Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pengaruh Self Esteem dalam Toxic Relationship, Cinta atau Buta?
12 Desember 2023 12:53 WIB
Tulisan dari Aisyah Zahrah Rahmania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Toxic relationship bukan lagi menjadi hal yang tabu di masyarakat, bahkan sebagian besar masyarakat di Indonesia mengalami toxic relationship. Banyak dari mereka ‘terjebak’ secara tidak sadar dalam hubungan beracun yang mengatas namakan cinta, dan kesulitan untuk keluar dari hubungan beracun tersebut. Lalu, mengapa mereka dapat terjebak dalam hubungan beracun itu? benarkah cinta yang mereka rasakan? atau justru kesengsaraan dan kebutaan yang mereka dapatkan?
Sesuai dengan namanya yakni ‘toxic’ yang berarti racun, dan ‘relationship’ yang berarti hubungan, toxic relationship merupakan suatu hubungan tidak sehat dan beracun yang menyengsarakan orang di dalamnya, yang mana pada hubungan ini melibatkan gangguan emosi seseorang yang dapat menimbulkan konflik serta merusak kondisi fisik, serta psikis orang lain. Toxic relationship dapat dirasakan oleh siapa saja, namun hubungan ini di dominasi oleh para remaja atau dewasa yang berpacaran. Perlu diketahui bahwa toxic relationship tidak terjadi secara begitu saja, namun juga dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya ialah ‘self esteem’ yang menjadi faktor utama seseorang dapat terjebak dalam toxic relationship, lantas apa itu self esteem? Dan bagaimana ia dapat mempengaruhi terjadinya hubungan beracun tersebut?
ADVERTISEMENT
Self esteem atau yang biasa kita kenal dengan sebutan ‘harga diri’ ialah faktor terpenting yang dapat mempengaruhi tingkat kualitas hubungan seseorang. Tingkat self esteem yang tinggi sangat dibutuhkan dalam diri kita, apabila kita memiliki tingkat self esteem yang rendah dapat memungkingkan kita untuk mengulangi pola yang sama dalam suatu kondisi yang merugikan. Bertahan dalam toxic relationship disebabkan oleh rendahnya self esteem, di mana semakin tinggi self esteem dalam diri kita, semakin rendah pula toxic relationship yang dialami. Sebaliknya, semakin rendah self esteem dalam diri kita, semakin tinggi pula toxic relationship yang dialami. Timbulnya rasa tidak layak, tidak percaya diri, merupakan perilaku dari rendahnya self esteem dalam diri. Maka dari itu, kerap kali kita merasa sulit untuk keluar dari ‘hubungan beracun’ tersebut yang disebabkan oleh self esteem pada diri kita yang rendah, sehingga merasa pantas untuk mendapatkan perlakuan tidak layak dari pasangan kita.
Toxic relationship merupakan pengalaman tak mengenakkan yang tentu memberikan ‘pengaruh’ bagi tiap korban yang mengalaminya, tak hanya mempengaruhi kesehatan fisik, namun juga mempengaruhi kondisi mental serta sosial korban. Korban dari toxic relationship kerap mendapatkan ‘kekerasan fisik’ dari pelaku yang membuat korban mengalami trauma akibat perasaan takut, sedih, dan kecewa selama ia berada dalam ‘hubungan beracun’ tersebut, yang bahkan korban dapat terdiagnosa gangguan mental lebih lanjut seperti PTSD yakni gejala trauma pasca stress. Kondisi mental korban yang telah terganggu dapat mempengaruhi bagaimana korban dengan hubungan sosialnya, korban cenderung kurang percaya diri ketika berinteraksi, dan merasa takut akan pengabaian serta pengkhianatan. Toxic relationship memberikan dampak yang cukup ‘serius’ bagi korban, lantas apa motif pelaku melakukan hal tersebut?
ADVERTISEMENT
Toxic relationship timbul akibat self esteem yang rendah yakni rasa cemburu serta rasa takut yang berlebihan, sehingga timbul rasa ingin mendapatkan hak untuk mengontrol pasangannya yang dapat memuaskan ‘ego’ pelaku.
Korban toxic relationship melalui beberapa tahapan sehingga ia terperangkap ke dalam ‘hubungan beracun’ tersebut, yakni :
1. Love Bombing, pada fase ini terjadi di mana korban merasa kagum dengan pasangannya, hal ini dikarenakan pada tahap awal berjalannya hubungan, umumnya pasangan belum menampilkan ‘sifat’ aslinya kepada satu sama lain.
2. Tekanan, pada fase ini pelaku selalu menuntut korban, di mana keinginan dari pelaku harus selalu dikabulkan, apabila tidak dikabulkan maka pelaku akan marah pada korban.
3. Kekerasan, pada fase ini terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban baik kekerasan fisik ataupun verbal yang dapat mengganggu psikis korban.
ADVERTISEMENT
4. Rekonsialisasi, pada fase ini pelaku akan meminta maaf pada korban, memohon – mohon pada korban, atau bahkan melukai diri nya sendiri di hadapan korban agar dapat dikasihani sehingga pelaku dimaafkan oleh korban.
5. Hubungan Baik, pada fase ini pelaku akan bertindak sangat baik pada korban, di mana pelaku akan memberikan perlakuan ‘special’ pada korban, dan pada tahap ini fase love bombing akan terulang kembali.
Korban dari toxic relationship bertahan karena ia memiliki self esteem yang rendah, sehingga korban akan merasa takut apabila harus melepas pasangannya. Selain itu, perasaan cinta dan rasa percaya yang berlebihan pada pasangan juga menjadi alasan bagi para korban untuk tetap ‘bertahan’ pada hubungan yang beracun ini.
ADVERTISEMENT
Tak mudah untuk lepas dari toxic relationship, maka dari itu perlu pencegahan agar tidak terperangkap dalam hubungan beracun ini. Kurangnya edukasi terkait ‘toxic relationship’ menjadi salah satu alasan mengapa masih banyak remaja, ataupun orang dewasa yang terjebak dalam situasi tersebut, untuk mencegah terjadinya ‘hubungan beracun’ tersebut, maka perlu menambah wawasan terkait ‘toxic relationship’ agar kita tak selalu dibutakan oleh cinta, serta perlu meningkatkan ‘self esteem’ agar terhindar dari hubungan beracun, juga kenali komunikasi yang baik agar tak terjadi kesalahpahaman dengan pasangan juga demi mencegah terjadi nya kekerasan akibat komunikasi yang tidak berjalan dengan baik.
Toxic relationship bukan lagi menunjukkan ‘cinta’ melainkan ‘ego’ yang menciptakan ‘kebutaan’ akan cinta. Yuk, cegah terjadinya toxic relationship, dan tingkatkan self esteem diri mu!
ADVERTISEMENT