Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pandangan Foucault Tentang Sejarah
12 November 2022 6:23 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Ahmad Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foucault sebenarnya bukan seorang yang berada dalam jajaran filsuf sejarah karena dia tidak secara khusus menulis tentang perkembangan sejarah, karakteristiknya dan makna di balik perkembangan sejarah. Dalam konsepnya tentang history of the present, ia menggagas bahwa sejarah harus ditulis dalam perspektif masa kini dan untuk kepentingan masa kini. Selebihnya, Foucault menulis tema-tema sentral dalam sejarah yang dilihatnya secara kritis.
ADVERTISEMENT
Pemikirannya menggoyahkan semua kemapanan pengetahuan terutama konsep-konsep yang secara konvensional dipegang komunitas ilmiah hingga kini (Aliran positivisme ilmiah). Menarik untuk melihat hubungan antara pemikiran Foucault dengan sejarah. Pemikirannya tentang banyak hal dalam sejarah begitu penting, sehingga warna pemikiran Foucault bisa diidentifikasi untuk melakukan sebuah rekonstruksi atas pemikiran sejarahnya.
Foucault adalah seorang filsuf Prancis yang menonjol. Sebelum Foucault, intelektual yang menonjol di Prancis saat itu adalah Jean Paul Sartre. Setelah Sartre ada empat orang yang saling “berebut pengaruh” dalam dunia pemikiran kritis di Prancis, yaitu Roland Barthes (kritikus sastra), Jacques Lacan (psikiatris radikal), Claude Levi-Strauss (antropolog strukturalis), dan Michel Foucault sendiri. Karya-karya Foucault banyak mempengaruhi secara kuat disiplin yang luas terutama pada kritik sastra, gender studies dan kriminologi.
ADVERTISEMENT
Gagasan Foucault sendiri sangat luas menyangkut filsafat, sosiologi, sejarah, psikologi, cultural studies, kedokteran, gender, sastra dan lainnya.
Foucault tidak berbicara secara khusus tentang ilmu sejarah dan filsafat sejarah. Dalam mengangkat tema sejarah, ia lebih suka disebut sebagai historical observer. Model befikir historisnya ini sesuai dengan apa yang sudah dilakukannya yaitu pendekatan arkeologi seperti dalam bukunya “Archeology of knowledge.” Tetapi, "pengamat sejarah" ini pun mesti dipahami dalam pengertian lain yang berbeda, bukan sejarah konvensional yang lurus. Foucault tidak suka pemahaman sejarah yang lazim, yang berorientasi pada masa lampau, yang sudah lewat, menyangkut hal-hal yang sudah mati dan kurang bermanfaat. Bila para filsuf sejarah selama ini membicarakan sejarah sebagai sebuah kajian khusus seperti membahas watak perkembangan sajarah, teori sejarah, arah dan kecenderungannya, kekuatan-kekuatan di balik peristiwa sejarah dan sebagainya, Foucault sama sekali berbeda. Ia melihat sejarah sebagai tema-tema yang dilihat secara kritis. Foucault tidak menulis “tentang sejarah” (about history), tetapi menulis banyak hal “dalam perkembangan sejarah” (in history).
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain ia tidak membicarakan metodologi sejarah, melainkan materi sejarah. Dari pengamatan dan analisisnya yang mendalam tentang berbagai hal dalam sejarah, Foucault melahirkan konsep-konsep kunci untuk memahami pemikirannya. Tema-tema kritis penglihatannya adalah tentang “episteme” (sistem wacana), power (kekuasaan), sexuality (seks), dan lain-lain. Mengapa tema-tema ini menjadi menonjol dalam pemikiran Foucault, karena pemahamannya terhadap tema-tema itu sangat orisinil, “menabrak” konvensi para filsuf sebelumnya.
Karya Foucault sering mendapat kritik dari para sejarawan. Ahli sejarah sastra tidak senang dengan cara Foucault menggunakan sastra sebagai untuk sejarah mentalitas, ahli sejarah seni tidak suka dengan cara Foucault menggunakan seninya, sementara para sejarawan tradisional tidak setuju dengan prinsip Foucault tentang sumber yang bukan "dokumen" resmi. Seperti apa yang tertuang dalam bukunya “Discipline and Punish,” kesimpulan-kesimpulannya dikatakan tidak ada dasarnya dalam metode penelitian arsip. Kritik lain terhadap Foucault ialah ketidakpekaannya pada perbedaan lokalitas, juga kecenderungannya untuk mendeskripsikan generalisasi tentang Eropa hanya dengan menggunakan contoh-contoh di Prancis seakan-akan wilayah yang berbeda-beda sama saja skala waktunya (Burke, 2011: 227).
ADVERTISEMENT
Tulisan Foucault sangat luas menyangkut berbagai disiplin sehingga sempat menggoyahkan sendi-sendi pengetahuan manusia. Di bawah ini diuraikan beberapa inti dari gagasan Foucault yaitu sejarah masa kini, geologi, episteme, dan kekuasaan. Beberapa konsep tersebut diuraikan secara singkat. Saya berharap penjelasan berikut cukup memadai untuk merekonstruksi pemikiran Foucault terutama hubungan dengan pemikiran sejarah.
Sejarah Masa Kini dan Geneologi
Bagi Foucault, sejarah itu bukanlah masa lalu melainkan bersifat masa kini (history of the present). Ia tidak tertarik dengan sejarah masa lalu yang konvensional, mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk menggambarkan masa silam selengkap-lengkapnya. Dalam pembahasannya tentang masa lalu, Foucault menyebutkan bahwa studi sejarah harus selalu memiliki keterkaitan dengan masa kini.
Hal itu jelas karena masa kini penuh dengan persoalan yang bisa dipecahkan dengan memahami sejarahnya pada masa silam. Dengan demikian, sebenarnya menulis sejarah itu untuk masa kini bukan untuk masa silam. Perspektfinya pun harus masa kini karena untuk kebutuhan masa kini. Tetapi Lechte mengungkapkan pertanyaan: “Jika masa kini mengendalikan perhatian dan minat sejarawan, apakah tidak berbahaya yaitu masa lalu akan mengarahkan masa kini?” Atas pertanyaan ini, Foucault justru memberikan respons tentang bahayanya sejarah yang diusung oleh penganut idealisme:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan ide sejarah masa kini dan masa lalu yang harus selalu di-reevaluasi, Foucault menggagas konsep tentang ‘geneologi’ (genealogy). Geneologi adalah sejarah yang ditulis untuk kepentingan-kepentingan masa kini yaitu hubungannya dengan komitmen terhadap masalah-masalah kontemporer. Sejarah perlu memasuki peristwa-peristiwa masa kini. Dengan demikian, geneologi adalah "sejarah efektif" (effective history) yang ditulis sebagai keterlibatan kontemporer. Terinspirasi oleh Bachelard, Canguilhem dan Cavailles, Foucault menyebutkan bahwa sejarah selalu merupakan geneologi dan sebuah intervensi, dengan demikian kerangka pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah (Lechte, 1994: 112). Epistemologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan ini sebagai “the grammar of knowledge production” dan diungkap melalui kerja sains, filsafat, seni dan literatur. Epistemologi juga adalah cara menghubungkan peristiwa-peristiwa material dengan pikiran atau ide.
ADVERTISEMENT
Episteme: Kunci Perkembangan Sejarah
Kunci pemikiran Foucault tentang sejarah adalah apa yang ia sebut sebagai “episteme” (Sistem wacana). Foucault dengan kritis melihat bagaimana ilmu-ilmu berkembang dalam sejarah secara sistemik (Keseluruhan sistem berpikir) dalam suatu periode, kemudian berubah secara menyeluruh dalam tahapan periode yang lain, kadang-kadang secara cepat (Leksono 2002: 22-31). Ilmu pengetahuan ternyata berkembang dan established tidak bertumpu pada tokoh-tokoh pemikir yang gagasannya diikuti banyak orang. Setiap pengetahuan kita berkembang merupakan jalinan yang luas dan rumit antara berbagai kepentingan dan kepekaan mereka mengenai tatanan rasional. Tidak ada suatu gagasan yang dicetuskan oleh seseorang atau sekelompok ilmuwan kemudian menjadi mapan di masyarakat tanpa adanya saling keterkaitan yang menyeluruh dengan aspek-aspek lain dalam sebuah sistem sosial. Sistem berpikir manusia itulah yang disebut Foucault sebagai “episteme.”
ADVERTISEMENT
Dalam setiap persoalan yang ia amati dalam sejarah selalu dilihat dalam konteks hubungan-hubungan yang rumit yang terjalin dengan unsur-unsur lain. Misalnya tentang konsep “kebenaran.” Untuk sampai pada sebuah “kebenaran” yang mapan yang dipegang oleh masyarakat dalam periode tertentu, selalu terlibat berbagai unsur yang meneguhkan kebenaran itu: Politik, kekuasaan, kepentingan, gender, pemikiran, ideologi, dan sebagainya. Episteme ini berpengaruh terhadap apa disebut dengan "kebenaran" melalui bahasa. “Discours”, “penalaran” atau “uraian” adalah bahasa yang sering diarahkan pada kebenaran. Discours ini terutama adalah penalaran ilmiah, tetapi bahasa sehari-hari seperti rapat-tapat, pidato politik dan diskusi-diskusi juga merupakan ‘discours’. Bagi Foucault, masa silam terdiri dari discours ini yaitu lautan artikulasi, pembicaraan dan penalaran manusia, samudera kata, kalimat dan ungkapan bahasa yang dipakai dalam berbagai bentuk situasi dan kesempatan yang beraneka ragam dalam kehidupan sehari-hari (Ankersmit, 1987: 309). Dalam sejarah penalaran sehari-hari yang melimpah itu, dalam keseluruhan berpikir manusia itu, Foucault melihat ada sebuah kekuatan yang mengatur yang disebut ‘episteme’.
ADVERTISEMENT
Seperti diuraikan Ankersmit (Ankersmit, 1987: 310-312), ada tiga karatkteristik ‘episteme’ Foucault: Pertama, episteme menentukan bagaimana cara kita melihat dan mengalami kenyataan. Cara kita mengalami kenyataan menentukan bagaimana kita melihat kenyataan. Kenyataan itu subyektif dan sering tidak disadari.
Dengan demikian, kenyataan itu tidak sederhana dan tidak begitu pasti seperti yang kita duga. Ini berarti, episteme tidak disadari oleh orang yang mengalaminya. Ketika episteme disadari, yaitu kita sadar melihat realitas dengan perspektif tertentu, maka akan terbukalah untuk melihat kenyataan dengan sudut pandang yang lain. Kalau ini terjadi maka menjadi dibuat-buat, kita melihat realitas pun dibuat-buat bukan oleh kesadaran asli sesungguhnya yang dimiliki seseorang. Kedua, karakter episteme yang lain adalah adanya larangan-larangan, penyangkalan, pengabaian dan penolakan. Episteme itu mengendalikan dan mengontrol pengetahuan manusia melalui tiga macam pengecualian: tabu, kegilaan dan ketidakbenaran.
ADVERTISEMENT
Identitas episteme itu berada dalam hal-hal yang tidak disadari seperti dalam larangan. Dari sinilah episteme mengungkapan identitasnya yang asli. Karena itulah Foucault tertarik pada fenomena kegilaan (madness), kejahatan dan perilaku seksual yang aneh. Setiap zaman terdapat episteme-nya sendiri tetapi tidak bisa dilacak karena tidak disadari. Walaupun tidak bisa dilacak (untracable) tetapi bisa disusun kembali dengan cara bertindak “dari luar ke dalam”: dari larangan ke yang benar, dari tabu ke kebolehan, dari kegilaan ke normalitas. Ketiga, dalam episteme terdapat hubungan antara bahasa dengan realitas. Umumnya, bahasa dipandang sebagai medium yang transparan, bahasa adalah refleksi dari kenyataan. Bagi Foucault tidak begitu. Bahasa selalu ditentukan oleh episteme yaitu bentuk-bentuk penggunaan bahasa yang dipakai untuk merumuskan kebenaran. Sama seperti episteme mengatur dan menyaring pengetahuan kita mengenai kenyataan, demikian juga bahasa. Bahasa bukanlah medium yang transparan, bukanlah pencerminan dari kenyataan.
ADVERTISEMENT
Bahasa adalah alat yang dipergunakan episteme, guna mengatur dan menyusun kenyataan, sesuai dengan tabiat episteme itu sendiri (Ankersmit, 1987: 312). Dengan demikian, Foucault melihat jelas bahwa bahasan dan episteme tidak pasif melainkan aktif. Keduanya berusaha untuk merubah kenyataan bahkan menguasai kenyataan.
Posisi Foucault dalam Pemikiran Sejarah
Dari uraian di atas, hubungan dengan pemikiran sejarah, posisi Foucault dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Sumbangan Foucault terhadap filsafat sejarah –walaupun banyak implikasi metodologisnya yang penting– lebih kepada kajian-kajian kritis dan mendalam tentang tema-tema (Sejarah material).
Kedua, pandangan Foucault tentang sejarah lebih halus, lebih pada hal-hal yang tak teramati oleh para filsuf sebelumnya. Seperti ketika Fernand Braudel melukiskan pentingnya sejarah geografis: “Terlalu banyak peristiwa penting yang tak teramati di bawah aliran tren sosial.” Refleksi mendalamnya ini hampir mewarnai seluruh analisisnya seperti tentang episteme, kekuasaan dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, keseluruhan analisis sejarah Foucault hampir selalu merupakan pembongkaran atas realitas tersembunyi dalam sejarah yaitu kolaborasi pengetahuan dengan kekuasaan. Pengetahuan yang berkembang dalam komunitas ilmiah dan diikuti banyak pengikut ternyata tidak sederhana hanya kekuatan ide saja, melainkan merupakan keterlibatan banyak aspek, faktor dan aktor dalam sebuah episteme terutama melalui kekuasaan.
Keempat, inti dari seluruh kesimpulan di atas, penggambaran tentang sosok Foucault diantara sejarawan lain adalah, ia sendiri sesungguhnya seorang sejarawan, tapi karena ia tidak suka sebutan itu –ia adalah seorang filsuf yang mengkritisi sejarah dengan menelanjangi masa lalu sedemikian rupa, termasuk kepalsuan-kepalsuannya—mungkin lebih cocok disebut atau ditempatkan sebagai “filsuf paradigma” dan diantaranya adalah paradigma sejarah. Penolakannya disebut sebagai sejarawan atau filsuf sejarah karena mungkin menyempitkan pikirannya hanya pada bidang sejarah. Pada kenyataannya, ia mengobrak-abrik bukan hanya sejarah tetapi hampir seluruh paradigma ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Sebagai konsekuensi dari kerja pemikiran yang fundamental, pembongkaran Foucault atas dasar-dasar pengetahuan membuatnya sulit dikategorikan ke dalam disiplin pengetahuan tertentu –ia sendiri tidak suka dengan pendisiplinan ketat semacam itu. Pemikirannya yang “memborbardir” kesana-kemari: sejarah, psikologi, kebudayaan, gender, antropologi, politik dan seterusnya, membuat disiplin ilmu, dalam pandangannya, menjadi relatif dan sulit dipertahankan.
Referensi
Buku
Ankersmit, F.R. (1987). Refleksi tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Burke, Peter. (2011). Sejarah Dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Lechte, John. (1994). Fifty Key Contemporary Thinkers. From structuralism to posmodernity, London: Allen&Uniwim.
Majalah
Karlina Leksono, “Berakhirnya Manusia dan Bangkrutnya Ilmu-ilmu,” dalam Majalah Basis, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.