Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kemanusiaan dan Keberagaman dalam Pluralitas Agama Era Tahun Politik
17 Agustus 2023 10:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang kontestasi di tahun politik 2024, sejumlah calon mempersiapkan diri untuk melakukan personal branding, baik yang bersangkutan (mencalonkan diri) maupun dipersiapkan oleh Timnya.
ADVERTISEMENT
Misalnya, Sejumlah Alat Peraga Kampanye (APK) bertebaran di ruang publik, seperti halnya umbul-umbul, pamflet, poster, baliho, spanduk, sticker, kalender, bendera maupun sejenisnya. Dalam hal tersebut merupakan bagian dari strategi peserta pemilu dalam menarik simpatisan dan mengorganisir konstituen agar dapat memilihnya.
Namun demikian, sejauh pengamatan penulis, bahwa muncul bertebaran simbol-simbol keagamaan dan ritualitas kepercayaan, yang seharusnya mempunyai domain sosial yang bersifat sakral dan otoritas, tergadaikan dengan kepentingan politik sesaat.
Baik itu sebagai pembasisan massa untuk mempertahankan satu kelompok (favoritisme) maupun untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politiknya. Sehingga yang dikhawatirkan adalah mengabaikan politik dengan adu gagasan dan program yang sesuai dengan nawacita bangsa Indonesia.
Terdapat beberapa daerah yang masih menerapkan kebijakan maupun penyusunan regulasi yang dinilai diskriminatif. Misalnya, mengutip dari pengantar Redaksi dalam buku “Agama dan Kontestasi Ruang Publik: Islamisme, Konflik dan Demokrasi”, yang diterbitkan oleh The WAHID Institute, tercatat bahwa 1999-2009, sejumlah 154 perda bernuansa agama yang tersebar di 69 kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sehingga, fenomena tersebut dirasa irosi, jika menciptakan regulasi yang sektarian dan diskriminatif, belum menjamin hak-haknya serta kebebasan dalam berekspresi.
Sehingga, bagaimanapun proses penyusunan regulasi dan menerapkan kebijakan, jika terinspirasi oleh Pancasila sebagai staat fundamental norm (norma hukum yang fundamental) maupun philosophische groundslag (falsafah dasar dalam pembangunan bangsa dan negara).
Tentu hal yang harus diperhatikan adalah kolaborasi antara kelompok mayoritas berjalan beriringan dengan kelompok minoritas, tanpa harus memandang keagamaan, ras, suku, dan adat istiadat setempat.
Kendati demikian, yang harus menjadi perenungan bersama yakni penggunaan simbol-simbol keagamaan dijadikan sebagai komoditas politik sesaat, sehingga yang dikhawatirkan adalah politik identitas keagamaan yang cenderung dominan melekat di masyarakat, daripada politik gagasan yang bersifat konstruktif.
ADVERTISEMENT
Kemanusiaan dan Keberagaman dalam Pluralitas Agama
Merujuk pada preambule Undang – Undang Dasar (UUD) 1945, secara jelas tersurat bahwa Negara Indonesia, melalui pemerintahan hadir dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan cara memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam konteks ini, yang harus dipahami oleh public figure yakni meminimalisir menggunakan simbol-simbol keagamaan dijadikan sebagai politik. Begitupun masyarakat harus cerdas bahwa politik gagasan lebih penting daripada politik identitas keagamaan, yang berpotensi dapat memecah belah kerukunan dan keutuhan bangsa Indonesia, terutama dalam hal keberagamaan dalam beragama.
Mengutip dari kata-kata Gus Dur, “Yang Lebih Penting dari Politik adalah Kemanusiaan”. Pasalnya mengapa? tujuan dari Tuhan Yang Maha Pencipta, yang menciptakan manusia, agar dapat menjalankan nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menciptakan masyarakat damai, rukun, agawe santoso. Bagaimanapun, favoritisme identitas dalam realitasnya, dapat mengkungkung pikiran-pikiran yang seharusnya rasional dan terbuka, menjadi konservatif/kaku – tertutup, yang idealnya diciptakannya manusia yang inklusif menjadi eksklusif.
Sebagaimana pesan dari Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, terbit di NU Online, berpesan bahwa politik harus ditempatkan untuk memperkuat, meningkatkan, serta memperbaiki martabat kemanusiaan.
Karena secara prinsip terpenting adalah keadilan yang dapat memuliakan martabat kemanusiaan, terutama dalam menentukan pilihannya dalam keyakinan beragama tanpa ada unsur paksaan. Kemanusiaan dalam beragam agama yang dapat berjalan beriringan.
Terinspirasi di Kawasan Senduro, Kabupaten Lumajang
Melihat keberagaman agam secara nyata, ketika penulis tak sengaja berdiskusi dengan peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
ADVERTISEMENT
Misalnya, berdasarkan informasi yang didapat oleh salah satu informan KKN UINSA, bertugas di Desa Jambekumbu, Kecamatan Pasrujambe (Secara administratif, sebelah selatan pasar Desa Senduro), terdapat fenomena keberagaman dalam satu keluarga secara biologis.
Namun, berbeda dalam keyakinan beragama (pertama, kedua orang tuanya Hindu, anaknya Islam. Kedua, dalam satu keluarga terdapat tiga keyakinan yang berbeda, di antaranya yakni Islam, Kristen, dan Hindu).
Setelah berkomunikasi dan membicarakan tentang isu keberagaman, kemudian penulis diantar oleh salah satu informan sebelumnya, berkunjung di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, bernama Abizar, ketua kelompok di desa tersebut.
Ada hal yang berkesan bagi penulis, salah satunya yakni terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat Kecamatan, yang berkantor di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan sumber yang diperoleh penulis di lapangan, bahwa Desa Senduro mewakili Provinsi Jawa Timur dalam program peluncuran kampung moderasi beragama oleh Direktorat Jendral (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama Republik Indonesia.
Begitupun selaras dengan pandangan dari Bupati Lumajang, Thoriqul Haq bahwa moderasi beragama merupakan sebuah komitmen pemerintah dalam mewujudkan keamanan dan kerukunan seluruh umat beragama, terkhusus di Kabupaten Lumajang dalam menjalankan aktivitas sosialnya.
Kemudian, saya tak sengaja bertemu dengan salah satu peserta KKN di Desa Burno, Kecamatan Senduro, bernama Djendar. Ia menceritakan bahwa dalam lokasi tersebut, terdapat umat beragama Hindu mengikuti Tahlilan, sebagaimana ritualitas yang sering dilakukan oleh masyarakat Muslim Tradisionalis.
Kemudian dalam tradisi Tahlilan tersebut, masyarakat setempat menggunakan Arang dan Kemenyan, ketika acara berlangsung dimulai. Dan mereka menjalani hal tersebut, demi terciptanya toleransi dalam beragama.
ADVERTISEMENT