Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Neil Gaiman, Raisa Andriana, dan Budaya Membaca
10 Februari 2023 14:25 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ahsani Taqwim A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tadinya tulisan ini saya beri judul: Harta, Takhta, Raisa , Membaca. Tapi khawatirnya seperti menyepelekan Neil Gaiman sebagai orang yang telah memberikan cara berpikir baru untuk saya tentang membaca dan perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Untuk orang tua dengan anak usia 0-7 tahun di era media sosial ini menjadi tantangan tersendiri. Bukan hanya tantangan pada anak yang jadi gandrung dengan gadget, tapi juga pada orang tua yang tiap hari diberikan informasi cara mengasuh anak yang yang tentu mampu untuk dipraktikkan.
Bahkan yang dipraktikkan masih jauh dari pola-pola mengasuh yang selalu ditampilkan para pembuat konten di media sosial tentang cara merawat anak.
Raisa tanpa video berdurasi panjang di TikTok atau Instagram Reels, tanpa voice over yang diatur bicara cepat dan bernada menggurui, berhasil memberikan pandangan baru tentang cara menjadi orang tua (versi Raisa) walau tidak serta merta membuat, ya merasa mampu melakukannya.
Saat ini, ketika perangkat ponsel pintar semakin mudah dimiliki dan diakses, hampir kehidupan manusia didampingi oleh perangkat ini dengan menyuguhkan segala kelebihan sekaligus kekurangan yang dimilikinya. Tak terkecuali mendampingi orang tua yang sedang mendampingi anaknya bermain.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, bahkan ponsel pintar menjadi pendamping anak ketika orang tua juga sedang asyik bermain ponsel pintar masing-masing. Dan itu yang saya sedang alami.
Tak sedikit pakar anak menyarankan untuk mengurangi penggunaan ponsel pintar bagi anak karena segudang alasan terkait risiko dan efek buruk yang dihasilkan, baik secara langsung maupun efek kemudian hari. Seperti biasanya dan pada umumnya, buku kerap dijadikan lawan atau menjadi alternatif dan diharap bisa menjadi pengalihan anak agar tidak bermain perangkat ponsel pintar tadi.
Sejak dulu, apalagi saat ini, ketika internet dan perangkatnya menjadi hal yang mudah untuk diakses dan mudah dimiliki, membaca menjadi hal yang mahal. Kecintaan terhadap membaca (buku) menjadi hal yang mahal. Buku seakan hanya milik mereka yang mampu menginvestasikan uang untuk membeli, waktu dan lingkungan untuk membaca, tempat untuk menyimpan dan menjaga.
ADVERTISEMENT
Membaca seakan menjadi kebiasaan orang mampu saja, berduit dan berwawasan saja. Pikiran ini semakin saya yakini ketika beberapa waktu lalu istri saya menunjukkan foto Raisa yang sedang pose di antara buku-buku anaknya yang tersusun rapi di lantai.
Anggapan itu kemudian disadarkan ketika saya membaca tulisan Neil Gaiman yang menanyakan tentang masa depan kita yang akan bergantung pada perpustakaan, membaca dan melamun. Apa yang dilakukan oleh Raisa seharusnya juga bisa dirasakan oleh masyarakat yang belum tentu memiliki kemampuan finansial dan ketenaran seperti Raisa.
Harusnya, kemewahan yang dipamerkan oleh Raisa di media sosial bisa dilakukan oleh kita semua jika di lingkungan kita ada perpustakaan yang baik. Ya walaupun anak sangat aneh jika ada pengunjung perpustakaan tiba-tiba menyusun buku-buku di lantai untuk berfoto dan diunggah di instagram, karena bukan itu poinnya.
Membangun kecintaan membaca (setidaknya pada anak-anak) adalah dengan memastikan bahwa di sekitar mereka ada buku yang membuat mereka tertarik untuk membacanya. Walaupun Neil Gaiman lebih luas mengatakan “buku apapun”.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, cara terbaik untuk menghancurkan kecintaan anak pada membaca, tentu saja, adalah memastikan tidak ada buku apapun di sekitar mereka. Serta tak menyediakan mereka tempat untuk bisa membaca buku.
Perpustakaan semestinya hadir untuk memastikan hal tersebut tidak terjadi. Perpustakaan dalam pandangan Neil Gaiman bukan hanya rungan atau bangunan yang dipenuhi dengan rak-rak berisi buku-buku tersusun rapi.
Kehadiran seorang pustakawan yang merelakan buku-buku di rak perpustakaan didekati dan didalami oleh anak-anak dengan cara mereka walau tanpa pendampingan adalah hal yang tidak kalah penting. Bukan melarang anak-anak memagang buku karena takut rusak.
Orang tua memiliki potensi untuk berperan sebagai pustakawan yang sebutkan Neil Gaiman. Belajar dari Raisa, ia menjadikan buku-buku anaknya sebagai acuan jumlah waktu yang telah dihabiskan bersama anaknya.
ADVERTISEMENT
Dalam caption Instagramnya, Raisa merefleksikan buku-buku yang dimiliki oleh anaknya menjadi acuan seberapa banyak waktu yang dihabiskan dengan anak , khususnya dalam membaca. Semakin banyak buku yang dimiliki anak, semakin banyak pula waktu yang telah dihabiskan bersama, sebab buku-buku tersebut dibacakan langsung olehnya. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali untuk satu buku tulisnya.
Membaca Neil Gaiman tentang menyediakan buku apapun di sekitar anak, dan melihat Raisa berpose di tengah susunan rapi buku-buku anaknya membuat saya mencoba juga untuk sedikit mengingat bagaimana saya tumbuh dengan buku. Walaupun kami hidup di daerah yang sangat jauh dari jangkauan Gramedia, Gunung Agung atau toko-toko buku lainnya, juga karena ekonomi kami pas-pasan membuat kami jarang membeli buku.
ADVERTISEMENT
Tapi saya diuntungkan dengan kedua orang tua yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar, yang setiap hari bisa membawakan buku kiriman Pemda untuk dibaca di rumah yang besok atau lusa dikembalikan lagi ke kantor setelah selesai dibaca atau sudah bosan dengan isinya.
Tumbuh dengan orang tua seorang guru membuat saya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membaca buku apapun dirumah dibanding kawan-kawan saya yang lain. Meja kami tamu kami tidak pernah sepi dengan tumpukan buku. Dibaca atau tidak, biarkan saja di situ.
Buku apapun, buku ensiklopedia Islam, buku perjuangan melawan Belanda, penumpasan PKI, buku atau komik perjuangan Jendral Soeharto, buku bercocok tanam, cara budidaya lele, majalah, hingga komik jepang selalu diparkir di atas meja tamu di antara undangan-undangan pernikahan yang selalu datang setiap minggu.
ADVERTISEMENT
Saya ingat sesekali saya membaca Majalah Sabili–untuk penjelasan sebaiknya di-Googling karena minimnya pengetahuan saya untuk menjelaskan majalah ini–yang membahas konflik Poso beberapa tahun setelah konflik berdarah itu terjadi.
Saya baca dengan penuh penasaran sembari membayangkan beberapa adegan yang sangat mengerikan di kepala saya berdasarkan tulisan yang saya baca. Seingat saya, saya tak pernah mendapat larangan membaca apapun buku-buku dirumah. Bahkan saya membaca di sebelah Papa saya yang juga membaca ensiklopedia Al-Qur'an tentang keajaiban lebah.
Setelah membaca Neil Gaiman, saya baru sadar, Papa saya adalah pustakawan pertama yang saya temui. Tak hanya menyediakan bahan bacaan apapun, yang bisa disediakan olehnya, bacaan yang telah selesai saya baca kemudian kami diskusikan, termasuk kisah-kisah yang bagi saya kala itu sangat menyeramkan untuk dibaca anak usia Sekolah Dasar terkait konflik Poso.
ADVERTISEMENT
Semacam telah menamatkan satu episode komik perang, saya menceritakan kisah-kisah yang saya baca dalam majalah Sabili kepada papa saya. Belau kemudian menjawab, “itu kan ceritanya, belum tentu terjadi beneran. Bisa saja dikarang oleh penulis atau orang yang diwawancara, dilebih-lebihkan agar menarik dibaca, atau juga untuk memancing orang-orang yang juga Islam agar marah. Jadi jangan langsung dipercaya”.
Saat itu ilmu dan pola pikir baru saya dapatkan, yang belasan tahun kemudian saya pelajari dan lebih memahami tentang kajian framing media dan agenda setting.
Jika langkah awal adalah menyediakan buku apapun di sekitar anak, yang diharapkan nanti akan memudahkan akses buku kepada mereka seperti pendapat Neil Gaiman. Juga membacakan buku kepada anak merupakan investasi waktu, kedekatan orang tua dan anak seperti yang dilakukan oleh Raisa.
ADVERTISEMENT
Setelah itu adalah–jika sudah saatnya–praktik mendiskusikan isi-isi buku yang telah dibaca antara anak dan orang tua menurut saya adalah langkah selanjutnya.