Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keadilan Gender dalam Politik Megawati Soekarnoputri
27 November 2024 18:12 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Bukan karena anak Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia, tidak mungkin menjadi Ketua Umum Partai Politik.” Asumsi secara umum yang selalu digulirkan oleh kelompok kelas menengah (segmentasi kalangan akademisi hingga intelektual terpelajar) dalam wacana kritik terhadap tokoh perempuan bernama ‘Megawati Soekarnoputri.’ Pernyataan-pernyataan tersebut berupaya dinormalisasi, anggapnya mempunyai nilai ‘magis’ dan meyakini layaknya dosis religi, hanya melihat dua hal berlawanan (baik dan salah).
ADVERTISEMENT
Pembacaan penulis dilihat secara kritis melalui tinjauan secara akademik—bahwa pernyataan diatas merupakan tidak paten dan benar. Seolah-olah menjadi anak presiden—dengan mudahnya menjadi ketua umum partai politik. Fakta sosial menunjukkan bahwa terdapat putra/putri presiden yang tidak menjadi ketua umum partai politik—misalnya putra/putri Presiden Suharto, BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid.
Meskipun demikian terdapat anak Presiden menjadi ketua umum partai politik, misalnya putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bernama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjabat ketua umum Partai Demokrat dan putra Presiden Joko Widodo bernama Kaesang Pangarep menjabat sebagai ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang terpilih secara instan, 2 hari setelah mendaftar sebagai anggota PSI.
Fakta diatas menunjukkan bahwa tradisi kekuasaan dalam memilih pimpinan partai politik di Indonesia masih didominasi oleh kaum laki-laki. Bahkan era modern ini, pucuk pimpinan dalam partai politik dalam pengamatan penulis masih menggunakan cara pandang lama atau kuno. Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi berpolitik di Indonesia masih didominasi oleh pengaruh faktor ‘laki-laki’ yang kecenderungannya masih melekat pada tradisi ‘patriarki.’
ADVERTISEMENT
Menyinggung pernyataan paragraf pertaman bahwa tidak mempunyai kedudukan dalil argumentasi yang kuat, justru penulis menduga bahwa pernyataan tersebut bukan ‘argumentatif,’ melainkan ‘sentimen.’ Memposisikan tokoh perempuan menjadi ketua umum partai politik, seperti ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati adalah cara praktik politik yang progresif-revolusioner dengan menawarkan kebaruan dalam konstalasi politik nasional maupun internasional, yang menempatkan perempuan sebagai pemimpin partai politik dipilih secara demokratis melalui beberapa usulan-usulan aspiratif dari akar rumput (ranting, anak cabang, dewan cabang, daerah, hingga keputusan skala nasional dalam internal partai politik tersebut).
Penulis mempunyai cara pandang sosok Megawati Soekarnoputri adalah tokoh perempuan yang mampu memberikan contoh partisipasi perempuan dalam pucuk kepemimpinan politik yang melahirkan tradisi ‘demokratisasi.’ Kepemimpinan perempuan diharapkan mampu mendobrak ‘patriarki absolut’ yang kolot dalam relasi kuasa dan ruang publik yang kecenderungan didominasi oleh kaum laki-laki dan mempersempit ruang gerak perempuan. Perjuangan Megawati sebagai simbol perjuangan kesetaraan gender adalah keputusan yang penuh dengan risiko—melalui perjuangan politik. Politik kuasa selalu didominasi oleh laki-laki, dan tidak sepenuhnya memahami teori dan praktik keadilan gender.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, partisipasi Megawati mengenai keadilan gender dalam praktik ‘kuasa’ adalah gagasan politik yang idealisme-optimis, karena dalam perjalanan sejarah politik Indonesia—terkhusus era Orde Baru rezim Presiden Suharto telah mempersempit ruang gerak perempuan dalam politik. Perempuan dalam tafsir kuasa ‘Orde Baru’ diarahkan pada kepentingan domestifikasi—dalam pemahaman masyarakat jawa yang terpatri yakni 3 ‘M’: Macak (berdandan), Masak (urusan dapur), dan Manak (mengandung atau melahirkan).
Megawati: Keadilan Gender dan Inspirasi Perempuan dalam Perjuangan Politik
Sependek pembacaan fenomena diperoleh penulis, masih banyak kecenderungan sejumlah akademisi, intelektual, maupun para pemerhati kesetaraan gender maupun kelompok pegiat feminisme masih dominan mengadopsi ide-ide dari Barat. Padahal, jika kita jujur dan percaya pada kekayaan intekeltual dalam negeri, khazanah ilmu pengetahuan dari berbagai persepktif berangkat studi fenomena bahwa Timur mempunyai ciri khas tersendiri. Sebagaimana pendapat Bung Karno dalam bukunya ‘Dibawah Bendera Revolusi Djilid I’ menilai ‘Barat’ mengabaikan unsur-unsur kebudayaan dan hanya mengenal untung-rugi, sedangkan ‘Timur’ mengedepankan kebudayaan, yang terdapat keluhuran yang berkeadaban sesuai dengan karakter kepribadian bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sehingga tulisan ini mengajak kepada para pemerhati gender harus melihat dari sisi ketimuran. Terkhusus case study penulis mengambil tokoh perempuan nasional ‘Megawati Soekarnoputri’ berdasarkan eksperimen kehidupannya dan realitas politik era Orde Baru hingga awal reformasi dan pasca-reformasi. Sebagai anak biologis dan ideologis Bung Karno merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh sosok Megawati Soekarnoputri. Hal ini dikarenakan rezim Orde Baru terdapat pemberangusan ajaran-ajaran Bung Karno (baik ide pemikiran maupun praktik politik Bung Karno yang dikenal persatuan dan perdamaian yang hidup beriringan anti kolonialisme – imperialisme). Karena rezim Orde Baru memberikan ruang kepentingan kepada bangsa asing, untuk mengeksploitasi sumber daya alam dengan pendekatan soft power dalam intervensi ekonomi politik.
Saat peralihan kepemimpinan dari Presiden Sukarno ke rezim penguasa Orde Baru Presiden Suharto melalui TAP MPRS No. 33/1967 tentang ‘Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno’ adalah kecelakaan besar dalam peradaban bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan merupakan momok mengerikan, terkhusus pembatasan dalam pergerakan politik bagi kalangan pengikut ajaran Bung Karno, kelompok Marhaenis maupun keluarga besar Bung Karno. Selain itu juga rezim Presiden Suharto—dikenal sebagai tokoh otoritarianisme berlatarbelakang militeristik, dalam kebijakannya cenderung membatasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Artikel ilmiah yang ditulis oleh Vitriyana Kusuma Dewi & Gayung Kasuma, dari Universitas Airlangga, berjudul “Perempuan Masa Orde Baru: Studi Kebijakan PKK dan KB tahun 1968-1983” artikel tersebut menunjukkan bahwa rezim kekuasaan Presiden Suharto melalui kebijakan PKK dan PBB hanya sebagai kontrol negara, yang diperuntukkan untuk mengawasi pergerakan perempuan dalam ruang politik. Membatasi pergerakan perempuan, diharapkan tidak menghambat ambisi politik kepentingan Orde Baru. Hal ini merupakan kemunduran besar dalam pembangunan peradaban bangsa Indonesia, jikalau perempuan dibatasi hak-hak partisipatif dalam politiknya pada ruang publik.
Dalil kemunduran rezim Orde Baru karena membatasi perempuan terlibat aktif diruang publik. Merujuk pada Majalah Wanita No. 5 tahun 1965, menyebutkan pada awal abad ke-20, peran perempuan dalam perjuangan adalah menginginkan kebebasan yang sama dan setara dengan laki-laki, misalnya gagasan kartini mengenai kesadaran pendidikan untuk perempuan (baik kelompok priyayi maupun rakyat biasa) karena memberikan dampak besar terhadap perubahan yang mengarah pada kemajuan. Perempuan sebagai "al ummu madrasatul uka, iza a’adadtaha al’dadta sya’ban thayyibal a’raq" (ibu merupakan pendidikan pertama bagi anaknya, jika dipersiapkan dengan baik, maka sama halnya mempersiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya).
ADVERTISEMENT
Pembatasan terhadap peranan perempuan dalam politik juga menanamkan rasa ketidakpercayaan diri perempuan yang merupakan kontra takdir yang hakiki atas penciptaan Tuhan. Karena manusia diciptakan dengan posisi yang sama dan setara, prinsip kerjasama tanpa adanya dominasi ataupun hegemoni satu sama lain.
Kehadiran sosok Megawati sebagai perempuan muda pada era ‘Orde Baru’ merupakan bentuk perlawanan terhadap ide-ide politik rezim Suharto yang berupaya menina-bobo’kan peran perempuan. Bahkan Megawati dalam pidatonya di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada Sabtu, 3/2/2024, ia menyampaikan bahwa dirinya pernah diangkut oleh pihak kepolisian tiga kali zaman Orde Baru—melalui pemikiran kritisnya dalam memperjuangkan keadilan dan keberpihakan pada kebenaran.
Tahun 1993, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada kongres di Sukolilo, Surabaya. Jalan politiknya tak selalu mulus, terganjal dengan intimidasi dan intervensi politik oleh pemerintahan Orde Baru, telah menjadi makanan sehari-hari. Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, kerusuhan terjadi di Jalan Diponegoro No. 58, Menteng Jakarta Pusat, yang merupakan kantor sekretariat DPP PDI dibawah kepemimpinan Megawati. Pemerintah Orde Baru berupaya mengintervensi kedaulatan politik Megawati, dengan mendukung kongres PDI tandingan di Medan, memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum versi Kongres Luar Biasa Medan. Megawati sebagai tokoh perempuan penegak demokrasi, dinilai sebagai ancaman bagi rezim pemerintahan Orde Baru yang dikenal sebagai pemerintahan otoritarian.
ADVERTISEMENT
Ironi dan penuh ketidakadilan, penuh dengan dehumanisme karakter, jika negara (pemerintahan Orde Baru) melihat perempuan yang kritis dan sadar akan pembangunan bangsa dinilai sebagai ancaman. Keteladanan dan peranan Megawati sebagai tokoh politik nasional era Orde Baru merupakan perempuan pertama pembaharuan politik dalam penegakkan demokrasi ‘cahaya baru’ bagi kelompok perempuan agar mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dimata negara. Tidak ada diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan. Kehadiran perempuan dalam politik adalah angin segar—agar keterlibatannya perempuan dalam terpenuhi, dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada keadilan gender.