Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Eksklusivisme Berbalut Almamater: Otokritik terhadap Gerakan Mahasiswa
27 April 2022 13:04 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Ahmad Shalahudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut pernah muncul dalam sebuah artikel yang dimuat majalah Prisma edisi bahasa Inggris nomor 47, September 1989. Melalui artikel yang berjudul The Indonesian Student Movement 1920—1989: A Force for Radical Social Change? tersebut, Fazlur Akhmad—nama samaran dari salah seorang pendiri PRD (Partai Rakyat Demokratik), Danial Indrakusuma—mungkin menjadi yang pertama kali mengidentifikasi kesalahan strategi gerakan mahasiswa yang sedang menjamur sepanjang usia terakhir Orde Baru.
Kita pun perlu tahu bahwa sejak akhir dekade 1980-an, sebagaimana dicermati oleh Max Lane dalam Unfinished Nation: Indonesia Before and After Soeharto, rangkaian aksi politik melawan Soeharto—yang sebagian besarnya menjadikan mahasiswa sebagai inisiatornya—telah merebut kembali legitimasi 'mobilisasi massa' sebagai metode politik populer. Sebab, sebagai sebuah metode politik, mobilisasi massa telah dicabut paksa dari akar masyarakat seiring pemberangusan gerakan dan ideologi Kiri sejak 1965.
ADVERTISEMENT
Meskipun para ahli telah banyak menelusuri berbagai dampak Genosida Politik 1965—1966—seperti Hilmar Farid yang mengetengahkan hilangnya konsep kelas sosial dan gender dalam diskursus ilmu sosial Orde Baru dalam The Class Question in Indonesia Social Science misalnya—aspek politik “mobilisasi massa” masih menjadi ruang kosong yang agak lebar dalam studi ilmu sosial.
Padahal, Genosida Politik 1965—1966 yang pada dasarnya merupakan penghancuran gerakan rakyat berbasis kelas menyediakan prakondisi bagi proyek floating mass, yang kemudian menjadi latar belakang menghilangnya 'mobilisasi massa' sebagai sebuah metode politik rakyat.
Hal ini pula yang kemudian menjadi konteks historis bagi terbentuknya identitas mahasiswa-sebagai-agen-perubahan yang sejatinya memang difasilitasi oleh rezim militer Orde Baru (untuk diskusi terkait pembentukan identitas mahasiswa sebagai agen perubahan, lihat di sini ). Mahasiswa menjadi satu-satunya bagian dari masyarakat yang menikmati 'panggung negara'.
ADVERTISEMENT
Sebagai akibatnya, meski karakter kelas menengah juga menjadi faktor terbesar, politik mobilisasi massa yang dipelopori mahasiswa sepanjang Orde Baru muncul dengan karakter khasnya yang terpisah dari kekuatan rakyat dan tidak memiliki basis massa yang kuat dan luas.
Celakanya, karakteristik khas inilah yang terus diwariskan gerakan mahasiswa post-Orde Baru. Hal ini pula yang dapat dilihat jelas, meski tak terbatas, dalam kasus demonstrasi mahasiswa bertanggal 21 April lalu . Layaknya Nabi palsu yang akan membebaskan rakyat tertindas, rombongan mahasiswa kelas menengah itu mengklaim peranannya sebagai penyambung lidah rakyat. Namun, sebagaimana terdokumentasikan dalam sebuah video di bawah ini—yang juga di-framing oleh aparat sebagai provokator—hanya mereka yang berjaket almamater yang berhak mengklaim mewakili keresahan rakyat.
ADVERTISEMENT
Dengan meneriaki siapa saja yang tidak berjaket almamater sebagai provokator, gerombolan mahasiswa kelas menengah itu tak jauh berbeda dengan negara Orde Baru yang meneriaki siapa saja yang tidak sejalan dengan sumpah serapah 'komunis'. Sebagaimana Ariel Heryanto pernah menuturkan bahwa 'komunisme tidak pernah mati di Indonesia-nya Soeharto', maka dapat dipahami juga bahwa 'provokator tidak pernah mati di barisan demonstrasinya mahasiswa'.
Sebagaimana dimafhumi, dalam retorika gerakan mahasiswa kini, jaket almamater hanya persoalan taktik. Akan tetapi, menurut penulis, mereka hanya mengulangi apa yang dicemooh Danial Indrakusuma dalam The Indonesian Student Movement 1920—1989: A Force for Radical Social Change? terhadap gejala yang mengemuka pada gerakan mahasiswa di era Orde Baru: “Mereka sering berlindung di balik kata (benar-benar hanya kata-kata) taktik, tapi dalam realitas mereka tak pernah melakukan tindakan politik dengan kekuatan mobilisasi massa.”
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, penulis bermaksud mengajak pembaca menengok kembali—sebagaimana istilah yang sering digunakan JJ Rizal—"rumah sejarah”, dengan persoalan bagaimana gerakan rakyat anti-Orde Baru dibangun, dikonsolidasikan, serta dihancurkan menjadi titik tolaknya. Sebab, persoalan normatif terkait bagaimana semestinya gerakan rakyat dibangun membutuhkan kerja intelektual dan kerja politik dari gerakan massa tak bernama, alih-alih kerja satu atau dua orang elite mahasiswa.
Bila disepakati keharusan untuk kembali kepada rumah sejarah, kita pun perlu belajar bahwa 'keberhasilan' politik mobilisasi massa anti-Orde Baru justru menjadikan otokritik sebagai titik tolak. Dalam semangat tersebut, tulisan ini berupaya mempersoalkan kosongnya imajinasi politik dan eksklusivitas yang tercermin jelas dalam praktik aksi massa yang dijalankan belakangan ini, dengan bertolak pada wacana gerakan rakyat anti-Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Pengalaman Dekade 1980-an
Terpisah dari kekuatan rakyat dan tidak memiliki basis massa yang kuat dan luas menjadi kata kunci dari gerakan mahasiswa era Orde Baru. Kesalahan strategi ini dapat diidentifikasi setidaknya dari dua bentuk gerakan mahasiswa yang mengemuka sejak dekade 1970-an, yakni kelompok studi dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Kita pun perlu mengingat terlebih dahulu, sebagaimana dicatat Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital, bahwa sejak akhir dekade 1970-an, perkembangan kapitalisme sedemikian rupa diikuti dengan kemunculan kelas kapitalis domestik. Fenomena oil boom pun pada gilirannya membawa pertumbuhan besar terhadap populasi kelas menengah, yang menurut Edward Aspinall dalam Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia, merupakan basis dukungan bagi rezim otoritarian Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Dengan konteks sosial demikian, menjadi mudah dipahami dari mana social origin bagi ekspresi kelas gerakan mahasiswa sepanjang dekade terakhir Orde Baru. Selain sebagai ekspresi kelas, kepopuleran fenomena kelompok studi dan LSM juga sedikit banyaknya merupakan respons terhadap proyek floating mass melalui NKK/BKK.
Akan tetapi, berbeda jauh dengan kemunculan tren studieclub di dekade 1920-an, kelompok-kelompok studi mahasiswa ini—yang lebih layak disebut debatingclub dari pada studieclub—tidak mampu merespons dan mendorong perubahan kondisi objektif ekonomi dan politik. Mereka hanya mampu berkubang dalam perdebatan apolitis tanpa mampu berdialektika dengan kondisi-kondisi objektif.
Terlebih lagi, tren intelektual luar negeri—seperti berkembangnya analisis teori ketergantungan—telah berpengaruh sedemikian rupa dan membawa konsekuensi bagi paradigma yang dibawa sebagian besar LSM. Akibatnya, mereka cenderung melihat penyesuaian kebijakan negara semata sebagai jawaban dari berbagai problem sosial dan politik, alih-alih menjadikan rekonstruksi radikal pada negara dan tatanan sosial sebagai solusinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sebagaimana ketidakmampuan mereka memprakarsai tindakan politik, kecenderungannya untuk dikelola dengan sangat birokratik dan “task-oriented” juga menjadikan LSM tidak sanggup mentransformasikan agenda politiknya. Kehadiran ribuan LSM—yang diistilahkan Aspinall (2005) dengan sebutan fenomena NGO Boom—yang sebagian berintikan aktivis mahasiswa tidak memiliki makna apapun, kecuali menunjukkan ekspresi kelasnya yang reformis dan moderat.
Membenahi Praktik Mobilisasi Massa
Meski tampil terpisah dari kekuatan rakyat, tidak dapat disanggah bahwa dekade 1980-an telah memberikan pengalaman politik berharga bagi gerakan mahasiswa. Max Lane menggambarkan dekade 1980-an sebagai “periode diskusi dan pembelajaran politik yang sangat saksama.” Sebab, melewati periode tersebut, gerakan mahasiswa mulai merehabilitasi ingatan sejarah pra-1965—yang sebagiannya didorong oleh penerbitan karya-karya Pramoedya Ananta Toer—bahwa bangsa Indonesia ini pada dasarnya dibangun oleh mobilisasi politik rakyat dan gerakan revolusioner.
ADVERTISEMENT
Menjamurnya berbagai aksi politik berbasis mobilisasi massa pada gilirannya menjadi orientasi baru bagi sebagian besar sektor gerakan rakyat. Salah satu titik puncaknya tampak dalam keberhasilan pemogokan buruh Great River Industries pada 1991 dalam memobilisasi sekitar 10.000 massa yang menjadikannya mobilisasi massa terbesar pertama sejak 1965. Sejak itu, eskalasi mobilisasi massa meningkat seiring dengan krisis kekuasaan yang semakin mendekati titik akhirnya.
Dalam drama Mastodon dan Burung Kondor, W.S. Rendra menggambarkannya dengan pekik kesaksian semi-mistik: “Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan di sana mendapat hiburan dari sepi. Karena hanya sepi, mampu menghisap dendam dan sakit hati.” Akan tetapi, beribu-ribu burung kondor ini menghadapi masalah yang menghalanginya bergerak menuju ke gunung tinggi: kesadaran massa dan kekuatan organisasi perlawanan masih terlampau lemah.
ADVERTISEMENT
Bertolak dari analisis dan kritik terhadap berbagai kekuatan opisisi—di antaranya tampak dalam pembacaan PRD terhadap kelompok Petisi 50, Forum Demokrasi, hingga FAMI (Front Aksi Mahasiswa Indonesia)—maka pawai jalanan dianggap menjadi taktik mobilisasi massa yang paling efektif dalam membangun kesadaran massa. Berangkat dari analisis kondisi objektif yang ada, taktik pawai jalanan ini digunakan sebagai respons langsung terhadap kenyataan massa yang tak terorganisasi akibat proyek depolitisasi massa (floating mass).
Jalur-jalur pawai jalanan—yang sebelumnya diramaikan oleh selebaran aksi massa—meliputi hingga daerah-daerah kantong (enclave) lumpen-proletariat dan kampung-kampung kaum miskin kota. Hasilnya cukup mengejutkan, dalam kasus mobilisasi massa 12—13 November 1998, mengiringi Sidang Umum Istimewa MPR RI yang digelar, tidak kurang dari satu juta orang berhasil dimobilisasi.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentunya bukan sekadar persoalan taktik semata, sebagaimana kepercayaan elite-elite gerakan mahasiswa kini. Taktik mobilisasi massa tersebut setidaknya mencerminkan kejernihan kemampuan analisis kelas dan tumbuhnya suatu orientasi revolusioner: bahwa kekuasaan harus dibangun dari bawah, sebagai hasil dari proses politik mobilisasi.
Agar tak terlampau romantis, sangat terang untuk diingatkan bahwa meningkatnya eskalasi dan kesadaran massa begitu pesat memang diiringi polarisasi ideologis di antara kelompok gerakan rakyat. Masing-masing tampil dengan karakternya yang progresif, konservatif, atau paling tidak moderat. Akan tetapi, polarisasi ini tidak membuat kabur salah satu jalur pemikiran umum yang berkembang dan terwujud dalam wacana politik sewaktu itu.
Di tingkat spektrum paling radikal, yang diwakili PRD, orientasi mobilisasi massa mengarah pada seruan pembentukan Komite Rakyat atau Dewan Rakyat. Tak terlalu keliru bila kita menyandingkannya dengan “Peristiwa Tiga Daerah”, sebagaimana dilukiskan oleh Anton Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, yang mengartikulasikan tuntutan revolusi sosial yang tercermin dari pencopotan paksa para pejabat daerah pro-kolonial dan pendaulatan pemerintahan baru melalui GBP3D (Gabungan Badan Perjuangan Rakyat Tiga Daerah).
ADVERTISEMENT
Gagasan radikal ini dapat ditemui pada pembentukan platform politik berupa posko-posko Reformasi dari tiap tingkatan desa. Bahkan, sebagaimana dicatat Munafrizal Manan dalam Gerakan Rakyat Melawan Elite, tuntutan pengunduran diri kepala daerah terjadi di sejumlah daerah, seperti Langkat, Banten, Maros, hingga Banyuwangi. Dalam rentang Mei hingga Juli 1998, diperkirakan sekitar 300 pejabat pemerintah yang utamanya merupakan kepala desa dipaksa mencopot jabatannya. Pendeknya, radikalisasi massa berkembang sedemikian rupa dan taktik mobilisasi massa diupayakan untuk memfasilitasinya.
Penutup
Ketepatan taktik mobilisasi massa yang bertolak dari analisis atas kondisi objektif massa tidak bermuara pada hasil yang memuaskan. Meski teramat jelas bagaimana kesadaran massa dan orientasi revolusioner terbangun secara mengejutkan, tetapi gerakan rakyat anti-Orde Baru yang dipelopori mahasiswa gagal mengemban tuntutan pemerintahan bergaya Komite Rakyat. Mobilisasi massa anti-Orde Baru tak mampu menggantikan negara Orde Baru berikut dengan seluruh elite politik pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Deklarasi Ciganjur yang dilakukan pada 10 November 1998 pun menjadi representasi upaya elite politik berwatak moderat dalam memukul mundur eskalasi mobilisasi massa sekaligus mengagalkan proses politik yang sedang berlangsung dari bawah. Berbagai upaya elite politik—seperti Amien Rais, Gus Dur, hingga Megawati—untuk menghentikan mobilisasi massa dan menyelamatkan sistem pada akhirnya berjalan mulus.
Selain mencerminkan kecenderungan elite politik berwatak moderat dan konservatif untuk mempertahankan sistem, kegagalan tersebut juga merepresentasikan kegagalan proses reogranisasi sosial dan politik demi melampaui bentuk-bentuk organisasi sementara (Komite Rakyat) untuk mentransformasikannya menjadi organisasi permanen yang lebih luas. Hal ini juga dapat berarti bahwa kampanye kontra-revolusioner Soeharto sejak 1965 secara genial telah mencerabut akar politik mobilisasi massa sebegitu parahnya.
Akan tetapi, pada gilirannya menjadi sangat terang bahwa otokritik dan upaya mengeliminasi eksklusivitas menjadi titik tolak bagaimana gerakan rakyat anti-Orde Baru dibangun. Gerakan mobilisasi massa yang dibangun tak hanya diupayakan sebagai respons atas kondisi objektif, melainkan juga sebagai pendorong kesadaran subjektif massa. Sebab, kesadaran subjektif massa memang tak boleh hanya chvostismus (mengekor) pada kondisi objektif yang menjadi penggerak perubahan sosial.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, dengan bertolak dari kenyataan historis dan aktual, eksklusivitas yang masih terus tersemat pada gerakan mahasiswa hari ini, dengan berlindung pada kata “taktik” demi menghindari provokator, tidak memberikan dampak apa pun pada kesadaran subjektif massa. Dengan mengeklaim sebagai penyambung lidah rakyat, gerakan mahasiswa kini hanya menipu dirinya sendiri lantaran mengucilkan peranan kekuatan massa dalam proses politik mobilisasi.
Di atas semua itu, pembacaan kondisi objektif dan upaya untuk selalu memperbaharui taktik mobilisasi massa tetap menjadi suatu keniscayaan.
Daftar Pustaka
Akhmad, Fazlur. (2005). The Indonesian Student Movement: A Force for Radical Social Change? Dalam David Bourchier dan Vedi Hadiz (Ed.), Indonesian Politics and Society: A Reader (pp. 167-170). London & New York: Taylor & Francis e-Library.
ADVERTISEMENT
Aspinall, Edward. (2005). Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. California: Stanford University Press.
Blok Politik Pelajar. (2022, April 22). Video Amatir Demonstrasi Mahasiswa 21 April. Diakses dari https://www.instagram.com/p/CcnejohJ6LS/
Farid, Hilmar. (2005). The Class Question in Indonesia Social Science. Dalam V. R. Hadiz dan D. Dhakidae (Eds.), Social Science and Power in Indonesia (pp. 167-196). Jakarta: Equinox Publishing.
Heryanto, Ariel. (1999). Where Communism Never Dies: Violence, Trauma and Narration in The Last Cold War Capitalist Authoritarian State. International Journal of Cultural Studies, 2(2), 147-177. doi:10.1177/136787799900200201
Lane, Max. (2021). Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.
Lucas, Anton. (2019). Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Yogyakarta: Media Pressindo.
ADVERTISEMENT
Manan, Munafrizal. (2005). Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta: Resist Book.
Robison, Richard. (2009). Indonesia: The Rise of Capital. Jakarta: Equinox Publishing.
Kumparan.com. (2022, April 21). Mahasiswa Mulai Datang ke Patung Kuda Ikut Demo 21 April, Bawa 7 Tuntutan. Diakses dari https://kumparan.com/kumparanvideo/mahasiswa-mulai-datang-ke-patung-kuda-ikut-demo-21-april-bawa-7-tuntutan-1xvQysKCE0a/full
Kumparan.com. (2022, April 21). Polisi Amankan Pria Diduga Provokator di Tengah Demo Mahasiswa di Patung Kuda. Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/polisi-amankan-pria-diduga-provokator-di-tengah-demo-mahasiswa-di-patung-kuda-1xvQBxUIqqU/full
Tempo.co. (1991, Juni 29). Mogok Menjalar Dari Cibinong. Diakses dari https://majalah.tempo.co/read/nasional/14382/mogok-menjalar-dari-cibinong