Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melipat Jarak
10 September 2024 7:07 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ahmad Haetami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi ini angin terasa syahdu, pukul 02:01 dini hari. Daun-daun bergoyang seraya mengulurkan tangan mengajak ku untuk melihat langit, awan terlihat berjalan sedikit cerah diterangi rembulan yang terang seperti wajahmu, gemintang tampak kilau dengan senyumnya yang manis, alunan suara hewan menemaniku dengan penuh damai.
ADVERTISEMENT
Aku masih terdiam dengan segala pikiran yang bergemuruh. Ku lihat dari kejauhan langit di atas rumahmu terang, tapi tidak dengan yang disekitarnya. Licik, tapi ya begitu. Ku lihat rumah mu dikelilingi beberapa titik gunung, sungguh indah nan menakjubkan. Impian banyak bagi orang telah muak dengan padatnya lalau lintas dan udara ibu kota.
Disini, ditempat pertama kamu jatuh ke bumi. Seketika tempat ini mengingatkan ku pada masa kecil; bemain hingga larut sore tanpa kenal waktu, mandi di sungai sambil tumpuk batu, bermain di sawah sambil main lumpur, main layangan sampai bolos sekolah, manjat pohon tetangga tanpa minta izin lalu dikejar, nginap di rumah teman sampai dicari orang tua. Ahh itu dulu memori masa kecil, tapi cukup menyenangkan bukan, sayangnya kita tidak bisa kembali ke masa itu.
ADVERTISEMENT
Apakah menjadi dewasa memang serumit ini?, kita selalu dihadapi banyak tuntutan dan segudang impian yang harus dikejar. Banyak waktu yang mesti dikorbankan demi memenuhi harapan, padahal kita enggak tahu yang kita kejar bisa diarungi sebagaimana menangkap bola dijalan yang menurun. Tapi tak apalah tuhan menyuruh makhluknya untuk berusaha bukan menunggu hasil.
Nun, di kota tempatmu berpijak. Aku nyaman dengan suasana disini, rasanya tak ada lagi kedamaian selainnya, pada setiap lintasan sudut jalanan tergambar lukisan indah semesta, di tepian jalan itu bayanganmu tergambar hingga larut dalam nirwana. Oiyaa, aku akan membawa pulang tentang banyak hal. Belajar banyak dari goresan sejarah yang menjadi identitas dari kota asal mu.
Tentang manusia yang menghabiskan usia-nya untuk petunjuk dimasa depan, melihat keajaiban yang tak bisa dipandang secara rasional dalam wujud tulisan pada batu suci dan bait-bait ilahi, tentang warna-warni pejalan di setiap sudut kota, tentang anak muda yang tengah berjuang untuk mencari penerang jiwa, tentang peradaban yang menjadi tolak ukur bagi kehidupan manusia dari masa lampau hingga sekarang, tentang suara syahdu yang selalu dilantunkan dari bait suci di setiap sepertiga pagi dan tentang berbagai peristiwa yang membuat aku takkan melupa akan tanah kelahiranmu.
ADVERTISEMENT
Kota ini selalu menyuguhkan hal yang menarik, tapi silal. Sayangnya aku tak bisa lama-lama disini. Dua hari yang lalu aku menyusuri tempat dimana kamu belajar semasa jenjang SMA, ternyata seru aku melihat berjajar anak muda pada tiap sudut jalanan yang mengenakan sarung dibalut penutup kepala. Ku lihat di jalanan itu bayangan wajahmu nampak jelas terlihat dengan muka sedikit lugu nan lucu, senyum manis tak diolesi lipstik dengan pipi lesung, dengan kain penutup kelapa yang besar menutupi sebagian tubuh, warna kulit yang tak dibalut kosmetik. Kamu terlihat cantik dengan senyum yang tulus.
Nun, aku tidak tahu dengan cara apa bisa kembali lagi ke kota mu. Semoga saja harapan selalu mempunyai jalan.
ADVERTISEMENT
Terima kasih.
02:01, 12 Maret 2024
-sebelum meninggalkan kotamu.