Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Titik Temu Genealogi Pikiran PDI-P dan Muslim Reformis Sumatera Barat
20 Juli 2023 17:26 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Aji Cahyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu tak berselang lama, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), menggelar Rakerda. Acara tersebut dibuka oleh Sekretaris Jendral (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto di Kota Padang, Selasa (4/7), Ia menyampaikan pesan dari Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, memantik kader untuk semangat dalam memenangkan partainya.
ADVERTISEMENT
Mengingat dua kali dalam pemilu 2014 & 2019, PDI-P di Sumbar kalah telak. Mengutip dari laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) kpu.go.id, tahun 2014, total suara sah berjumlah 2.336.813 (100%), Calon Presiden (Capres) - Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 2, Joko Widodo – Jusuf Kalla, diusung oleh PDI-P dan koalisi Indonesia Hebat (terdiri dari PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKP Indonesia) hanya mendapatkan suara 539.308 suara (23.08%). Sedangkan, Capres – Cawapres no. urut 1, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, yang diusung oleh Partai Gerindra dan Koalisi Merah Putih (terdiri dari PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar), menang telak, dengan mendapatkan perolehan suara 1.797.505 suara (76,92%).
Berdasarkan suara sah partai dan calon legislatif DPR – RI 2014 dua dapil (Dapil 1 dan Dapil 2 Sumbar), total secara keseluruhan PDI-P (total: 184.065) menempati posisi ke-9 dari 12 partai, terpaut jauh dengan Golkar dengan menempati posisi 1 (total: 403.249), diikuti oleh Partai Gerindra menempati posisi 2 (total: 348.280). Sedangkan partai lain, seperti PKS menempati posisi 8 (total: 205.760).
ADVERTISEMENT
Hasil hitung suara Presiden dan Wakil Presiden 2019, menurun signifikan. Dari total jumlah 2.892.903 suara (100%) Provinsi Sumbar, Capres – Cawapres nomor urut 1, Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amien, diusung oleh PDI-P dan Koalisi Indonesia Maju (didukung oleh Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PPP, Partai Hanura, PSI, PKPI, dan PBB) hanya mendapatkan 407.638 suara (14.09%), kalah dari Capres-Cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, didukung oleh Partai Gerindra dan Koalisi Indonesia Adil Makmur (terdiri dari, PKS, PAN, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya), memperoleh 2.485.265 suara (85,91%).
Selain itu, suara sah partai dan calon legislatif DPR-RI 2019 pada di dua dapil Sumatera Barat, (Dapil 1 dan Dapil 2 Sumbar), data diambil dari Website KPU.go.id update per tanggal 19 Desember 2019, PDI-P (suara total: 132.588) menempati posisi ke-8 dari 16 partai. Meskipun naik satu tingkat, akan tetapi perolehan suara sah pada Pileg DPR-RI, turun.
ADVERTISEMENT
Partai koalisi Indonesia Adil Makmur menempati posisi pertama s/d keempat (Partai Gerindra, total: 579.105; PKS, total: 425.114; PAN, total 406.606; Demokrat, total; 368.603). Pada tahun 2019, tidak ada satupun dari PDI-P Dapil Sumbar, menjadi anggota legislatif di Senayan.
PDI-P dalam Lintasan Sejarah Kepemiluan
PDI-P, Partai yang familiar dengan simbol banteng moncong putih (filosofi gotong royong), setiap kontestasi Pemilu di Sumatera Barat, belum pecah telur sebagai partai pemenang. Bahkan, partai yang jauh lebih mudah dari PDI-P, seperti Partai Gerindra dan PKS, mampu bersaing dalam konstalasi politik di Sumatera Barat. Mengutip Historia.id berjudul ‘Ajian Rawarontek Golkar’, Setelah Prabowo Subianto keluar dari Golkar, sejak partai beringin mendeklarasikan Wiranto-Solahuddin Wahid menjadi Capres dan Cawapres 2004, sehingga, kemungkinan besar ada inisiatif untuk mendirikan Partai Gerindra pada 6 Februari 2008, agar bisa mencalonkan sebagai Cawapres, dari pasangan Megawati – Prabowo, kemudian Presiden pada perhelatan 2014 dan 2019.
ADVERTISEMENT
Sebagai partai nasionalis berusia muda, Gerindra mampu meraih simpati masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas penduduknya 97% menganut agama Islam, melalui Pilpres tahun 2014 dan 2019, Prabowo dapat meraup suara yang signifikan, daripada Jokowi yang diusung oleh PDI-P. Begitupun PKS, partai Islam, mampu menarik perhatian masyarakat Sumbar, dengan perolehan suara nomor 2 pada pileg 2019, setelah Partai Gerindra.
Meskipun demikian, Gusti Asnan dalam bukunya Membaca Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an, pada tahun 1955 (pada saat itu Sumatera Barat merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Tengah), Partai Nasional Indonesia/PNI (cikal bakalnya PDI-P tahun 1999), partai nasionalis kalah dengan beberapa partai Islam, misalnya yakni Masyumi (Mansyur Daud Dt. Palimo Kayo, Mangkuto, Ali Akbar, Bafadhal, Rahmah el-Yunusiyah, Zainal Abidin Ahmad), PERTI (Sirajuddin Abbas, Ma’rifat Marjani, Rusli A. Wahid), PPTI (Haji Jalaluddin).
ADVERTISEMENT
Sedangkan partai sekuler yakni PKI (Bachtaruddin). Tidak ada satupun dari kader PNI Sumatera Tengah (terdiri dari Sumatera Barat, Jambi, Riau) yang lolos ke DPR maupun konstituante.
PDI-P di Basis Muhammadiyah: Menang di D.I Yogyakarta, Kalah di Sumatera Barat
Sejauh penelusuran penulis, PDI-P di Jogja mampu meraih kemenangan, baik Pilpres 2019 maupun perolehan suara Pileg DPR-RI suara sah partai dan calon. Dalam konteks Pipres 2019, melansir dari kpu.go.id, update per 19 Desember 2019, Pasangan Capres no.urut 1, Jokowi-Ma'ruf Amin menang dengan perolehan 1.640.789 suara (69.04%). Sedangkan Pasangan capres no.urut 2, Prabowo - Sandiaga Uno, hanya mendapatkan 735.789 suara (30,96%).
Selain itu, dari total 16 partai, perolehan suara di Provinsi DI Yogyakarta, PDI-P menempati posisi 1 (teratas) dengan perolehan 638.342 suara (30%), terpaut jauh dengan partai lainnya, seperti PKB, menempati posisi 2 dengan perolehan 261.473 suara (12%), dan diikuti oleh PAN dan PKS, yang masing masing menempati posisi 3 dan 4, dengan perolehan 231.148 (11%) dan 223.991 (10%).
ADVERTISEMENT
Sehingga, perbedaan dalam perolehan suara PDI-P Pemilu 2019 di dua Provinsi yakni D.I Yogyakarta dan Sumatera Barat. Argumentasi penulis merujuk pada dua provinsi tersebut merupakan lokasi dimana Muhammadiyah dapat berkembang pesat, serta kadernya mampu mewarnai di ruang publik, melalui kontribusi disegala bidang, baik di pendidikan, dakwah, amal usaha, birokrat hingga menjadi tokoh politik. Bahkan, penulis tidak menyebutkan satu persatu, karena tokoh Muhammadiyah yang terkenal dedikasi dan pengabdian, sangat banyak.
Awal mula sejarah perkembangan Muhammadiyah di Sumatera Barat (nama tempat yang lebih familiar, ‘Minangkabau’), mengutip Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, berjudul ‘Perkembangan Organisasi Muhammadiyah di Minangkabau Provinsi Sumatera Barat 1925 – 2010’, Sumatera Barat menjadi sentral dalam pengembangan Muhammadiyah di Pulau Sumatera.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut berangkat dari Ahmah Rasyid Sutan Mansur (Murid sekaligus Menantu dari Abdul Karim Amrullah) berangkat ke Pekalongan, Jawa Tengah untuk berdagang sekaligus merantau dan bertemu dengan KH Ahmad Dahlan dalam rangka Tabligh (berdakwah menyampaikan ajaran agama). Abdul Karim Amrullah merupakan pendiri Sumatera Thawalib sekaligus ayah dari Buya Hamka.
KH Ahmad Dahlan merupakan Pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta, 18 November 1912. Ketertarikan pemuda asal Minangkabau, AR Sutan Mansyur, terhadap pemikiran KH. Ahmad Dahlan, memutuskan untuk masuk di Muhammadiyah pada tahun 1922. Ia menyadari bahwa di Ia menyadari bahwa sebelumnya, di Minangkabau, Islam hanya dipelajari sebagai teori, akan tetapi tidak ada gerakan amalnya.
Tepat pada tahun 1923, ia menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pelakongan, dan ditugaskan oleh Pada tahun 1925, Buya Satur Mansyur ditugaskan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah untuk mengatasi ketegangan konflik antara orang Muhammadiyah dan orang Komunis di Minangkabau. (Tim Penyusun, 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, 2014).
ADVERTISEMENT
Persenyawaan Pikiran Bung Karno dan Tradisi Intelektual Modernis Sumatera Barat
Mengutip Gusti Asnan berjudul ‘Membaca Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an’, ulama Minangkabau sebelum kemerdekaan ada dua poros yakni yakni, pertama, ‘ulama muda modernis’ yang merupakan alumni Sumatera Thawalib, seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur (Haji Rasul), yang pendirinya Abdul Karim Amrullah (ayah dari Buya Hamka), kedua, ‘ulama tua konservatif’ yang dikenal sebagai ulama tarekat Naqsyabandiyah, seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli (pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah/PERTI) dan Haji Jalaluddin (dikeluarkan dari PERTI dan mendirikan Partai Politik Tarekat Islamiyah/PPTI).
Meskipun beberapa partai Islam, seperti Masyumi (dibubarkan karena terindikasi terlibat dalam PRRI/Permesta), PERTI (tidak berpartisipasi) atau PPTI dalam Pemilu 2019. Seyogyanya, PDI-P sebagai organisasi politik berpeluang untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Islam Modernis asal Sumbar. Hal tersebut terdapat kesamaan ‘sanad’ intelektual Islam, antara Pemikiran Bung Karno dengan kalangan ulama intelektual modernis Minangkabau, seperti Buya Hamka maupun AR. Sutan Mansur. Keduanya merupakan tokoh Muhammadiyah yang masuk dalam buku “100 Tokoh Muda yang Menginspirasi.”
ADVERTISEMENT
Secara genealogi intelektual Islam, tentu berbeda dengan Partai Gerindra, Partai Nasionalis yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, yang berjiwa nasionalisme yang berangkat dari kalangan militer. Selain itu, PKS (yang sebelumnya bernama Partai Keadilan, didirikan setelah Pasca-Orde Baru), dengan motivasi politik Islam yang terinspirasi dari Ikhwanul Muslimin, pendirinya yakni Hasan al-Banna, Mesir. Menginginkan Islam sebagai lanskap politik Indonesia dengan visi Negara bersyariah yang mengatur segala aspek kehidupan yang komprehensif (Noorhaidi Hasan, Islamist Party, Electoral Politics and Da'wa Mobilization among Youth: The Properous Justice Party/PKS in Indonesia, 2009).
Hampir secara keseluruhan bahwa anggota maupun kader PDI-P pasti mengenal Bung Karno, melalui indoktrinasi dan kaderisasi partai politik. Namun, penulis menduga, tidak semuanya anggota maupun kader mempelajari atau mengerti genealogi intelektual Bung Karno, khususnya yakni ‘sanad’ keilmuan islaman Bung Karno. Meskipun demikian, bahwa PDI-P dan Muhammadiyah adalah organisasi yang berbeda. PDI-P merupakan organisasi politik, sedangkan Muhammadiyah merupakan ormas yang berbasis keagamaan Islam yang fokus pada gerakan sosial kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Sanad keilmuan Islam antara PDI-P (melalui Bung Karno) dan tokoh Minangkabau, Buya Hamka maupun AR Sutan Mansur, sama-sama dari Muhammadiyah. Bung Karno menjadi anggota Muhammadiyah cabang Bengkulu, semasa pengasingannya tahun 1938, akibat perlawanan terhadap kolonialisasi dan imperialisasi oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Sedangkan tokoh Minangkabau seperti Ayah Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah melawan kebijakan Pemerintahan Belanda tentang Ordonasi Guru (mengawasi aktivitas guru agama, kiai maupun ulama yang menentang) pada tahun 1928.
Sehingga alasan Bung Karno masuk Muhammadiyah yakni gerakan Islam Tajdid (pembaharuan), terinspirasi dari Muhammad Abduh, tokoh Pan-Islamisme asal Mesir (lihat karya Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Djilid I’) dengan gagasannya tentang modernisme Islam dan perlawanananya terhadap penjajahan imperialisme Inggris di Mesir. Hal yang sama juga oleh Buya Hamka dan AR Sutan Mansur, bergabung dengan Muhammadiyah, karena terinspirasi oleh pendirinya KH. Ahmad Dahlan, dari Muhammad Abduh.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya Solichin Salam, KH Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia, Bung Karno mengenal KH. Ahmad Dahlan merupakan manusia dengan amal shaleh, 'sepi ing pamrih rame ing gawe' mempunyai makna bekerja dengan sungguh, tanpa mengharap pamrih yang berlebihan. Ia membangun Muhammadiyah dengan cita luhur, semangat berjuang dan berkorban untuk kemuliaan agama.