Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Rukhshah Puasa Ramadhan Bagi Ibu Hamil dan Menyusui
8 Oktober 2024 12:27 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari 'Aisyiyah Tabligh dan Ketarjihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masa kehamilan dan menyusui anak merupakan peristiwa yang sangat membahagiakan bagi seorang Ibu, sehingga si Ibu akan akan berusaha menjaga agar kehamilan dan menyusui kelak dapat berjalan lancar. Meskipun demikian, sebenarnya ketika perempuan mengalami kehamilan ia akan mengalami kondisi semakin berat, payah, mudah lelah, dan mood juga tidak stabil karena adanya perubahan hormon. Di samping itu, ibu dan janin juga memerlukan asupan nutrisi yang tercukupi, yang didapatkan saat ibu mengkonsumsi makanan. Dalam kondisi seperti ini, Islam memberikan keringanan kepada perempuan yang sedang hamil untuk menjalankan ibadah-ibadah tertentu yang memerlukan kekuatan fisik.
Ibu hamil akan mengalami perubahan fisik dan kesehatannya. Tiga bulan pertama ibu akan merasa mual, lebih sensitif terhadap rasa sehingga mudah muntah, dan cepat lelah. Semakin tua umur kehamilan maka ibu akan semakin cepat lelah, gerakan semakin lamban, dan merasakan nyeri pinggang. Di samping itu, ibu hamil khususnya juga akan mengalami perubahan psikis karena pengaruh perubahan hormon estrogen dan progesteron meskipun tidak selamanya akan memberi dampak pada kondisi psikis. Perubahan psikis ini akan mempengaruhi suasana hati, penerimaan, dan sikap. Ibu hamil kadangkala mengalami perubahan emosional seperti, depresi dan khawatir tentang penampilannya dan kesehatan bayinya, cemas, takut menjelang persalinan, dan khawatir tidak dapat menjalankan perannya sebagai Ibu. Perasaan Ibu hamil akan lebih sensitif sehingga perlu dimengerti oleh keluarga khususnya suami. Oleh sebab itu, Islam memberikan kemudahan pada Ibu hamil dalam menjalankan ibadahnya, termasuk dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Lantas bagaimana rukhshah (keringanan) puasa Ramadhan bagi Ibu hamil dan menyusui?
ADVERTISEMENT
Sejatinya, setiap mukmin wajib melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Meskipun demikian, terdapat kondisi tertentu yang dialami oleh seseorang yang mengakibatkan ia berat, kesulitan, atau uzur untuk melaksanakan puasa Ramadhan dengan sempurna, bahkan bisa jadi menambah berat kondisinya jika ia memaksakan puasa.
Surah Al-Baqarah ayat 184 menyatakan:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
ADVERTISEMENT
"(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Orang yang sedang melakukan perjalanan (safar) atau sakit, ia boleh tidak berpuasa yang kemudian ia wajib menggantinya (mengqodho) di hari lain. Akan tetapi bagaimana jika seseorang mengalami kondisi tertentu sehingga dirasa berat untuk menjalankan puasa di antaranya adalah perempuan yang sedang hamil dan menyusui?
Al-Qur’an Surah Lukman [31] ayat 14 telah mengisyaratkan bahwa perempuan hamil itu sebenarnya dalam kondisi rentan/lemah.
ADVERTISEMENT
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ
"Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali."
Demikian pula, Al-Qur’an Surah al-Ahqaf [46] ayat 15 menjelaskan hal yang sama.
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ
"Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan."
ADVERTISEMENT
Terkait dengan puasa Ramadan, perempuan yang hamil dan menyusui diperbolehkan tetap berpuasa sepanjang ia kuat, tidak membahayakan kehamilannya dan anak yang disusui, serta atas pertimbangan ahli/dokter. Dalam hal ini tidak ada paksaan untuk sempurna, apalagi harus satu bulan penuh, tentu hal ini akan memberatkan. Sebab kondisi setiap perempuan hamil berbeda. Menurut catatan kesehatan, perempuan yang tengah hamil misalnya, memerlukan kurang lebih 2.000 kalori setiap hari dan memerlukan banyak air agar tetap terhidrasi. Selain itu, perlu protein agar mengurangi ancaman anemia.
Kemudian timbul pertanyaan dari sebagian kalangan, jika perempuan hamil termasuk kemudian ia menyusui tidak berpuasa Ramadan, apakah ia wajib qodla puasa, hanya membayar fidyah saja, atau bahkan dua-duanya?
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang qadla dan fidyah bagi perempuan hamil dan menyusui yang tidak berpuasa Ramadan. Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama dalam masalah qadla dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui memiliki empat pendapat yang secara garis besar sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Pendapat pertama, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Said bin Jubair berpendapat bahwa boleh keduanya tidak berpuasa dan ada kewajiban fidyah, tetapi tidak ada qadla untuk keduanya.
Pendapat kedua, Atho bin Abi Rabbah, Al-Hasan, Adh-Dhohak, An-Nakho’i, Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Awza’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, dan ulama Zhahiri berpendapat bahwa keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi harus mengqadla tanpa membayar fidyah. Keadaan keduanya disamakan dengan orang sakit.
Pendapat ketiga, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa keduanya boleh tidak berpuasa, namun wajib mengqadla dan sekaligus membayar fidyah.
Pendapat keempat, Imam Malik berpendapat bahwa perempuan hamil boleh tidak berpuasa dan harus mengqadla tanpa membayar fidyah. Namun, untuk perempuan menyusui, ia boleh tidak berpuasa namun harus mengqadla sekaligus membayar fidyah.
ADVERTISEMENT
Adapun pandangan Muhammadiyah yang terdapat pada Fatwa maupun Keputusan Tarjih berpandangan bahwa salah satu prinsip syariat Islam itu adalah menghilangkan kesulitan, tidak memberatkan, atau membebani. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 185 dan Surah Al-Hajj (22) ayat 78:
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran." [QS. Al-Baqarah (2): 185]
هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ ۔
"Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama." [QS. Al-Hajj (22): 78]
Yang dimaksud dengan kata al-ladzina yuthi-qu-nahu dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 184 adalah orang-orang yang mampu mengerjakan puasa tetapi dengan susah payah atau sangat berat. Perempuan hamil dan menyusui disertai bernifas pasca persalinan berada pada kondisi berat jika dipaksa untuk berpuasa, karena boleh jadi akan membahayakan diri dan anak yang disusuinya. Oleh karena itu, keduanya boleh meninggalkan puasa. Hadis riwayat Imam Lima dari Anas bin Malik menyatakan:
ADVERTISEMENT
عن أنس بن مالك الكعبي أن رسولَ اللهِ ﷺ قال: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحَامِلِ والْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
Dari Anas bin Malik al-Ka’bi bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sungguh Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separuh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa dari orang yang hamil dan menyusui”. (HR. Lima Ahli Hadis)
Keduanya kemudian termasuk golongan yang mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa, dan jika keduanya meninggalkan puasa cukup menggantinya dengan membayar fidyah dengan memberikan makanan setiap hari kepada seorang miskin sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas ra.,
وكان ابنُ عباسٍ يقولُ لأمِّ ولَدٍ له حُبْلى: أنتِ ِبِمنزِلَةِ التي لا تُطيقُهُ، فعليكِ الفداءُ ولا قضاءَ عليْكِ
ADVERTISEMENT
[رواه البزار وصححه الدارقطنى]
Ibnu Abbas berkata kepada jariyahnya yang hamil, “Engkau termasuk orang keberatan berpuasa, maka engkau hanya wajib berfidyah dan tidak usah mengganti puasa”. (HR. Al-Bazar dishahihkan al-Daraquthni)
Hadis Nabi Muhammad saw. yang lain menyatakan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أنَّهُ قَالَ أُثْبِتَ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ أَنْ يُفْطِرَا وَ يُطْعِمَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا
[رواه أبو داود]
(Diriwayatkan) dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, "Ditetapkan bagi wanita yang mengandung dan menyusui berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya.” (HR. Abu Dawud)
Fidyah boleh dibayarkan secara sekaligus sejak hari tidak berpuasa di bulan Ramadan atau setelah selesai seluruh bulan Ramadan karena lebih memudahkan. Fidyah tidak dapat dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadan karena posisinya sebagai pengganti puasa. Fidyah dapat diwujudkan berupa makanan siap saji (nasi kotak, lauk pauk) dan bahan pangan (beras, gandum, sagu, dan lain-lain) sebesar satu mud (0,6 kg makanan pokok), diberikan kepada satu orang miskin sehari satu atau sekaligus 30 orang miskin dalam satu hari. Keterangan ini dipahami dari makna umum (‘am) kata tha’am (makanan) yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al Baqarah (2) ayat 184:
ADVERTISEMENT
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ
"Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin."
Selain itu, fidyah juga dapat diwujudkan berupa uang tunai senilai makanan atau bahan pangan yang diberikan kepada orang miskin, meskipun terdapat perbedaan di antara para ulama. Lembaga Fatwa Arab Saudi tidak memperkenankan fidyah dengan uang tunai, sementara itu, Lembaga Fatwa al-Azhar dan Komisi Fatwa Kuwait membolehkan fidyah uang tunai sebagai pengganti makanan siap santap dan bahan pangan. Terkait dengan ini, Fatwa Tarjih membolehkan fidyah dengan uang tunai dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspek likuid dan lebih luwes penggunaannya sehingga lebih leluasa dimanfaatkan oleh penerima fidyah.
Meskipun demikian dikarenakan kondisi ekonomi, apabila membayar fidyah tersebut memberatkan bagi perempuan hamil atau menyusui karena harus mengeluarkan biaya, sementara keduanya termasuk golongan orang yang kurang mampu, maka mereka tidak wajib membayar fidyah dan dapat mengganti puasanya dengan berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadan sesuai jumlah hari yang ditinggalkannya sepanjang tidak menimbulkan kemudaratan baginya dan anak yang disusuinya serta atas pertimbangan ahli/dokter. Tetapi apabila itupun masih terasa berat untuk dilakukan, maka agama membebaskannya dari taklif (beban) sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 286 dan Surah Ath-Thalaq (65) ayat 7:
ADVERTISEMENT
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ
"Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya….." [QS. Al-Baqarah (2): 286]
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ
"…. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya…." [QS. Ath-Thalaq (65): 7]
Itulah pembahasan seputar rukhshah puasa Ramadhan bagi Ibu hamil dan menyusui, semoga bermanfaat.
(A.Pram)
Sumber:
https://muhammadiyah.or.id/ibu-hamil-dan-menyusui-tidak-puasa-wajib-fidyah-atau-qadha/
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. 2022. Tafsir at-Tanwir Jilid 2. Suara Muhammadiyah