari Gedung Putih. Beliau terlihat sangat bersemangat memberikan masukan ke penerusnya. “Every President has had a different attitude toward the post-presidential years,” katanya. “I am not interested in entering the corporate world or on the permanent lecture tour. I want to work on the issues that interested me before and after I was in the White House.” Publik AS pun mengapresiasi saran para mantan presiden, meskipun tentu saja dengan berbagai catatan. Seperti komentar Robin Boyd, dari Catonsville Community College.
Ia menganalisis peran mantan presiden dan seberapa efektif pengaruhnya bagi presiden yang sedang menjabat. “Salah satunya seberapa dihormati mantan presiden tersebut oleh presiden yang tengah menjabat. Banyak mantan presiden yang bisa diandalkan untuk memberikan masukan, namun semua tergantung ide dan kapasitas mereka”, ulasnya. Dengan kata lain, ex-presidents forum tetaplah matters dan strategis sebagai sebuah oasis bagi harapan rakyat di setiap negara. Pada konteks politik Indonesia yang heterogen dan dinamis, forum semacam itu juga sangat penting untuk—tidak hanya menstabilkan politik jangka pendek—lebih utama dari itu adalah mengawal tujuan pembangunan jangka panjang: Indonesia Emas 2045.
“Pintu Darurat”
ADVERTISEMENT
Sebagaimana kita tahu, beberapa tahun lalu sempat muncul wacara amandemen konstitusi (UUD 1945) yang ingin menghidupkan lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai haluan pembangunan nasional. Wacana ini muncul sebagai respon setelah melihat ekses negatif 25 Tahun Reformasi yang ternyata menyulitkan pemerintah (siapapun presidennya) untuk membuat program pembangunan jangka panjang yang sustain. Namun karena pintu amendemen sulit dilakukan—dan juga timing-nya yang kurang tepat, karena menjelang pemilu—maka ide tersebut mendapat penolakan publik.
Meski begitu, kita sepakat bahwa pembangunan jangka panjang (ala GBHN) merupakan suatu kebutuhan jika bangsa ini ingin maju. Lalu bagaimana solusinya? Disini menariknya, karena setidaknya ada “pintu darurat” yang bisa digunakan, salah satunya Presidential Club, dimana para Negarawan yang memiliki pengaruh, baik di level massa dan elit (parlemen), dapat duduk bersama dan menyumbangkan pemikirannya bagi pemimpin yang sedang bertugas.
ADVERTISEMENT
Ada tiga manfaat sekaligus jika ide ini bisa dilakukan, pertama, forum tersebut dapat mencairkan sekat-sekat personal dan politik antar mantan presiden, sehingga politik nasional dapat berjalan lebih produktif. Para pendukung dan masyarakat luas juga akan melihat preseden tersebut sebagai contoh yang baik, dimana para pemimpin lebih mengutamakan persatuan bangsa, bukan hanya mementingkan kekuasaan partai, maupun faktor elektoral lainnya.
Kedua, pemikiran dan pengalaman para “manusia terpilih” tersebut sangat dibutuhkan oleh current President, karena learning by experiences jauh lebih meaningful daripada sekedar teori dan pidato semata. Kita bayangkan misalnya, di suatu rapat Presidential Club, Ibu Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan pandangannya mengenai harga minyak dunia yang kini terus meningkat seiring konflik di Timur Tengah. Beliau pernah mengalami situasi yang sama, bahkan lebih sulit di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Begitu juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dikenal dengan kekuatan diplomacy-nya di regional, memberikan masukan terkait dengan pemanasan global yang kini benar-benar terasa dampaknya. Dimana di Asia Tenggara suhu meningkat mendekati 50 derajat celcius. Beliau dikenal sebagai salah satu pemimpin yang memiliki track record bidang diplomasi iklim. Lalu Presiden Jokowi yang sukses membangun infrastruktur di sejumlah daerah, dapat memberikan catatan ke Presiden Prabowo mengenai prioritas pembangunan, termasuk mengawal setiap tahapan Ibu Kota Negara (IKN).
Menghormati Semua Pemimpin
Ketiga, di atas semuanya, Presidential Club dapat menjadi lompatan politik penting dalam timeline sejarah kita, dimana kita akui masih ada saja “sekat politik dan sejarah” terhadap pemimpin di masa lalu. Misalnya Presiden Soekarno, yang dipuja oleh kalangan nasionalis, namun kerap mendapatkan sentimen politik dari kelompok lainnya. Begitu juga Presiden Suharto, yang bergelar sebagai Bapak pembangunan, namun di saat yang sama juga sulit diterima kelompok tertentu akibat memori politik di masa lalu. Dalam konteks ini, klub mantan presiden dalam berperan dengan memberikan pengakuan terhadap semua pemimpin terdahulu, atas jasa dan pikirannya untuk bangsa.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, momentum itu juga memiliki nilai strategis untuk membawa bangsa ini menyudahi “konflik” antar faksi, seraya menyatukan energi untuk menghadapi tantangan yang lebih besar. Bila inisiatif Pak Prabowo ini berhasil, maka beliau akan dikenang sebagai pemimpin yang dapat menyatukan semua kelompok di bangsa ini.
Ke depan, agar Club tersebut semakin optimal, penulis mengusulkan juga bergabungnya para mantan wakil presiden di Presidential Club. Mereka juga sangat layak diundang sebagai members karena pengalamannya tak kalah banyak. Pak Jusuf Kalla (JK) misalnya, dikenal sebagai Wapres yang aktif dan selalu punya solusi di tengah kebuntuan. Kiai Maruf Amin juga banyak berbicara mengenai keumatan dan kerakyatan, sehingga dapat menjadi katalisator di tengah perbedaan di bangsa ini. Begitu juga dengan Pak Hamzah Haz yang memiliki pengalaman mengawal reformasi hingga merealisasikan pemilu langsung pertama 2004. Tak ketinggalan Pak Boediono yang dikenal sebagai pemikir ekonomi yang sukses melewati krisis keuangan dunia 2012.
ADVERTISEMENT
Menengok ke belakang, forum para mantan presiden juga tidak baru-baru amat di Indonesia. Presiden SBY pernah menyampaikan ide ini pada 2014 dan 2017, saat ia bertemu Presiden Jokowi di Istana. Dengan demikian, apa yang digagas Pak Prabowo terbukti memiliki basis legitimasi, baik historis maupun politis. Ide ini sekaligus memperkuat image beliau sebagai pemimpin rekonsiliator yang mengutamakan persatuan, tidak hanya mementingkan power saja.
Sejauh ini para elit mendukung ide segar klub presiden tersebut. Wapres terpilih, Mas Gibran, melihat Club ini dapat menyatukan mantan pemimpin-pemimpin, senior-senior, dan sesepuh-sesepuh. Perkumpulan para pemimpin negara ini juga diharapkan bisa menunjukkan bahwa pemimpin bangsa Indonesia kompak, rukun, dan guyub. “Agar bisa mendapatkan masukan-masukan dari beliau yang sudah berpengalaman. (Minta masukan dari Ibu Megawati) ya semua kami akan mintai pendapat, senior, pimpinan-pimpinan yang berpengalaman memimpin negara pasti kami mintai pertimbangan, itulah kenapa ada Presidential Club”, jelasnya.
Mengawal Cita-Cita Kemerdekaan
ADVERTISEMENT
Penulis pun dalam kesempatan sebelumnya, mewakili Partai Golkar menilai bahwa ide Pak Prabowo ini sangat luar biasa jika terwujud, karena akan memudahkan Presiden dalam bekerja. Pasalnya dengan mentor para pemimpin sebelumnya, akan membuat perjalanan pemerintahan menjadi lebih cepat dan produktif. Tak hanya koalisi pemerintah yang mendukung, bahkan Cawapres Muhaimin Iskandar, yang sebelumnya berkompetisi dengan Prabowo-Gibran juga memuji proposal Presidential Club. Ia menekankan pentingnya keberlanjutan pembangunan. Termasuk jika sebelumnya terjadi kegagalan dalam saatu program, dengan adanya forum diskusi para mantan Presiden, maka kegagalan berikutnya dapat dihindari. Momentum tersebut bida menjadi modal dan pelajaran berharga.
Meski begitu, penulis menghargai pandangan pihak lain yang tidak sepakat dengan ide ini. Demokrasi selalu memberi ruang kepada perbedaan sudut pandang, dan dengan adanya diskursus publik (seperti melalui tulisan ini) diharapkan tesa dan antitesa yang muncul berikutnya lebih bertolak dari basis analisa rasional, dan bukan irasional, apalagi emosional. Hanya dengan itu bangsa ini dapat berlari cepat, mengejar ketertinggalan dari negara maju, seraya mewujudkan Indonesia Emas 2045.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, The Presidential Club bukan hanya wadah omon-omon belaka, melainkan sebuah forum strategis para Negarawan untuk mengawal arah bangsa ini on the tracks menuju cita-cita kemerdekaan.***