Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Suramnya Pelembagaan Parpol: Jebakan Privatisasi dan Absennya Kaderisasi
29 Agustus 2024 19:13 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Ahmad Jilul Qur'ani Farid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah partai politik baru saja selesai menggelar Kongres atau Muktamar dengan hasil hampir sama; menetapkan Ketua Umum yang sama dengan sebelumnya. Nasdem tetap dipimpin oleh Surya Paloh, PAN tetap dalam kendali Zulkifli Hasan, dan kepemimpinan PKB tetap dilanjutkan oleh Muhaimin Iskandar meski sempat muncul gangguan. Golkar sedikit berbeda karena telah mengganti ketua umumnya, namun pergantian dari Airlangga Hartarto ke Bahlil Lahadalia terjadi dengan cara yang dramatis dan penuh intrik, menggambarkan perebutan kekuasaan internal yang lebih menyerupai kudeta ketimbang transisi yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Situasi ini menegaskan bahwa partai politik di Indonesia tidak menjalankan pelembagaan partai yang sehat. Sebaliknya, mereka lebih seperti perusahaan pribadi yang dikendalikan oleh orang kuat atau kelompok elite tertentu. Bila elite ini melemah atau kehilangan dukungan, barulah terjadi pergantian kepemimpinan, yang sering kali diikuti oleh friksi internal. Dalam konteks ini, partai politik kehilangan fungsinya sebagai perpanjangan tangan publik untuk aspirasi demokrasi dan lebih berfungsi sebagai alat untuk memelihara dan memperpanjang kekuasaan individu atau kelompok tertentu.
Masalah ini diperparah dengan cara pengambilan keputusan di partai-partai politik tanpa evidence based policy, analisis objektif dan partisipasi yang bermakna. Sebaliknya, keputusan-keputusan besar sering kali ditentukan oleh selera subjektif dari pimpinan tertinggi partai. Dalam banyak kasus, bahkan kebijakan penting partai lebih banyak ditentukan oleh "rasa" atau intuisi personal sang ketua umum atas nama hak prerogatif, ketimbang melalui diskusi kolektif yang melibatkan banyak pihak atau pertimbangan rasional berbasis data. Situasi ini mirip dengan perusahaan keluarga di mana keputusan CEO tidak boleh diganggu gugat dan seluruh kebijakan cenderung disesuaikan dengan keinginan personal. Hal ini menjadi sangat problematis dalam konteks partai politik, karena seharusnya mereka menjadi laboratorium demokrasi, bukan kerajaan kecil yang memusatkan kekuasaan pada segelintir orang. Dalam suasana seperti ini, adalah mustahil untuk menciptakan partai yang benar-benar inklusif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.
ADVERTISEMENT
Mengapa situasi ini bisa terjadi? Salah satu jawabannya adalah karena pendanaan dan segala urusan partai sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang terkuat dalam partai tersebut. Meskipun ada distribusi tugas dalam struktur partai, tidak ada distribusi otoritas dan akuntabilitas yang memadai. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam partai membuat proses pengambilan keputusan hanya berada di tangan beberapa orang saja, menciptakan oligarki dalam partai.
Lebih jauh lagi, ketiadaan hubungan kelembagaan dengan publik menyebabkan absennya partisipasi publik dalam urusan partai. Hal ini berbanding terbalik dengan partai politik di negara-negara demokratis yang maju, seperti Inggris atau Jerman, di mana ada mekanisme jelas bagi anggota partai dan bahkan publik untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Dan melalui negara, pendanaan partai politik secara tidak langsung dibiayai oleh publik.
ADVERTISEMENT
Ada wacana bahwa partai politik di Indonesia sebaiknya dibiayai oleh negara untuk mengurangi ketergantungan pada pendanaan pribadi atau kelompok tertentu. Di negara maju seperti Jerman, partai politik dibiayai oleh negara dan wajib menjalankan operasi yang transparan serta dapat diaudit secara terbuka. Skema legislasi ini memungkinkan partai untuk lebih akuntabel kepada publik dan meminimalisir praktik korupsi. Dalam Undang-Undang Kepartaian di Jerman (Parteiengesetz), Pendanaan negara untuk partai politik di Jerman dibagi menjadi dua komponen utama: direct state funding (pendanaan langsung dari negara) dan indirect state funding (pendanaan tidak langsung seperti manfaat pajak dan subsidi untuk biaya kampanye).
Lalu, mengapa hal ini tidak terjadi di Indonesia? Jawabannya mungkin karena partai politik di Indonesia memang enggan sepenuhnya dibiayai negara. Bisa jadi mereka takut bahwa pendanaan penuh negara akan membawa mereka ke "ruang terang," di mana setiap aliran dana harus transparan, dapat diaudit, dan bahkan sumber-sumber pendanaan lain selain dari APBN harus dilaporkan secara terbuka. Sementara kondisi "ruang setengah gelap" di mana pendanaan partai tidak sepenuhnya jelas ini yang memungkinkan terjadinya perburuan rente ketika partai-partai tersebut berkuasa. Mengamankan posisi di kabinet atau lembaga pemerintahan lainnya bukan hanya tentang kekuasaan politik, tetapi juga kontrol atas anggaran dan aliran dana yang mengalir di balik layar.
ADVERTISEMENT
Absennya Kaderisasi dan Good Governance
Wajah-wajah pimpinan tertinggi partai politik yang tidak berubah selama satu dekade terakhir mencerminkan absennya kaderisasi dalam partai. Kaderisasi seharusnya menjadi bagian penting dari mekanisme demokrasi internal, namun kenyataannya, regenerasi kepemimpinan dalam partai politik Indonesia sangat jarang terjadi secara berkala. Di berbagai partai, politisi muda seringkali hanya menjadi wajah di etalase untuk menarik suara dari pemilih muda tanpa memberikan mereka ruang nyata untuk berkembang. Banyak pemuda berbakat di dalam partai hanya digunakan sebagai alat kosmetik politik untuk menunjukkan kepada publik bahwa partai tersebut memperhatikan generasi muda, sementara mereka tidak diberikan kesempatan yang berarti untuk berperan dalam pengambilan keputusan strategis.
Secara kelembagaan, proses transfer pengetahuan dalam kaderisasi yang baik hampir tidak ada. Tidak ada mekanisme yang terstruktur untuk memastikan bahwa generasi muda dapat belajar dan akhirnya mengambil alih kepemimpinan. Regenerasi hanya terjadi ketika ada peristiwa politik luar biasa atau ketika "orang kuat" di partai tersebut sudah melemah, dan itupun sering kali tidak langsung dipercayakan secara serius kepada kaum muda.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan good governance di dalam partai membuat situasi ini semakin buruk. Tidak adanya audit terhadap keuangan partai politik menjadi contoh nyata dari bagaimana partai-partai di Indonesia tidak menjalankan prinsip tata kelola yang baik. Jika pendanaan partai terus bergantung pada "orang kuat" dan sumber daya yang ada di dalam pemerintahan, maka mustahil bagi partai untuk mengadopsi sistem yang transparan dan akuntabel.
Absennya good governance dalam partai juga tercermin dalam ketiadaan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan partai. Keputusan-keputusan partai seringkali hanya diambil oleh segelintir elite tanpa melibatkan konstituen atau anggota partai yang lebih luas. Ini kontras dengan model partisipasi di partai-partai politik di Eropa di mana anggota partai secara luas memiliki peran aktif dalam pemilihan kepemimpinan dan kebijakan partai. Serta kerap menggelar town hall meeting untuk menyerap aspirasi publik secara rutin. Termasuk melakukan crowdfunding mengumpulkan dana publik untuk pendanaan partai.
ADVERTISEMENT
Membakar Burning Platform; Agar Publik dan Kaum Muda Bisa Berperan dalam Parpol
Contoh menarik bagaimana partai politik bisa diubah dari dalam oleh kaum muda datang dari Finlandia. Di Finlandia, Sanna Marin berhasil menjadi Perdana Menteri pada usia 34 tahun, menjadikannya salah satu kepala pemerintahan termuda di dunia. Karier politik Marin dimulai dari Dewan Kota Tampere dan terus berkembang berkat kemampuan dan keberaniannya membawa isu-isu progresif yang relevan bagi pemilih muda. Marin terpilih sebagai Ketua Social Democratic Party (SDP) pada saat partainya mengalami krisis internal setelah pengunduran diri Antti Rinne sebagai Perdana Menteri. Momentum krisis ini digunakan Marin untuk membuktikan dirinya sebagai pemimpin muda yang mampu mengatasi situasi sulit hingga dipercaya memimpin partai.
Contoh yang lebih dekat dari Indonesia adalah Pita Limjaroenrat dari Thailand, pemimpin Moving Forward Party (MFP) yang progresif. Pita muncul sebagai pemimpin muda setelah Future Forward Party (FFP), partai pendahulunya, dibekukan oleh pemerintah. Dalam kondisi yang menjadi akhir dari partai sebelumnya, Pita dan para mantan anggota FFP menolak “mati” dengan mendirikan MFP dan dengan berani mengambil sikap menantang status quo politik di Thailand. Dengan platform yang berfokus pada reformasi demokrasi dan transparansi, MFP menjadi pemenang dalam pemilu terakhir.
ADVERTISEMENT
Membaca dua contoh di atas, pakar manajemen perubahan dari Amerika Serikat, Daryl Conner menjelaskannya dalam Burning Platform Theory, di mana organisasi atau entitas hanya akan berubah ketika krisis sudah mencapai titik di mana tidak ada lagi pilihan selain berubah atau runtuh. Dalam konteks ini, "platform terbakar" adalah situasi di mana status quo tidak lagi bisa dipertahankan dan perubahan menjadi satu-satunya jalan keluar.
Bagi publik dan kaum muda, kita tidak bisa mengharapkan kemurahan hati dari orang kuat di partai politik untuk memberikan ruang bagi generasi baru dan partisipasi publik. Bahkan jika kita ingin merebut kekuasaan dari mereka, pertanyaannya adalah kekuatan apa yang kita miliki untuk melakukan itu? Satu-satunya peluang yang kita miliki adalah jika terjadi "burning platform" baik dalam demokrasi bangsa kita maupun di dalam internal partai-partai politik.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia saat ini, barangkali ia belum sampai pada situasi krisis, tapi berbagai indikasi menunjukkan betapa labilnya situasi politik kita. Hal itu ditandai dengan menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik; menurut survei LSI pada Januari 2024, parpol adalah lembaga yang paling tidak dipercaya publik. Diikuti sentralisasi kekuasaan yang bisa mematikan demokrasi, korupsi yang sistemik, dan stagnasi ekonomi yang memperburuk ketimpangan sosial. Jika ada faktor eksternal atau gejolak, hal ini akan menciptakan "burning platform" di mana perubahan menjadi pilihan yang tak terhindarkan untuk menghindari keruntuhan lebih lanjut.
Di tengah ketidakstabilan ini, ada peluang untuk "extraordinary decision" yang memungkinkan reformasi politik besar-besaran, dan inilah saatnya bagi kaum muda dan masyarakat sipil untuk mengambil peran aktif, mendorong transparansi, good governance, dan partisipasi politik yang lebih luas demi masa depan demokrasi yang lebih sehat.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Beberapa langkah yang bisa dilakukan masyarakat sipil yaitu; Pertama, masyarakat sipil harus terus cerewet untuk mengadvokasi transparansi dan tata kelola yang baik dalam partai politik. Mendorong partai politik untuk dibiayai APBN dan wajib diaudit adalah salah satu cara untuk membawa mereka ke "ruang terang" di mana setiap tindakan dan pendanaan mereka dapat diawasi publik. Situasi politik belakangan ini menunjukkan betapa urgennya hal ini dilakukan, mengingat banyaknya preseden buruk yang memperlihatkan rendahnya akuntabilitas partai politik dan kemunduran kualitas demokrasi kita.
Kedua, Kaum muda harus berani masuk ke dalam partai politik, berproses, dan menjaga integritas dan imunitas agar tidak terjebak dalam arus yang salah. Membentuk faksi progresif di internal partai, seperti kelompok Social Democrat yang dipimpin Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez di Partai Demokrat AS, bisa menjadi salah satu cara efektif untuk menginisiasi reformasi dari dalam.
Terakhir, Jika tiba waktunya platform partai terbakar akibat situasi luar biasa di internal maupun eksternal, maka generasi baru harus siap mengambil peluang itu untuk mereformasi partai, membawa partai ke ruang terang, dan membuka partisipasi publik yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, reformasi partai politik hanya mungkin terjadi jika ada kesadaran kolektif bahwa partai politik perlu dibawa keluar dari kegelapan, menjadi lebih transparan, akuntabel, dan benar-benar berfungsi sebagai instrumen demokrasi, bukan sekadar alat bagi elite tertentu. Dengan langkah-langkah konkret dan dukungan dari publik yang lebih luas, kita bisa memastikan bahwa reformasi politik yang berarti tidak lagi menjadi mimpi di malam yang gelap, melainkan kenyataan dalam terang. Pertanyaannya, sudahkah kesadaran kolektif itu muncul dari publik?.