Konten dari Pengguna

Men-talfiq Mazhab dalam Zakat Fitrah Menggunakan Uang, Bolehkah?

ahmad ardiansyah
Mahasiswa Hukum Keluarga UIN jakarta
9 April 2024 12:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ahmad ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.canva.com/design/DAGB1wu82W4/d6FBxoDs1JQYM8rDo0J3Wg/edit?utm_content=DAGB1wu82W4&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
zoom-in-whitePerbesar
https://www.canva.com/design/DAGB1wu82W4/d6FBxoDs1JQYM8rDo0J3Wg/edit?utm_content=DAGB1wu82W4&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
ADVERTISEMENT
Allah telah mentaklifkan dua kewajiban kepada umat muslim di bulan Ramadhan ,yakni kewajiban puasa Ramadhan dan membayar zakat . Keduanya merupakan rukun atau fondasi bagi agama islam yang harus di tunaikan bagi setiap muslim dengan syarat dan ketentuan yang berlaku padanya untuk mencapai kesempurnaan dalam beragama. Setiap muslim yang berkesempatan menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan yang memiliki kelebihan rezeki, maka diwajibkan juga baginya untuk membayar zakat kepada mustahiq (orang yang berhak menerima) zakat.
ADVERTISEMENT
Di luar materi terkait puasa Ramadhan. Saya di sini akan memaparkan hanya persoalan tentang zakat saja yang mungkin pernah menjadi kontroversi bagi umat muslim di indonesia, yaitu pembayaran zakat fitrah dengan uang, bagaimana ulama-ulama fikih dan negara mengatur ketentuan zakat fitrah dengan uang ini?.
Perlu diketahui bahwa zakat pada dasarnya terbagi dua, yaitu zakat maal dan zakat fitrah. Zakat maal adalah zakat yang dikarenakan atas harta yang dimiliki seseorang atau lembaga dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan, Sedangkan zakat fitrah adalah zakat yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim, baik anak-anak maupun dewasa, baik orang merdeka maupun hamba sahaya, serta baik laki-laki maupun perempuan sebesar 1 sha makanan pokok sebelum hari raya ‘idul fitri.
ADVERTISEMENT
Para ulama fikih mazhab seperti imam Malik, Syafi’i, dan Hambali sepakat bahwa yang harus dibayarkan dalam zakat fitrah adalah makanan pokok yang digunakan di suatu negeri. Hal ini berdasarkan hadis dari Ibnu Umar ra, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas umat muslim, baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar. Beliau memereintahkannya sebelum orang-orang keluar untuk salat (‘id).” (HR Bukhari Muslim). Dapat diambil paham bahwa zakat fitrah yang dikeluarkan berupa makanan pokok adalah karena nabi memerintahkan zakat dengan kurma atau gandum , yang keduanya itu merupakan makanan pokok di Madinah pada saat itu, Sebagaimana juga hadits Riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri yang mengatakan ‘’Pada masa Rasulullah SAW, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju.
ADVERTISEMENT
Dari sini, Mayoritas ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa lebih baik mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok sesuai dengan kebiasaan setempat sebagai makanan sehari-hari yang mengenyangkan perut. Namun, imam Ats-Tsauri dan Abu Hanifah memiliki pandangan yang berbeda , yakni dengan membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai (qimah) berupa uang atau sejenisnya. Argumen yang dibangun Imam Abu Hanifah dalam pembolehan zakat fitrah dengan menggunakan Uang, itu harus disesuaikan dengan jumlah yang harus dibayarkan senilai/seharga bahan-bahan makanan tersebut, karena menurutnya membayar zakat fitrah dengan Uang bisa menyelesaikan kebutuhan si mustahiq zakat tersebut dan dengan mengunakan Uang juga dirasa lebih flexible dan tepat sasaran karena keperluan orang miskin pada hari raya bukan hanya kebutuhan makanan pokok saja. Namun, mungkin lebih membutuhkan uang untuk keperluan lainnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian dari hadis di atas disebutkan juga bahwa nabi memaksudkan ukuran untuk zakat fitrah adalah 1 sha’ jika ditakarkan maka, 1 sha’ ini sama dengan 4 mud, sedangkan 1 mud itu ukurannya sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan orang dewasa. Dalam menafsirkan ukuran 1 sha’ , Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan Imam Malik sepakat bahwa 1 sha' itu sebanding 685 5/7 dirham atau lima 1/3 ritl Baghdad , sebagaimana ada hadis dari Malik bin Anas yang diriwayatkan ad-Daruquthni bahwa sha’ yang digunakan nabi Muhammad SAW itu berukuran lima 1/3 ritl Iraq , takaran ini jika dikonversi ke dalam satuan berat yang biasa digunakan Masyarakat sekarang, maka ukuran 1 sha’ menurut imam syafi’i, hambali, dan malik itu setara dengan 2,75 kg atau lebih tepatnya 2751 gram. Namun, berbeda dengan hitungan 1 sha’ menurut imam abu hanifah, beliau berpendapat bahwa 1 sha’ itu setara dengan 8 ritl Iraq, dan Satu ritl Iraq setara dengan berat 130 dirham. Dalam ukuran gram, satu sha setara dengan 3.800 gram (3,8 kg).
ADVERTISEMENT
Yang jadi persoalan adalah jika kita ingin membayar zakat fitrah dengan qimah (uang), maka kita bisa berpindah hukum dan mengikuti kepada pendapat mazhab Hanafi (talfiq) yang membolehkan zakat dengan uang ini, yang mana mazhab Hanafi menetapkan satu sha’ itu setara dengan 3,8 kg (5 liter) atau jika dirupiahkan dengan melihat harga beras di pasaran, yakni Rp 14,525,00 x 5 liter itu sekitar Rp 73.000,00. Sejumlah itulah kiranya uang yang harus dikeluarkan jika dari kita ingin membayar zakat fitrah dengan uang, dan ini merupakan salah satu bentuk ke-konsistenan dalam ber-talfiq hukum atau mazhab.
Nyatanya pada saat ini di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah Menetapkan bahwa 1 sha’ itu setara dengan 2,5 kg. Maka kemudian, Baznas (Badan amil zakat nasional) pun menentukan banyaknya zakat fitrah yang dibayarkan adalah 2,5 kg atau 3,5 liter beras premium , yang artinya takaran ini mengarah kepada pendapat mazhab syafi’I. Bahkan, Baznas juga menerangkan dalam laman situsnya bahwa zakat fitrah yang dibayarkan dengan uang itu seharga Rp 45.000,00 hingga Rp 55.000,00. Yang artinya pemerintah / Baznas memberikan pilihan kebolehan zakat fitrah dengan uang (mazhab Hanafi) namun tetap mengikuti kadar ukuran 1 sha’ mazhab Syafi’i, seharusnya bila tetap ingin mengikuti mazhab Syafi’i, maka zakat fitrah nya wajib mengggunakan makanan pokok (beras) tidak diperkenankan memakai uang, dan tentu ini bentuk tidak ke konsistenan dalam mengambil suatu hukum. Apakah ini termasuk kebolehan dalam talfiq mazhab yang menerapkan hukum dari ketentuan-ketentuan yang mudahnya saja dari masing masing mujtahid ? bagaimana dengan keabsahan zakat fitrah seperti itu?.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal tersebut, Syeikh al-Kamal ibn al-Humam dan juga Syeikh Wahbah Zuhaili dalam kitab-nya “al-fiqh al-islami wa-adillatuh” membolehkan talfiq semacam itu karena menurutnya talfiq tersebut tidak termasuk kategori talfiq yang dilarang karena batal demi hukum atau karena faktor eksternal, yang mengakibatkan penentangan terhadap ijma’ atau rusaknya tatanan hukum. Justru talfiq semacam ini dinilai lebih sesuai dengan prinsip kemudahan dalam beragama (at-taisir) dan menghilangkan kesusahan atas Masyarakat (raf’ al-haraj) dan prinsip toleran (as-samahah) yang merupakan esensi dan tujuan hukum islam (maqashid al-syariah) dalam rangka memberikan kemaslahatan bagi manusia.
Selain itu, melihat dari hasil bahtsul masail LBM PBNU (Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pada tanggal 18 Mei 2020 tentang Pembayaran Zakat fitrah menggunakan uang , yang membolehkan motede talfiq yang tersebut di atas , yakni boleh membayar zakat fitrah dengan uang mengikuti pendapat hanafiyah dan dalam menggunakan nominal makanan pokok (beras) mengikuti pendapat Syafi’iyah . Pendapat ini dihasilkan menggunakan model intiqal al-mazhab fi badh’ al-masa’il (berpindah mazhab dalam Sebagian masalah/tidak secara utuh).
ADVERTISEMENT
Seorang Penulis Keislaman, Ahmad Ali MD beranggapan bahwa Menolak talfiq ataupun mengambil pendapat yang ringan yang dinilai lebih dinamis dan maslahat merupakan bentuk kejumudan atau kekakuan dalam beragama yang nantinya itu akan menyusahkan manusia itu sendiri karena tidak sesuai dengan prinsip dan asas islam, yakni memberikan kemudahan, kemaslahatan, dan kerahmatan.
Wallahu A’lam bish-Shawwab.
Sumber : (https://www.nu.or.id , Syarif Hidayatullah.Ensiklopedia Rukun Islam: Zakat, https://m.antaranews.com )