Konten dari Pengguna

Menerka Perang Rusia-Ukraina Pasca-Referendum, Akankah Berakhir?

Ahmad Ilham Danial
Pengajar di Program Studi Sastra Rusia Universitas Padjadjaran. Alumni Universitas Federal Kazan.
24 September 2022 20:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Ilham Danial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi konflik Rusia-Ukraina. Foto: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konflik Rusia-Ukraina. Foto: Pixabay.
ADVERTISEMENT
Tiga hari lalu (21/9/2022), Vladimir Putin mengeluarkan dekrit presiden yang mengatur tentang mobilisasi sebagian rakyatnya berkaitan dengan kelanjutan “operasi militer khusus” di wilayah Ukraina. Menurut Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, personel yang dipersiapkan berjumlah sekitar 300 ribu orang dan berasal dari komponen cadangan atau yang dalam bahasa Rusia dikenal sebagai mobilizatsionny lyudskoi rezerv.
ADVERTISEMENT
Secara teknis, mereka yang akan dikirim adalah orang-orang yang pernah berdinas atau mengikuti pelatihan di Angkatan Bersenjata Rusia, terutama yang memiliki kualifikasi serta pengalaman tempur dalam bidang infanteri, artileri dan kavaleri. Secara keseluruhan, jumlah warga negara Rusia yang masuk dalam kategori tersebut mencapai 25 juta orang.
Perlu dicatat bahwa pengerahan pasukan sebesar itu merupakan kali pertama bagi Moskow sejak Perang Dunia II. Hal tersebut seolah mengindikasikan keseriusan Rusia untuk mengamankan wilayah Ukraina yang sudah direbut, atau jika menurut versi Kremlin, “dibebaskan”, oleh pasukan Rusia dan sekutunya dari rezim neo-nazi yang berkuasa di Kiev.
Apalagi, sehari sebelumnya para pemimpin pro-Kremlin di Lugansk, Donetsk, Kherson dan Zaporozhkaya telah mengumumkan secara resmi bahwa akan dilakukan referendum untuk menjadikan wilayah mereka sebagai bagian dari Federasi Rusia. Proses pemungutan suaranya sendiri sudah dilakukan sejak tanggal 23 September hingga 27 September 2022.
ADVERTISEMENT
Referendum: Kesalahan kalkulasi Kremlin?
Pada masa-masa awal invasi, pengepungan Kiev dari berbagai penjuru terlihat berhasil memaksa Zelensky untuk memikirkan kembali keputusannya mengenai bergabungnya Ukraina ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan menyelesaikan urusan Donbass melalui jalur diplomatik. Pada saat itu, opsi referendum untuk bergabungnya wilayah yang sudah dikuasai serta mobilisasi militer besar-besaran mungkin diyakini tidak akan terjadi.
Berbagai pembicaraan damai yang difasilitasi oleh Belarusia dan Turki serta langkah-langkah yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin berpengaruh di Eropa seperti Emannuel Macron dan Olaf Scholz memberikan harapan bahwa pertikaian tidak akan berlangsung lama. Lagi pula, situasi yang hampir serupa pernah terjadi pada tahun 2008 di Georgia. Awalnya, saya termasuk di antara orang-orang yang optimis bahwa peperangan tidak akan sampai pada tingkat seperti yang kita lihat hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Namun, Peristiwa Bucha tampaknya menjadi titik balik. Praktis, sejak saat itu tidak ada lagi pembicaraan di meja perundingan untuk menyegerakan berakhirnya peperangan. Selain itu, Rusia juga kehilangan simpati dari negara-negara jirannya di Skandinavia yang sebelumnya netral, seperti Finlandia dan Swedia, yang akhirnya memutuskan untuk memulai langkah memasukkan negara mereka ke dalam keanggotaan NATO.
Putin dan Jenderal-jenderalnya mungkin tidak menduga bahwa negara-negara Barat bisa membahu-membahu mendukung kekuasaan di Kiev meski berada di bawah bayang-bayang keadaan domestik yang chaos akibat kekurangan pasokan energi dari Rusia. Secara konsisten, mereka mengirimkan bantuan finansial dan alutsista yang berhasil membuat Ukraina bertahan dalam kondisi yang bagaikan pertarungan antara Daud dan Jalut.
Perlahan tapi pasti, Angkatan Bersenjata Ukraina pun bangkit dan terus menerus menekan posisi tentara Rusia serta milisi-milisi rakyat bentukannya, setidaknya dalam dua bulan terakhir. Di antara pencapaian positifnya terjadi di Kharkov, yang mampu dikuasai kembali secara penuh oleh pasukan Ukraina sejak tanggal 11 September 2022. Hal ini membuat presentase wilayah yang dikuasai tentara Rusia pun berkurang dari sebelumnya sekitar 20% (per 2 Juni 2022) menjadi 15% (saat ini)
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, referendum dan mobilisasi pasukan cadangan Rusia sepertinya menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari lagi oleh Moskow. Wacana tentang pelaksanaan kedua hal itu semakin santer terdengar dalam sepekan terakhit. Mungkin, Putin berharap bahwa keputusannya tersebut akan meningkatkan bargaining position Rusia di dalam konflik bersenjata yang sudah berlangsung selama 222 hari.
Potensi Eskalasi Ketegangan
Kremlin boleh saja mengatakan bahwa referendum tersebut adalah upaya paling demokratis sekaligus merupakan perwujudan dari “keinginan tulus rakyat yang tinggal di wilayah-wilayah tersebut untuk menentukan nasibnya sendiri”. Namun, naif rasanya jika kita percaya terhadap dalih semacam itu. Belajar dari kondisi yang terjadi di Semenanjung Krimea pada bulan Februari-Maret 2014, mayoritas masyarakat internasional tentu akan menilai bahwa semua prosesnya “sudah diatur” oleh Moskow.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, hasil referendun tampaknya mudah ditebak. Wilayah-wilayah di tenggara dan timur Ukraina tersebut akan berubah status menjadi subyek-subyek federasi Rusia. Hal itu tentunya berpotensi menyebabkan terjadinya eskalasi ketegangan dan sangat mungkin berubah ke dalam keadaan yang semakin mengkhawatirkan.
Serangan atau bahkan masuknya pasukan Ukraina nantinya akan dianggap sebagai invasi ke dalam teritori Rusia sehingga mereka merasa memiliki legitimasi yang lebih kuat untuk melakukan langkah-langkah balasan yang lebih keras dari sebelumnya. Dalam tingkatan yang paling buruk, penggunaan senjata pemusnah massal akan semakin sulit dihindari. Jika demikian, maka keadaan tersebut akan menyeret konflik ke dalam spektrum yang lebih luas.
Dalam hal ini, Amerika Serikat sudah berulang kali menyampaikan bahwa mereka tidak akan tinggal diam jika Putin memutuskan untuk menembakkan rudal-rudal berhulu ledak nuklir. Responnya bisa jadi berupa peminjaman senjata yang memiliki spesifikasi serupa kepada Ukraina atau bahkan menerjunkan tentaranya secara langsung ke medan pertempuran. Umat manusia pun berada di ambang kehancuran yang eksesnya melebihi dua perang besar yang terjadi pada abad sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Memelihara Harapan
Hingga saat ini, saya masih berharap bahwa Macron dan Scholz bisa mengikuti jejak yang para pendahulunya dalam menyelesaikan konflik di Georgia. Sebagai pemimpin dari negara-negara yang disegani di Eropa, mereka memiliki segala sumber daya untuk menengahi perseteruan yang telah mengakibatkan ribuan warga sipil terbunuh dan jutaan lainnya terpaksa meninggalkan kampung halaman. Apalagi, PBB terbukti selalu mandul ketika berhadapan dengan anggota tetap Dewan Keamanannya yang memiliki hak veto.
Jika konflik ini tidak segera diselesaikan melalui jalur diplomatik, maka kita akan menyaksikan kehancuran-kehancuran yang lebih parah. Oleh karena itu, melibatkan kembali pihak-pihak yang pernah tergabung dalam "Format Normandia" menjadi pilihan yang paling masuk akal. Sebelumnya, mereka berhasil melakukan langkah-langkah signifikan untuk mengurangi pertikaian di Donetsk dan Lugansk. Turki, yang dalam beberapa waktu terakhir berkontribusi besar dalam urusan eskpor gandum dari Ukraina, pun bisa dimasukkan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari siapa yang akan dianggap menang atau diuntungkan nantinya, masyarakat dunia tentu berharap bahwa perundingan damai bisa segera terlaksana. Gencatan senjata menjadi hal yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Kita berkejaran dengan waktu untuk menyelamatkan kehidupan di planet ini. Jangan sampai di kemudian hari para sejarawan menulis lagi bahwa umat manusia tidak pernah belajar dari kesalahannya.