Konten dari Pengguna

Perlahan Membunuh Demokrasi: Ketika Kebebasan dan Hak Diterabas

Ahmad Muhajir
Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
21 Agustus 2024 17:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Muhajir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Demokrasi, sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, adalah salah satu pencapaian tertinggi dalam sejarah peradaban manusia. Namun, demokrasi tidaklah abadi. Ia adalah sebuah entitas yang rentan dan memerlukan perawatan terus-menerus. Ketika demokrasi mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan, dan ketika penguasa menggunakan taktik-taktik yang tidak etis untuk mempertahankan kekuasaan, kita melihat kemunculan apa yang bisa disebut sebagai "membunuh demokrasi."
ADVERTISEMENT
Membunuh demokrasi tidak selalu berarti kudeta militer atau penggulingan pemerintahan secara paksa. Tindakan ini bisa terjadi secara perlahan-lahan, melalui berbagai cara yang tampak sah secara hukum, tetapi merongrong fondasi demokrasi itu sendiri. Proses ini bisa dimulai dengan upaya mempersempit ruang kebebasan berpendapat, menekan media, atau membatasi hak-hak politik warga negara. Ketika suara-suara kritis dibungkam dan oposisi politik dilemahkan, demokrasi kehilangan dinamikanya sebagai sistem yang hidup dan bernapas.
Dalam demokrasi, pemilu yang bebas dan adil adalah jantung yang memompa kehidupan ke seluruh sistem. Namun, ketika proses pemilu dimanipulasi, baik melalui penipuan, intimidasi, atau pengubahan undang-undang yang menguntungkan penguasa, jantung ini mulai melemah. Pada saat rakyat merasa bahwa pilihan mereka tidak lagi berarti, kepercayaan pada demokrasi pun mulai terkikis. Hal ini bisa memicu apati politik, di mana masyarakat tidak lagi percaya bahwa mereka bisa mengubah apa pun melalui partisipasi politik.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI gelar rapat untuk membahas terkait revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah pada Rabu (21/8/2024). Foto: Alya Zahra/Kumparan
Salah satu tanda yang paling jelas dari pembunuhan demokrasi adalah ketika pemimpin atau partai politik tak lagi tampak menghidupkan dinamika politik, dan seluruhnya berfokus pada koalisi besar, yang hari-hari belakangan ini tampak tak sedap menjelang Pilkada.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi seperti ini, pemisahan kekuasaan yang menjadi ciri khas demokrasi mulai dihancurkan. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seharusnya berfungsi secara independen, mulai tunduk pada satu kehendak. Akibatnya, mekanisme checks and balances yang menjadi benteng terakhir melawan penyalahgunaan kekuasaan runtuh.
Selain itu, demokrasi bisa terbunuh ketika hukum mulai digunakan sebagai alat untuk menindas, bukan melindungi. Ketika hukum diperankan untuk menghukum oposisi, mengkriminalisasi kritik, dan melindungi kejahatan mereka yang berkuasa, hukum berubah dari penjaga keadilan menjadi senjata politik. Dalam kondisi seperti ini, keadilan menjadi barang langka dan rakyat mulai kehilangan kepercayaan pada sistem hukum.
Kebebasan pers adalah elemen penting lain dalam demokrasi. Pers yang bebas berfungsi sebagai pengawas terhadap kekuasaan, memastikan bahwa rakyat mendapatkan informasi yang benar dan objektif. Namun, ketika pers mulai dikendalikan oleh penguasa, baik melalui intimidasi, sensor, atau kooptasi, rakyat mulai kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan transparan. Dalam kegelapan informasi ini, demokrasi perlahan-lahan sekarat.
ADVERTISEMENT
Peran masyarakat sipil juga sangat vital dalam menjaga demokrasi. Namun, ketika organisasi masyarakat sipil dilemahkan atau bahkan dihancurkan, ruang partisipasi publik menyempit. Suara-suara independen yang biasanya menentang penyalahgunaan kekuasaan menjadi diam. Tanpa adanya kekuatan yang mampu mengorganisir rakyat dan mengawasi pemerintah, demokrasi kehilangan daya kritisnya.
Munculnya korupsi dan nepotisme adalah racun yang perlahan-lahan merusak demokrasi dari dalam. Ketika kepentingan pribadi atau kelompok kecil diutamakan di atas kepentingan umum, demokrasi menjadi sebuah ilusi. Rakyat merasa bahwa pemerintah tidak lagi bekerja untuk mereka, melainkan untuk melayani kepentingan segelintir orang. Ini adalah bentuk lain dari pembunuhan demokrasi, di mana pengkhianatan terhadap kepercayaan publik menghancurkan legitimasi pemerintahan.
Hak asasi manusia adalah pondasi dari demokrasi yang sehat. Ketika hak-hak ini diabaikan atau dilanggar, demokrasi tidak bisa bertahan lama. Penguasa yang tidak menghargai hak asasi manusia adalah mereka yang tidak menghargai demokrasi itu sendiri. Ketika kebebasan individu diinjak-injak, masyarakat mulai merasakan ketakutan dan ketidakberdayaan, yang pada akhirnya menciptakan sebuah negara yang otoriter di bawah kedok demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam semua bentuknya, membunuh demokrasi adalah sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini adalah proses yang mungkin tidak selalu tampak jelas pada awalnya, tetapi dampaknya merusak dan sulit untuk dipulihkan. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk waspada terhadap tanda-tanda ini dan berdiri bersama dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi. Demokrasi adalah milik kita semua, dan tanggung jawab untuk menjaganya ada di tangan kita semua.
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membuka peluang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi melalui putusannya. Namun, tindakan Badan Legislasi kita hari ini justru kembali mengubur harapan itu. Mereka tampak melakukan pembangkangan pada konstitusi yang telah ditetapkan.
hari-hari belakangan ini, awan demokrasi ini tampak terlihat mendung di negeri ini. Perlahan, suara-suara itu kian sunyi. Tampak jelas wajah rakyat yang kian lusuh, masa depannya semakin terlihat suram dan semu.
ADVERTISEMENT