Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengungkap Jejak Awal Terbentuknya Kelurahan Nongkosawit
21 Oktober 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Aisyah Zahrani Putri Tommy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kelurahan Nongkosawit merupakan sebuah wilayah administratif terkecil yang tepatnya terletak di dataran tinggi Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah. Wilayah ini dikenal dengan alamnya yang asri dan masih alami, tak jarang juga wilayah Nongkosawit dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata yang populer di kalangan wisatawan lokal maupun luar daerah.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan zaman, Nongkosawit kini telah berkembang dari yang awalnya desa menjadi kelurahan dan tetap mempertahankan warisan budaya serta tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu. Namun, asal-usul terbentuknya Nongkosawit sudah jarang dibicarakan oleh masyarakat setempat. Asal-usul terbentuknya kelurahan Nongkosawit juga menyimpan berbagai versi cerita sejarah yang menarik untuk diungkap. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi beberapa versi sejarah terkait asal-usul Nongkosawit yang diceritakan oleh para tokoh setempat, serta melihat perkembangan kelurahan ini dari perspektif pemerintahan, adat istiadat, dan potensi wisata yang kini ada.
ADVERTISEMENT
Salah satu versi sejarah yang sudah banyak diketahui oleh warga sekitar berasal dari penuturan Pak Suwarsono atau yang akrab dipanggil Pak Warsono, selaku ketua POKDARWIS Kandanggunung Desa Wisata Nongkosawit (Kelompok Sadar Wisata), mantan Ketua RT selama 12 tahun, dan Ketua RW selama 14 tahun. Tentunya pak Warsono sudah tahu betul bagaimana proses terbentuknya Kelurahan Nongkosawit. Menurutnya, asal-usul Nongkosawit erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam pada masa Kesultanan Demak dan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15.
Pada masa itu, seorang ulama bernama Mbah Wali Hasan Munadi, yang merupakan salah satu dari murid dari para Walisongo. Mbah Wali Hasan Munadi merupakan salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa Tengah, dan ia tak jarang mendapatkan mandat atau amanah untuk menyebarkan ajaran Islam ke berbagai daerah yang masih dikuasai oleh penganut agama Hindu dan Buddha. Lalu, pada suatu ketika beliau diperintahkan untuk meng-”islam”-kan masyarakat beragama Hindu yang ada di lereng Gunung Ungaran sebelah utara. Maka dari itu, banyak nama-nama desa yang ada di lereng gunung Ungaran yang diberi nama oleh Mbah Wali Hasan Munadi karena beliau berdakwah di daerah tersebut, contohnya daerah “Dukuh Keji, kata “keji” bukan berarti kejam, tetapi didasarkan pada sejarahnya saat terjadi pertempuran yang menyisakan santri-santri Mbah Wali Hasan Munadi yang bersisa 51 orang. Kembali ke cerita, Mbah Wali Hasan Munadi bersama para santrinya memulai untuk bersosialisasi, syi’ar, dan dakwah ke banyak wilayah di lereng-lereng gunung Ungaran untuk menyebarkan ajaran Islam. Tetapi, hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena pada zaman itu masih banyak pertentangan dari masyarakat beragama Hindu. Salah satunya adalah tokoh agama hindu paling terkenal di zamannya yang bernama Ki Hajar Buntit yang merupakan tokoh terhormat agama Hindu, ia dan warga setempat menolak kedatangan dan niat Mbah Wali Hasan Munadi untuk menyebarkan ajaran Islam dan menimbulkan pertarungan. Pertarungan ini disebabkan oleh perbedaan keyakinan, karena Ki Hajar Buntit masih sangat mempertahankan ajaran Hindu dan sebaliknya Mbah Wali Hasan Munadi yang ingin menyebarkan ajaran Islam. Cerita dimulai pada saat Mbah Wali Hasan Munadi mengejar gerombolan cantrik atau pengikut Ki Hajar Buntit di sekitar Desa Branjangan. Saat Ki Hajar Buntit serta para cantriknya kalah dalam pertarungan, para cantrik bersembunyi di suatu pohon nangka yang sangat besar dan hanya bertumbuh satu pohon. Dan pada saat tertangkap, Mbah Wali Hasan Munadi berkata, “Hey, para santri lan para warga. Mbesok nak menowo ana rejaning jaman, daerah iki tak jenengi Dukuh Nongkosawit.”, “dukuh” artinya desa, dan “Nongkosawit” berasal dari kata nongko sak wit yang artinya satu pohon nangka.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, satu pohon nangka yang sangat besar itu ditebang untuk pembangunan masjid yang diberi nama Masjid Soko Wali Hasan Munadi yang sekarang berlokasi di RW01/RT01 Nongkosawit, Gunungpati, Semarang.
Dengan adanya pembangunan masjid ini diharapkan penyebaran ajaran Islam akan lebih mudah, tetapi tetap saja masih ada pertentangan masyarakat hindu yang kurang menerima ajaran Islam. Setelah masjid selesai dibangun, dibuat juga beduk untuk alat komunikasi penanda adzan atau waktu sholat yang telah tiba. Beduk tersebut dibuat dari kayu sidaguri, kayu sidaguri merupakan kayu yang berasal dari rumput di pinggir jalan yang ukurannya sangat kecil, tetapi karena konon katanya Mbah Wali Hasan Munadi memiliki kesaktian, kayu Sidaguri yang awalnya mempunyai ukuran yang sangat kecil dapat diubah menjadi kayu yang berukuran besar.
Pada saat beduk telah dibuat dan digunakan menjadi alat penanda waktu shalat di daerah Nongkosawit, tidak ada satu pun warga yang merespons suara beduk tersebut. Suara beduk tersebut seakan tidak terdengar oleh mereka, hal ini dikarenakan warga-warga di sana masih sulit untuk menerima ajakan shalat. Lalu, Mbah Wali Hasan Munadi beserta santrinya memutuskan untuk berpindah sedikit ke timur, berjalanlah Wali Hasan Munadi bersama santrinya menuju ke timur. Diletakkanlah beduk tersebut di pohon randu atau pohon kapuk, dan saat dikumandangkan beduk tersebut dapat berbunyi keras dan membuat para warga mendatangi beduk, yang artinya warga di daerah tersebut dapat menerima ajaran Islam. Lalu mbah Wali Hasan Munadi berkata, “Hey, para santri lan para warga sing ngumpul ing kene, iki bareng bedug tak centelke ing wit randu kok rame, menowo besok nak ana rejaning jaman daerah kene tak jenengi Dukuh Randusari.” Jadi, daerah kelurahan Randusari lebih dulu dapat menerima ajaran Islam daripada kelurahan Nongkosawit. Sejarah terbentuknya kelurahan Nongkosawit sangat berpengaruh terhadap terbentuknya kelurahan-kelurahan lain yang ada di sekitarnya yaitu Kelurahan Randusari.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan cerita Pak Yono, selaku tetua yang ada di kampung Nongkosawit. Dulunya, Desa Nongkosawit terbentuk karena Bambang Kertonadi, seorang pemimpin di Kerajaan Demak pada tahun 1500-an. Pada zaman kerajaan, banyak tokoh-tokoh penting di kerajaan yang menggunakan nama samaran untuk bersembunyi dan melindungi diri dari musuh atau pihak kerajaan lain yang ingin menjatuhkan atau mengancam. Bambang Kertonadi merupakan nama asli dari nama Mbah Wali Hasan Munadi. Nama Hasan Munadi memiliki arti pengumandang azan yang merdu, karena pada saat Sunan Ampel berkunjung ke Demak, ia mendengar suara azan yang begitu merdu. Bambang Kertonadi merupakan pangeran keturunan Prabu Brawijaya V (raja di Kerajaan Majapahit) dengan ibu selir ke-8 yang berasal dari Ponorogo. Walaupun Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang berlatarbelakang agama Hindu di pemerintahan Prabu Brawijaya V, pada saat itu agama islam sudah mulai masuk ke dalam kehidupan masyarakat Majapahit. Maka dari itu, pada saat Bambang Kertonadi naik tahta sebagai raja, ia memutuskan untuk mendirikan Kerajaan Demak yang berlatarbelakang agama Islam.
Pada suatu ketika, Bambang Kertonadi mendapatkan amanat untuk menyebarkan agama Islam di daerah Ungaran, namun pada saat perjalanan menuju ke sana, ia dan pasukan kerajaannya bertemu dengan Ki Ajar Bontit, yang juga beragama Islam. Berharap bisa bekerja sama untuk menyebarkan agama Islam, keduanya malah bertentangan karena perbedaan ajaran agama Islam yang dimiliki. Mereka bertarung demi kepercayaan masing-masing. Saat pertarungan berlangsung, Ki Ajar Bontit serta pengikutnya kalah, Ki Ajar Bontit pun mengasingkan dirinya ke daerah Ngumpul, Kabupaten Kendal. Dan melakukan moksa atau berlindung di suatu gua. Sedangkan, para pengikut Ki Ajar Bontit memutuskan untuk bersembunyi di daerah yang sekarang diberi nama Nongkosawit. Karena para pengikutnya tidak memiliki pemimpin yang bisa mengarahkan ke jalan yang benar, mereka pun menjadi perompak dan membuat kericuhan yang mengganggu warga setempat.
ADVERTISEMENT
Kericuhan ini terdengar sampai ke telinga Bambang Kertonadi, ia pun memutuskan untuk bergegas ke daerah tersebut dengan maksud menyelesaikan masalah agar para warga tidak lagi resah. Saat perjalanan, Bambang Kertonadi menemukan satu pohon nangka besar yang ternyata merupakan markas para pengikut Ki Ajar Bontit. Maka dari itu daerah tersebut dinamakan Desa Nongkosawit dari kata “nongko sak wit” yang artinya sebatang pohon nangka. Pengejaran para perompak berlanjut sampai ke daerah Pongangan (dikepung lan konangan) karena pada saat itu mereka diketahui dan terkepung oleh santri-santri Bambang Kertonadi, tak hanya sampai situ, para penjahat tetap berusaha kabur melewati Desa Gondang dan berakhir serta ditangkap oleh Bambang Kertonadi di daerah Kedung.
ADVERTISEMENT
Kelurahan Nongkosawit secara administratif terbentuk setelah pemekaran wilayah pada tahun 1976, ketika wilayah Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen, Kecamatan Tugu, Kecamatan Genuk, termasuk Kelurahan Nongkosawit, yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Semarang, mulai diresmikan dan dimasukkan ke dalam bagian dari Kota Semarang. Pemekaran tersebut mengubah status wilayah yang semula berstatus desa menjadi kelurahan. Perbedaan signifikan antara desa dan kelurahan terletak pada pengelolaan administrasi dan sumber penghasilan bagi perangkatnya. Di desa, kepala desa dan perangkat desa dipilih langsung oleh masyarakat setempat dan mendapatkan upah berupa tanah bengkok, yang menjadi aset mereka. Sebaliknya, kelurahan dikelola oleh perangkat yang ditempatkan oleh wali kota, di mana mereka merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang digaji oleh negara, sementara tanah bengkok menjadi aset pemerintah kota.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, Kelurahan Nongkosawit bukan hanya sekadar wilayah administratif, tetapi juga cerminan dari perjalanan sejarah dan budaya yang panjang. Kisah-kisah mengenai asal-usulnya, seperti yang disampaikan oleh Pak Suwarsono dan Pak Yono, menggambarkan bagaimana penyebaran agama Islam, pertarungan keyakinan, hingga dinamika sosial membentuk identitas wilayah ini. Pemekaran pada tahun 1976 yang mengubah statusnya dari desa menjadi kelurahan menandai perubahan administratif yang signifikan, namun semangat masyarakat dalam menjaga tradisi dan warisan leluhur tetap terjaga hingga kini. Nongkosawit, dengan segala keunikannya, terus berkembang menjadi bagian penting dari Kota Semarang, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang membuatnya istimewa.