Konten dari Pengguna

Menguatkan Fungsi Partai dari Krisis Ideologi

Ahmad Pratomo
Peneliti sejarah, Alumnus S2 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
6 Juni 2023 23:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilu pada hakekatnya adalah pertarungan ideologi antar partai. Bukan pertarungan antar perseorangan. Hakekat ini yang seharusnya ada dalam setiap “pesta demokrasi” yang kita lewati. Namun, pada praktiknya jauh panggang dari api. Partai politik hanya menjadi sekadar kendaraan politik. Si penumpang bisa bebas turun naik berganti kendaraan satu ke kendaraan yang lain.
ADVERTISEMENT
Ideologi tidak menjadi porsi yang determinan bagi kader partai. Tidak heran jika dewasa ini berselieweran hilir mudik para selebritas politik yang kikuk tampil di publik. Asal terkenal dan punya fulus, melengganglah dia ke gelanggang politik. Parlemen jadi panggung individualitas, bukan kapasitas. Partai dan kadernya tidak lagi memikirkan ide, gagasan, dan program perbaikan.
Lalu bagaimana peran partai politik?
Secara kelembagaan, peran partai politik semakin lemah. Ini terlihat dari mudahnya kader pindah partai, tidak berlakunya sistem punishment bagi kader yang korup, dan proses kaderisasi yang tidak berjalan semakin meruncing permasalahan partai politik Indonesia hingga hari ini.
“Lebih baik terlambat atau tidak sama sekali”, itu mungkin saran yang bisa menggambarkan situasi partai politik hari-hari ini. Sudah saatnya partai politik berubah dan berbenah. Pelan-pelan asal klakon. Perubahan bisa datang dari internal partai politik itu sendiri, misal: memperkuat sistem kaderisasi yang partisipatif dan ideologis.
Kaderisasi dan Krisis Ideologi
ADVERTISEMENT
Kontestasi pemilu harus dikembalikan dalam kerangka adu ideologi, adu gagasan, dan adu program. Pendidikan politik menjadi kunci dari ketiga unsur itu. Solusinya adalah proses kaderisasi yang berstruktur dan ketat. Agar kandidat yang akan mengikuti pemilu memiliki amunisi yang substantif terutama soal pentingnya pemahaman mengenai ketatanegaraan.
Jika merujuk pada data jumlah Rancangan Undang-Undang yang menjadi Undang-Undang semakin menurun dari satu periode ke periode selanjutnya. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) misalnya, Prolegnas pertama kali diberlakukan pada periode 2004-2009, hanya 60% UU yang disahkan dari 284 RUU yang diusulkan. Periode berikutnya (2009-2014) turun menjadi 51% dari 247 RUU yang diusulkan. Pada periode 2014-2019, jumlah UU yang disahkan semakin turun menjadi 48% dari 189 RUU yang diusulkan. Pada periode 2019-2024, dari data yang terhimpun sampai 2021, hanya 4 RUU yang mampu disahkan menjadi undang-undang dari 248 RUU yang ditetapkan dalam Prolegnas.
ADVERTISEMENT
Dari hasil capaian RUU menjadi UU yang masih rendah tersebut, ada dua kemungkinan mengapa hal itu bisa terjadi: pertama, apakah RUU yang direncanakan terlalu banyak sehinga DPR kelimpungan atau alasan kedua, ketidakmampuan DPR yang tidak dapat bekerja secara optimal, sehingga terkesan tidak serius dalam melaksanakan amanahnya sebagai wakil rakyat. Ini semakin membuktikan bahwa anggota yang terpilih di parlemen minim kapasitas. Soal kapabilitas ini, partai tidak peduli. Yang terpenting adalah bagaimana cara meraup suara terbanyak, apakah caleg tersebut qualified atau tidak, itu urusan nanti.
Untuk itu, distribusi pengetahuan dan pemikiran dalam sistem pendidikan politik menjadi hal yang utama. Partai yang baik adalah partai yang mendidik kadernya. Dari sini, pendidikan tentang ideologi menjadi penting. Kebanyakan partai saat ini tidak menempatkan ideologi sebagai sesuatu yang sakral. Partai menjadi lebih pragmatis, tidak ideologis. Lebih parahnya lagi, political engineering partai politik disibukkan dengan bagaimana cara mendapatkan uang dan mendistribusikannya.
ADVERTISEMENT
Idealnya partai politik dapat diibaratkan sebagai laboratorium pemikiran, sebagai tempat adu pikir adu argumentasi yang berhilir pada narasi programmatik. Sayangnya, prinsip ini mulai ditinggalkan partai politik. Ditambah kelompok-kelompok intelektual yang antipati terhadap partai. Ini menyebabkan kurangnya orang-orang yang intelek berkualitas masuk ke dalam partai dan mengisi jabatan-jabatan strategis di partai. Padahal sebagai laboratorium pemikiran, partai politik seharusnya menyiapkan kader-kadernya yang paham betul permasalahan global, baik itu geopolitik, geostrategi, maupun ekonomi, hukum, dan sejarah.
Menguatkan Peran Partai Politik
Pertanyaannya adalah mengapa menjadi demikian? Kita harus kembali melihat bagaimana kandidat mengikuti kontestasi pemilihan umum melalui sistem yang ada saat ini yaitu proporsional terbuka.
Dalam reportase Tempo misalnya, salah satu kandidat yang ikut merebut kursi anggota legislatif bahkan sampai merogoh kocek Rp1,3 miliar, yang mencakup Rp650 juta untuk cetak balio dan Rp750 juta untuk ongkos keliling bertemu para pemilih. Ada pula kandidat yang menghabiskan anggaran sampai Rp6 miliar. Bukan tidak mungkin, kandidat yang terpilih berupaya mencari uang untuk mengembalikan biaya politiknya jika sudah lolos menjadi anggota parlemen.
ADVERTISEMENT
Penggunaan anggaran yang demikian besar adalah dampak dari sistem proporsional terbuka. Padahal sistem ini bertentangan dengan konstitusi. Sebab, konstitusi mengamanatkan peran dan fungsi parpol, pemilu, dan pemilih. Namun, sistem proporsional terbuka justru terbukti memperlemah peran dan fungsi tiga hal tersebut.
Melalui pemilu secara proporsional terbuka, kelembagaan partai politik teramputasi karena meski ia peserta pemilu legislatif tetapi yang muncul dominan adalah figur orang per orang. Padahal jika merujuk pada sejarah, republik ini berdiri tidak terlepas dari campur tangan partai politik.
Karena itu, transformasi partai politik harus segera dilakukan. Dimulai dari kebijakan internal partai politik itu sendiri: kaderisasi dan penguatan ideologi. ini akan membuat partai menjadi fokus pada perumusan ide, gagasan, dan program. Dan rakyat kembali yang akan memilih partai berdasarkan ideologi dan program-programnya, bukan berdasarkan individu-individu yang tidak punya kapabilitas.***
ADVERTISEMENT
Referensi:
Tim Penyusun, Jejak Demokrasi Pemilu 1955, (Jakarta: ANRI, 2019), hal. 7.
https://theconversation.com/3-cara-mendesain-ulang-prolegnas-agar-lebih-efektif-128005
https://news.detik.com/kolom/d-5756623/rapot-merah-dua-tahun-kinerja-legislasi-dpr
https://fokus.tempo.co/read/1003968/biaya-calon-anggota-dpr-hingga-rp-6-miliar
https://news.republika.co.id/berita/rr7fvp409/dukung-sistem-proporsional-tertutup-yusril-kutip-hadis-nabi-di-persidangan-mk (diunduh 6 Juni 2023, pukul 13.20 WIB)