Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Micro-microcelebrity: Menjadi Anak dari Orang Tua Influencer
10 Januari 2023 13:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahsani Taqwim A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di sini akan banyak yang setuju jika saya berargumen bahwa bayi adalah makhluk paling lucu yang Tuhan ciptakan ke muka bumi. Hal ini yang menjadikan banyak pengguna internet menyukai unggah video, foto atau konten media sosial yang melibatkan bayi di dalamnya.
Sejalan dengan hal tersebut, unggahan bayi atau balita akan menarik banyak pengikut di media sosial. Hal ini yang menjadikan bayi sebagai konten utama bagi para orang tua berprofesi sebagai selebriti media sosial-influencer-, atau yang dikenal dengan nama lain microcelebrity. Microcelebrity adalah istilah yang diciptakan oleh Theresa M. Senft pada tahun 2001 dalam bukunya yang berjudul Camgirls, tentang perempuan muda yang menyiarkan kehidupan mereka melalui internet.
ADVERTISEMENT
Microcelebrity dalam pandangan Theresa Senft adalah orang yang mengekspos kehidupan mereka melalui media sosial. Konten yang diproduksi dan disebarkan ke media sosial cenderung-digambarkan- tanpa manipulasi, karena mereka juga bukan aktor/aktris selayaknya selebriti dalam film atau televisi. Mempertontonkan latar kehidupan pribadi secara lebih dekat melalui foto dan video di media sosial adalah upaya untuk melibatkan penonton serta mengharapkan umpan balik dari para pengikut yang menyaksikan foto dan video yang dibagikan tersebut.
Jika mengutip dalam tulisan berjudul Micromicrocelebrity: Branding Babies on the Internet karya Crystal Abidin (2015) disampaikan bahwa di Asia Timur tidak sedikit selebriti media sosial atau microcelebrity menjadikan bayi mereka sebagai konten yang paling menjanjikan. Sebab konten yang menampilkan bayi, akan menarik banyak penonton di media sosial. Bahkan sebelumnya, ketika masih proses mengandung pun, microcelebrity ini telah menjadikan kehamilan mereka sebagai konten yang juga menarik pengikut dan penonton yang banyak.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang selebriti-selebriti media sosial ini akan menjadikan anak sebagai objek sorotan yang akan diunggah ke akun media sosial agar ditonton jutaan pengikut mereka. Dengan teknik self-branding, para influencer ini kemudian akan membentuk citra anak-anak mereka sesuai keinginan mereka. Layaknya kanvas kosong, anak influencer media sosial akan digambarkan sesuai keinginan orang tuanya. Apakah akan diisi gambar merek mahal bagai papan iklan atau mengikuti ego orang tua dengan hobby tertentu yang bahkan justru membahayakan si bayi.
Berkaitan dengan itu pula, Alicia Blum-Ross (2017) dalam risetnya berjudul “Sharenting,” parent blogging, and the boundaries of the digital self, memperkenalkan istilah yang sangat populer, yaitu sharenting. Sebuah istilah untuk tindakan orang tua yang kerap membagikan gambar dan video anak-anak mereka di ruang digital seperti media sosial atau blog. Walaupun di Indonesia banyak juga selebriti yang enggan mengekspos anak mereka ke media sosial atau berbagi privasi anak di media konvensional seperti TV dan majalah.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan hal tersebut, selebriti di media sosial juga dikategorikan ke dalam dua tipe. Alice E. Marwick (2013) menjelaskan fenomena tersebut dalam buku berjudul Status Update: Celebrity, Publicity, and Branding in the Social Media Age, di mana microcelebrity terbagi dua: pertama, “ascribed microcelebrity” yakni selebriti media sosial yang menutup kehidupan pribadi mereka dari sorotan media sosial atau media konvensional, walaupun sorotan-sorotan kamera tidak terhindarkan dari paparazi atau fans (bukan disebarkan sendiri melalui media sosial pribadi).
Sedangkan yang kedua adalah “achieved microcelebrity” atau selebriti yang memang secara sadar menggunakan strategi pencitraan diri dengan membagikan momen-momen privat mereka dan keluarga untuk menumbuhkan kedekatan dengan penggemar mereka agar pengikut mereka semakin bertambah. Artinya dengan terus menerus menampilkan kehidupan pribadi-anak dan keluarga-akan menumbuhkan keintiman antara selebriti media sosial dan pengikutnya, sebab para penggemar merasa telah mengetahui semua sisi kehidupan pribadi sang selebriti.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disebutkan sebelumnya, bukan hanya si bayi yang menjadi objek konten, bahkan ketika masih dalam kandungan pun, si bayi telah diekspos sedemikian rupa untuk tujuan ekonomi. Anak yang belum memiliki kendali atas diri-baik atau buruk bahkan membahayakan-mereka menjadikan foto dan video yang dibagikan kerap dianggap melanggar aturan formal, etika sosial bahkan masalah kesehatan. Tidak jarang selebriti melibatkan ahli kesehatan untuk melegitimasi kelakuan mereka dalam konten yang di produksi. Bahkan keterlibatan ahli kesehatan juga merupakan salah satu konten iklan atau sponsor.
Praktik seperti ini yang diangkat oleh Tama Leaver (2017) dalam tulisannya berjudul Intimate Surveillance: Normalizing Parental Monitoring and Mediation of Infants Online. Leaver menegaskan bahwa konsep hingga estetika pengambilan gambar yang digunakan influencer di media sosial dalam produksi konten bersponsor sangat mirip dengan estetika gambar tanpa sponsor. Hal ini yang membuat para pengikut mereka di media sosial akan sulit membedakan mana konten bersponsor dan mana yang tidak. Selain itu, sebagai selebriti dengan pengikut jutaan di media sosial, influencer mampu untuk mempengaruhi pengikut mereka yang akan menganggap tindak tanduk idola mereka di media sosial adalah hal yang kredibel, dan baik untuk ditiru seperti layaknya pola pengasuhan yang disarankan ahli.
ADVERTISEMENT
Salah satu tujuan microcelebrity memberikan ruang yang begitu besar untuk membagikan privasi anak mereka adalah karena si anak akan mewarisi channel serta pengikut orang tua mereka nantinya. Fenomena selebriti anak dari orang tua yang juga influencer atau microcelebrity telah dijelaskan oleh Abidin (2015) dalam risetnya dengan istilah micro-microcelebrity. Sayangnya, fenomena semacam ini dinormalisasi di era digital saat ini.
Bukan hanya peran akademisi media sosial dan ahli kajian anak saja yang perlu terlibat untuk menjernihkan fenomena semacam ini, keterlibatan ahli kesehatan, hingga ahli hukum dianggap perlu terlibat untuk menyelidiki fenomena yang dikhawatirkan memperparah praktik “pekerja anak usia dini”, jika orang tua memanfaatkan anak mereka untuk tujuan komersial atau praktik semacamnya melalui platform media sosial, seperti yang telah banyak menjadi sorotan pada produksi sinetron kejar tayang.
ADVERTISEMENT