Konten dari Pengguna

Mencari Pemimpin Partai yang Ideal

Ahmad Pratomo
Peneliti sejarah, Alumnus S2 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
21 Maret 2023 13:24 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung Hatta dan Mr. Mohammad Roem pada saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 1949.
zoom-in-whitePerbesar
Bung Hatta dan Mr. Mohammad Roem pada saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 1949.
ADVERTISEMENT
Membesarkan partai tentu bukan pekerjaan yang mudah. Meski partai itu adalah partai lama yang sudah berdiri sejak belasan bahkan puluhan tahun yang lalu, namun jika tidak memiliki gagasan, visi-misi, dan program yang jelas, partai itu tetap tidak akan laku di pasaran. Ibarat sebuah produk yang tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, tinggal menunggu pembubarannya. Atau jika tidak bubar, akan tetap "begini-begini" saja, selamanya.
ADVERTISEMENT
Faktor utama sebuah partai dapat tetap teguh berdiri adalah faktor kepemimpinan. Bagaimana cara seorang pemimpin mengelola partainya adalah kunci dari berhasil tidaknya eksistensi sebuah partai. Pemimpin serta elit partai harus memiliki wawasan yang mumpuni mengenai roda perkembangan zaman.
Pemimpin partai seharusnya paham bahwa saat ini partai tidak lagi bisa dikelola lewat pemikiran “kolonial” yang cenderung kolot, merasa benar sendiri, tidak memiliki kemauan mengikuti perkembangan inovasi, otoriter, tidak akuntabel, cenderung oligarkis, dan bersikap acuh tak acuh terhadap kader yang menonjol.
Sebagai sebuah organisasi politik yang kompleks, partai seharusnya menjadi organisasi yang lebih luwes dalam mengelola kader-kader yang memiliki spesialisasi, inovatif, dan mengatur bagaimana diferensiasi tugas di dalam organisasi dilaksanakan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Menurut Fariborz Damanpour (1996), dalam Organizational Complexity and Innovation: Developing and Testing Multiple Contingency Models, kompleksitas organisasi, jumlah spesialisasi, dan diferensiasi tugas memiliki hubungan yang positif. Sebaliknya, model organisasi sentralisasi yang memusatkan wewenang pengambilan keputusan di puncak hierarki organisasi layaknya militer dalam organisasi partai telah terbukti berdampak negatif pada inovasi organisasi.
Pemimpin partai yang tidak melakukan inovasi akan terlihat gamang menakhkodai partainya. Lebih bahayanya lagi, para loyalis sang pemimpin memiliki pikiran yang sama: tidak memiliki buah pemikiran yang inovatif progresif.
Sebenarnya kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah dinamika politik Indonesia. Bagaimana pemimpin dan elit partai politik menjalankan mesin partai dan melakukan terobosan melalui ide gagasan dan program.
Belajar dari Masyumi dan PKI
ADVERTISEMENT
Pada Pemilihan Umum tahun 1955, publik mengenal Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dua partai besar yang paling disorot publik. Kontestasi dua partai ini menarik minat para sejarawan dan pengamat politik karena dinamika internal yang melingkupinya. Meski berbeda kutub secara ideologis, Masyumi dan PKI memiliki corak kesamaan dalam hal efektifitas kepemimpinan yang sama-sama dipimpin kalangan muda.
Natsir di Masyumi dan Aidit di PKI. Dua tokoh golongan muda masa revolusi yang memiliki peran sentral di partainya masing-masing. Natsir, seorang yang dianggap Islam moderat, meminjam istilah Indonesianis asal Amerika Serikat, George M. Kahin, ia bersama kawan-kawan seperjuangannya seperti Sjafruddin Prawiranegara, dr. Abu Hanifah, Mohamad Roem, masuk dalam kategori beraliran sosialisme-religius.
Mohammad Natsir, ketua umum Partai Masyumi.
Pada Kongres Masyumi di Yogyakarta pada Desember 1949, Mohammad Natsir terpilih sebagai ketua umum dan para pendukungnya meraih mayoritas kursi di Dewan Pimpinan Partai. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu unsur terbesar di Masyumi merasa tersisihkan. Fungsi Majelis Syuro yang terdiri dari para kiai, ulama tradisional hanya dijadikan sebagai majelis konsultatif yang tak memiliki peran siginifkan dalam mengurus kebijakan partai.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, kelompok Natsir menarik Masyumi ke jalur politik yang sama dengan golongan sosialis moderat pimpinan Sjahrir dan pada 1950-an, lebih mendekat ke Hatta. Sjfaruddin Prawiranegara, tokoh ekonom Masyumi, bahkan menginginkan Indonesia menjadi welfare state atau Negara Kesejahteraan yang terinspirasi dari Inggris.
ide menuju welfare state sudah tertuang pada program kampanye partai pada konstestasi pemilu 1955, dimana Masyumi menamai program ekonomi mereka yaitu “Ekonomi Terpimpin”. Program kebijakan ekonomi ini berhaluan sosialistik. Negara berperan penting dalam menetapkan langkah-langkah strategis ekonomi dan keuangan. Prinsip tersebut mencakup perencanaan produksi, persaingan usaha terbatas dan konstruktif di bawah pengawasan negara, pengendalian harga-harga dan upah pekerja, dan yang terakhir adalah pemberdayaan sektor koperasi agar mampu meningkatkan perekonomian nasional (Pratomo, 2021).
ADVERTISEMENT
Lain Masyumi, lain PKI. Di bawah kepemimpinan golongan muda, Aidit, Nyoto, Sudisman, dan anak muda komunis lainnya berhasil mereformasi partai. Pasca Peristiwa Madiun 1948, tidak ada partai lain yang citranya lebih buruk dari PKI. Dicap sebagai partai pengkhianat kepada dwitunggal republik, Sukarno-Hatta, kader-kader PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur berhadapan dengan kaum republikan. Pilihan mereka hanya dua: ikut Sukarno Hatta atau Musso.
Dipa Nusantara Aidit, Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia.
Setelah hancur lebur pada 1948, PKI bangkit. Di bawah kendali anak-anak muda, PKI membangun struktur, platform, program partai yang lebih demokratis. PKI berhasil membangun citra yang pro terhadap wong cilik, petani, buruh, nelayan, dan terutama menjadi pendukung setia Sukarno. Kebangkitan dan keberhasilan PKI di bawah Aidit dan kawan-kawannya terbukti pada Pemilu 1955, PKI masuk ke dalam peringkat lima besar nasional.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan PKI membangun basis massa hingga ke grassroot terlihat pada aksi-aksi pemogokan buruh pabrik, buruh perkebunan di Sumatera dan Jawa. Begitupun sayap organisasi partai yang bergerak ke segala arah. Sebut saja Lembaga Kebudayaan Rakyat atau yang akrab disebut LEKRA. Lekra berperan menyebarkan propaganda PKI dalam bidang kebudayaan khususnya ke rakyat pedesaan dan kampung-kampung lewat kegiatan seni dan teater. Dari sisi sastra dan lukisan, mazhab realisme sosialis menjadi warna dominan karya-karya anggota LEKRA.
Pada awal 1965, PKI mencetuskan program kontroversial yaitu: mempersenjatai 15 juta massa tani dan buruh menjadi Angkatan Kelima. Tidak sedikit info yang beredar untuk menerangkan usulan itu berasal dari Presiden Sukarno. Yang menurut Subandrio, tujuan dibentuknya Angkatan Kelima adalah untuk menampung bantuan senjata dari Cina (Alkof, 2022). Namun, menurut John Rossa (2006), dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, menyebut PKI adalah yang pertama mengusulkan adanya Angkatan Kelima. Ini ditenggarai panasnya suhu politik dan militer Indonesia pada periode 1962-1965: Operasi Trikora dan konfrontasi dengan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Model Kepemimpinan Partai Politik
Dari dua kubu ideologi yang selalu berpolemik dan diskursus yang tak habis-habisnya, Masyumi dan PKI adalah bagian dari dinamika bagaimana awal-awal republik ini berdiri dan bertahan. Kekuatan Islam di bawah kelompok Natsir dan komunis di bawah kelompok Aidit memperkaya pengetahuan kita tentang arti kepemimpinan dan cara mengelola partai.
Dari model kepemimpinan partai seperti Natsir dan Aidit di atas, ada empat model kepemimpinan yang bisa diterapkan, khususnya partai lama
Pertama, dalam model kepemimpinan partai politik saat ini diperlukan pemimpin dan elit partai yang mengimplementasikan komunikasi diskursif secara transparan dan partisipatif (Arianto, 2015). Implementasi komunikasi diskursif ini semestinya diterapkan dari dalam partai itu sendiri, sebelum dibawa ke ranah publik. Hierarkis yang kaku dalam kultur partai dan budaya one man show sudah saatnya dihilangkan.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemimpin dan elit partai harus berani melakukan evaluasi terhadap kinerja pengurusnya berdasarkan obyektifitas, fakta, dan data. Pemimpin partai harus jeli melihat mana pengurus partai yang berguna, mana yang menjilat.
Ketiga, pemimpin yang bertipe kolonial dan kolot harus berani keluar dari rel psikologis seperti itu. Mereka seharusnya tidak silau melihat munculnya kader-kader potensial. Banyak kader potensial dan terbaik, justru kalah dengan kader yang jago manipulasi, fitnah, dan korup.
Keempat, sudah saatnya elit partai menggunakan research-based policy dalam perumusan program partainya (Pribadi, 2015). Tidak lagi berdasarkan keinginan partai berkuasa atau partai besar, yang justru membawa partai kecil hanya menjadi followers. Dalam hal ini, tradisi riset di internal partai (litbang) dalam perumusan kebijakan politik harus diterapkan.
ADVERTISEMENT
Dari kisah sejarah dan empat model kepemimpinan elit partai itu, sudah saatnya partai kecil harus berbenah. Partai harus bisa menyesuaikan diri dengan arus besar kemajuan zaman, teknologi, dan model kepemimpinan yang progresif. Tidak banyak kader-kader yang qualified dan potensial yang berada pada posisi strategis. Karena itu, regenerasi harus dimulai dari kesadaran para pemimpin partai untuk lebih inklusif dan tidak alergi terhadap angin perubahan.
Referensi:
Damanpour, Fariborz. (1996). Organizational Complexity and Innovation: Developing and Testing Multiple Contingency Models. Management Science dalam JStor.org.
Rossa, John. (2006). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia & Hasta Mitra.
https://www.neraca.co.id/article/51340/kepemimpinan-parpol-oleh-airlangga-pribadi-kusman-pengajar-ilmu-politik-fisip-universitas-airlangga (diunduh pada 20 Maret 2023)
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11742 (diunduh pada 20 Maret 2023)
ADVERTISEMENT