Konten dari Pengguna

GMNI Not For Sale

Aji Cahyono
Master of Arts (MA) - Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Awardee Research Megawati Fellowship
14 Oktober 2023 15:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendera Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Mencermati perkembangan informasi tentang politik di Indonesia, terkhusus menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024. Salah satu yang menggelitik dalam pikiran penulis adalah pemberitaan yang tersiar di portal berita online baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Adapun pemberitaan itu berupa video yang menayangkan conference press dari salah satu bakal calon presiden 2024 dengan orang yang mengatasnamakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)—atau yang penulisan dalam lambangnya GmnI—yakni Imanuel Cahyadi, dkk.
Pertemuan tersebut berlangsung di depan kediaman rumahnya, di Kartanegara, Jakarta Selatan pada Kamis (12/10) malam. Tentu dalam pertemuan tersebut, menjadi pertanyaan bagi penulis, yang pernah berproses di GmnI. Apa kepentingannya?
Misalnya, dalam konteks kelembagaan GmnI, apakah sudah dilangsungkannya melalui mekanisme musyawarah mufakat secara internal kelembagaan (baik itu rakernas, rakornas atau kongres) untuk menentukan arah politik, terutama calon presiden (capres) 2024?
Tentunya, jika hal tersebut tidak dilakukan dalam proses permusyawaratan, maka sangat berbahaya. Tak jauh beda dengan pemimpin "ditaktor".
ADVERTISEMENT
Meminjam pemikiran Jules Archer (penulis dari Amerika Serikat yang fokus pada peristiwa politik), buku yang berjudul The Dictactor: Who They Are and How They Have Influenced Our World, diktator merupakan seorang penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaannya tanpa memperhatikan keinginan keinginan nyata yang diinginkan oleh rakyat.
Sehingga yang dimaksudkan dalam term "rakyat" dianalogikan yakni anggota atau kader di GmnI. Jika tidak diinginkan oleh rakyat GmnI yang luas, maka bukan menjadi tradisi di GmnI.
Bahkan bisa juga berpotensi mendegradasi marwah GmnI sebagai organisasi mahasiswa intelektual, kritis, progresif-revolusioner, serta tradisi dialektis antar kader (baik secara formal, informal, maupun non-formal). Tak jauh beda dengan "Politik Dagang Sapi", hanya kepentingan pragmatis dan temporer semata.
ADVERTISEMENT
Di lain itu, ada pemberitaan dari Harian Merdeka, berjudul "Eksponen GMNI Sebut Langkah Imanuel Cs Lecehkan Marwah Organisasi", Muhammad Fais Hakim Rasyid—akrab sapaannya Bung Faiz, panggilan yang menjadi tradisi dalam organisasi GmnI, kader aktif—turut menyayangkan fenomena pertemuan yang dilakukan oleh Imanuel Cahyadi Cs (mengatasnamakan GmnI) dan bakal capres 2024 tersebut.
Menurutnya, langkah yang dilakukan oleh Imanuel Cs merendahkan marwah GMNI, secara kelembagaan sebagai organisasi yang bersifat independen. Dalam AD/ART diatur dalam kongres XXI di Ambon, 2019 bahwa GMNI merupakan organisasi independen, yang tidak terafilisasi oleh partai politik.
Bahkan, Bung Faiz mengecam terhadap tindakan yang dilakukan oleh Imanuel Cs, terkesan dinilai ugal-ugalan, serampangan, karena diduga telah mengorbankan GmnI secara kelembagaan maupun kader se-Indonesia hanya untuk keuntungan pribadinya.
ADVERTISEMENT
Sebagai organisasi yang bersifat independen, kader yang juga merupakan warga negara, mempunyai hak masing-masing untuk menentukan pilihan politiknya. Tindakan Imanuel Cs, menghebohkan ruang publik bagi keluarga GmnI. Yang dikhawatirkan adalah persepsi masyarakat publik menilai GmnI mendukung salah satu capres tersebut.

Cacat Narasi dan Abai Sejarah

Setiap negarawan yang mendiami di bumi pertiwi Indonesia, menjaga persatuan dan kesatuan adalah sebuah keharusan. Karena bagaimanapun, negara Indonesia dengan populasi penduduk keseluruhan per tahun 2021, mencapai 273,8 juta jiwa (negara dengan nomor 4 kepadatan penduduk di dunia).
Begitu pun dengan sosok capres terkait sebagai salah satu bakal kontestan politik 2024 nanti, penting merawat keberagaman. Jangan sampai polarisasi politik—seperti pada pilkada 2017 maupun pilpres 2019—terjadi.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya berpolitik yang memainkan identitas untuk menggebuk identitas lain. Saling menyerang di antara dua kubu (baik itu menggunakan istilah cebong maupun kampret). Hal senada juga menurut Imanuel, dalam keterangan pers, berharap Pilpres ini tidak muncul adanya polarisasi yang tajam.
Imanuel Cs mengapresiasi salah satu capres tersebut, yang fokus terhadap persatuan bangsa Indonesia. Ia percaya bahwa ketika rakyat bersatu, elite-elitenya pasti bersatu. Secara normatif merupakan hal yang wajar, jika pendekatan personal, dalam hal ini Imanuel menentukan pilihan politiknya, tanpa harus membawa lembaga tersebut, terkhusus GmnI.
Jika peristiwa tersebut ditafsirkan kelembagaan, dalam hal ini organisasi GmnI, hal tersebut merupakan cacat narasi. Sebab, tentu secara kelembagaan juga menyangkut anggota maupun kader GmnI.
ADVERTISEMENT
Idealnya, sebagai leader yang mengakomodasi kepentingan kolektif dan demokratis (yang menyangkut kelembagaan organisasi), maka dirasa perlu untuk melakukan konsolidasi riil, melalui aspirasi dari kader GmnI dengan berbagai forum.
Termasuk, melakukan berbagai kajian akademis yang menghasilkan rekomendasi, menyangkut arah dan gerak juang organisasi. Sehingga tidak kehilangan arah dan orientasi gerakan yang bersifat intelektual, progresif nan revolusioner.
Terutama yakni kajian komparasi yang bersifat holistik, komprehensif, maupun topik spesifik yang mendalam, terhadap ketiga pasangan bakal capres 2024. Baik itu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, maupun Anies Baswedan.
Dalam pernyataan capres tersebut yang dimuat di media massa, "baru saja menerima delegasi dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI), di mana pengurusnya dipimpin oleh Imanuel Cahyadi Cs, saya tadi berbincang mengenai persamaan visi, masa depan bangsa, persatuan, kerukunan, maupun kolaborasi".
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut, jika pendekatan normatif dan filosofis merupakan hal yang wajar, sebagai penghormatan antar warga negara atau kelalaian tim dari capres itu sendiri.
Akan tetapi, pernyataan tersebut mengandung kontradiksi kedudukan hukum, di mana GmnI yang dipimpin oleh Imanuel-Soejahri, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Hal ini melalui SK Kemenkumham DPP GmnI No. Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Nomor AHU-0000510.AH.01.08. Tahun 2020, dengan Ketua Umum Arjuna Putra Aldino dan Sekretaris Jendral, M. Ageng Dendy Setiawan.
Asas equality before the law, (semua manusia sama dan setara di hadapan hukum, setiap orang tunduk pada hukum peradilan yang sama). Kelompok Imanuel-Soejahri berupaya menempuh jalan hukum perdata, dengan menggugat SK tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan putusan dari PN Jakarta Pusat, Nomor 318/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst (Tanggal 16 September 2021), bahwa amar putusan menyatakan “DITOLAK”, atas gugatan yang dilayangkan oleh Penggugat, Imanuel-Soejahri terhadap tegugat, Arjuna-Dendy. Serta menghukum penggugat dengan biaya perkara sebesar Rp 1.420.000 ( satu juta empat ratus ribu rupiah).
Meskipun kondisi hukum di atas sudah diputuskan, SK Kemenkumham GMNI bersifat tetap, yakni dibawah kepemimpinan Arjuna-Dendy. Di lain itu, GmnI di bawah Imanuel-Soejahri, masih menjalankan menjalankan agenda-agenda kelembagaan organisasi dengan mengatasnamakan DPP GmnI. Salah satunya yakni menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diselenggarakan di Ancol, tahun 2022.
Pembukaan secara resmi dihadiri oleh Anies Baswedan, yang pada saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Semestinya, Anies Baswedan terpilih sebagai Gubernur secara konstitusional, maka seyogyanya menghadiri pertemuan formal, juga mempertimbangkan aspek legal standing atas organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Seyogyanya, sosok yang digadang sebagai bakal capres, harus selektif dan sadar terhadap hukum yang bersifat konstitusional mengenai dapur organisasi.
Terutama mengenai kedudukan legalitas GmnI sebagai organisasi yang resmi diakui oleh negara, melalui Badan Perkumpulan yang secara resmi dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Tidak asal nyasak, dengan menghadiri beberapa forum yang belum diketahui kedudukan hukum formalnya.