Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sastra Sebagai Sumber Sejarah: Sebuah Review
16 Oktober 2024 8:01 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Aji Samsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagaimanakah kedudukan sastra dalam suatu kajian kesejarahan?
Barangkali pertanyaan itulah yang coba diuraikan jawabannya oleh sejarawan Bambang Purwanto dalam tulisannya yang berjudul Naskah Tradisi dan Historiografi Jawa yang merupakan bagian dalam bukunya yang berjudul Gagalnya Historiografi Indonesiasentris. Apa yang dibincangkan oleh Purwanto adalah sebuah penyajian atas perdebatan konsep oleh sejarawan-sejarawan kawakan semacam Taufik Abdullah, Kuntowijoyo, J.J. Ras, M.C. Ricklefs dan juga R.G. Collingwood. Perdebatan konsep yang disajikan itu berputar kepada persoalan apakah naskah-naskah tradisi, yang berupa babad, hikayat, dan lain sebagainya itu, dapat dijadikan sebuah sumber bagi penulisan kajian sejarah atau tidak, dan salah satu ide yang ditampilkan dalam tulisan ini adalah kepada ide yang disampaikan oleh Ras, yang menyatakan bahwasanya tulisan semacam babad tidak akan bisa diaplikasikan sama seperti pengaplikasian sumber dari laporan VOC (Purwanto, 2006:96).
ADVERTISEMENT
Memang benar dan tidak bisa dipungkiri bahwa tulisan ini hampir keseluruhannya membincangkan perkara Serat Surya Raja dan bagaimana naskah tersebut merefleksikan kondisi masyarakat Jawa pada masa lalu, namun menurut saya, kepada apa yang coba untuk disorot adalah jauh melampaui persoalan Serat Surya Raja tersebut, atau bisa dibilang Purwanto dalam tulisannya ini ingin menyampaikan pemikirannya sendiri terkait perdebatan yang hadir terhadap penggunaan sastra sebagai kajian sejarah tadi, dengan menggunakan contoh persoalannya pada Serat Surya Raja sebagai pengaplikasiannya.
Hal pertama yang mesti dipahami di sini adalah, yang juga menjadi kesukaran dalam mengkaji Serat Surya Raja, ialah bagaimana kisah yang terkandung di dalamnya, selain kepada fiktif literer, juga tidak menggunakan nama-nama (manusia & tempat) sebagaimana aslinya, melainkan menggunakan samaran atau bahkan juga bisa merupakan sebuah karangan belaka. Dan oleh karenanya, Purwanto di dalam tulisannya ini, berusaha untuk mengaplikasikan suatu metode untuk mengetahui realitas sosial masyarakat Jawa yang hadir di balik sastra kuno ini. Namun sebelum membahas kepada ide yang ingin disampaikan oleh Purwanto, saya kira mesti disampaikan juga terlebih dulu terkait kepada pikiran-pikiran lain yang disampaikan di dalam tulisan ini agar pemahaman yang komprehensif bisa didapatkan dan peta yang membimbing kita pada pencerahan dapat terlihat.
ADVERTISEMENT
Pikiran pertama yang saya ingin sampaikan adalah dari M.C. Ricklefs, yang seperti disampaikan oleh Purwanto, adalah seseorang dari luar keraton yang berkesempatan untuk mendapat izin akses dari Sultan Hamengkubuwana IX kepada naskah Serat Surya Raja ketika dia sedang menggiatkan kajiannya terkait sejarah Yogyakarta di bawah kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1960-an yang lalu (Purwanto, 2006:91). Terkait kepada naskah-naskah tradisi ini, M.C. Ricklefs agaknya berselisih paham dengan J.J. Ras, sebab apabila pendapat Ras adalah bahwa sumber-sumber seperti babad dan hikayat ini tidak diaplikasikan sebagai sumber sejarah seperti sumber dari laporan-laporan VOC, M.C. Ricklefs justru berpendapat bahwa, semua sumber sejarah, lokal maupun tidak, mestilah dapat diperlukan sama, keduanya mesti dikaji berdasarkan kritik sejarah yang normal dan kritis. Pendapat ini mesti dipahami memiliki kesamaan bunyi dengan pendapat dari Jan Vansina terkait sumber sejarah yang berasal dari lisan dan tulisan. Dalam bukunya yang berjudul Tradisi Lisan Sebagai Sejarah, Jan Vansina menjelaskan bahwa, peradaban lisan yang berdasar kepada “tradisi lisan” di Afrika itu sejajar dengan peradaban tulisan yang ada di Eropa dan Amerika kontemporer, keduanya sama kedudukannya ketika dikelompokkan sebagai sumber sejarah (Vansina, 2019:xxiii).
ADVERTISEMENT
Lalu selain M.C. Ricklefs, banyak juga Purwanto menyinggung pemikiran dari Taufik Abdullah dalam tulisannya ini. Salah satu buah pemikiran Taufik Abdullah yang mencolok bagi saya adalah bagaimana dia mencoba untuk menarasikan bahwa naskah-naskah kuno semacam babad, hikayat, serat, dan lain sebagainya itu adalah suatu sumber sejarah yang potensial, hanya kepada perspektif sejarawannya lah yang mesti diubah, sebab fakta yang terkandung daripada naskah-naskah kuno tersebut ialah sebuah fakta mental. Sementara itu, R.G. Collingwood nyatakan bahwa keseluruhan sejarah adalah sebuah sejarah intelektual, maka kemudian naskah-naskah kuno tersebut dapat pula diklasifikasikan sebagai sejarah sebab kepada apa yang disampaikan olehnya adalah sebuah refleksi intelektual dari masyarakat tatkala naskah tersebut ditulis (Purwanto, 2006: 96).
Dan kepada pikiran dari Purwanto sendiri, saya rasa apa yang beliau coba sampaikan cenderung lebih kepada kesetujuan beliau kepada pendapat-pendapat yang diucapkan oleh Taufik Abdullah mengenai sebuah naskah kuno dapat dijadikan sebagai sebuah sumber sejarah yang potensial dengan juga mengikuti pendapat M.C. Ricklefs yang menyatakan bahwa naskah-naskah kuno tersebut memiliki kedudukan yang setara dengan laporan-laporan VOC apabila dapat ditinjau dengan menggunakan kritik sejarah yang normal dan kritis. Namun tidak bisa dipungkiri, ada juga sebuah kebingungan yang muncul tatkala Purwanto membaca naskah Serat Surya Raja yang sudah dilatinkan yang dia dapat, yang mana kebingungan tersebut muncul dari ketidakkonsistenan serat tersebut ketika sedang membicarakan identitas tokoh maupun tempat dalam ceritanya. Sebagai contoh, disebutkan bahwa Kerajaan Purwa Gupita adalah suatu kerajaan di sabrang tanah Jawa, sementara di lain kesempatan, disebutkan bahwa Kerajaan Purwa Gupita ini adalah Kerajaan Jawa itu sendiri yang tengah berperang dengan kerajaan-kerajaan di sabrang Pulau Jawa—meskipun pada bagian selanjutnya diklarifikasi oleh Purwanto terkait definisi istilah yang disebutkan sebagai sabrang tersebut. (Purwanto, 2006: 107-108).
ADVERTISEMENT
Selain kepada ketidakkonsistenan itu, Serat Surya Raja yang dibaca oleh Purwanto (yaitu Serat Surya Raja bagian dua), juga dibumbui oleh fiksi dan simbolik yang kental, sementara bagian satu dari Serat Surya Raja lah yang cukup dominan dalam menggambarkan realitas historis yang berlangsung di Yogyakarta saat itu. Hal ini juga senada dengan apa yang diistilahkan oleh Sartono Kartodirdjo terkait naskah-naskah tradisional sebagai sesuatu yang dilatarbelakangi oleh cakrawala religio-magis serta kosmogonis (Kartodirdjo, 2020: 2). Namun sejatinya, bagaimana naskah kuno tersebut menggambarkan realitas masa lalu terkait kondisi sosial masyarakat Jawa sementara keseluruhan kisahnya saja tidak menunjukkan penokohan ataupun latar tempat yang nyata?
Mengenai pertanyaan di atas, beberapa analisis diajukan oleh Purwanto dalam tulisannya ini, yang salah satu di antaranya adalah mengenai eksistensi orang-orang Belanda, atau bila bukan orang-orang Belanda, maka negeri Belanda, yang semestinya memiliki peranan cukup besar dalam kondisi sosial masyarakat Jawa pada masa itu. Apa yang coba disampaikan oleh Purwanto mengenainya adalah, bahwa sama seperti banyak tokoh dan tempat di dalam Serat Surya Raja yang namanya adalah berupa karangan semata, negeri Belanda pun dibuat demikian. Dan kepada eksistensinya sendiri, negeri Belanda di dalam serat ini disebutkan sebagai Kafir, Negeri Puser Angin, dan suatu kali disebut sebagai Landa (Purwanto, 2006: 114).
ADVERTISEMENT
Dan terkait kepada bahasan-bahasan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwasanya pandangan yang disetujui oleh Purwanto mengenai apakah sastra bisa menjadi sumber sejarah adalah pandangan yang sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Taufik Abdullah dan M.C. Ricklefs, yaitu bahwa naskah kuno yang berbingkai sastra pun dapat menjadi suatu sumber sejarah yang potensial apabila diperlakukan sebuah kritik kesejarahan yang normal dan kritis, Purwanto ini sekalian juga menyangkal pendapat dari Kuntowijoyo (2005) yang berkata bahwasanya sastra adalah sastra dan bukan sejarah. Namun memang tak bisa dipungkiri, bahwasanya untuk memberdayakan naskah-naskah kuno semacam Serat Surya Raja sebagai sumber sejarah, mestilah dilakukan kritik kesejarahan yang tekun dan telaten, sebab realitas sosial yang direfleksikan daripadanya hanya bisa diakses apabila seorang sejarawan dapat memahami jiwa zaman ketika penulisan terhadap naskah kuno tersebut diberlangsungkan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Kartodirdjo, S. (2014). Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Kuntowijoyo. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: PT BENTANG PUSTAKA.
Purwanto, B. (2006). Naskah Tradisi dan Historiografi Jawa. Dalam B. Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (hal. 88-126). Yogyakarta: Ombak.
Vansina, J. (2019). Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Yogyakarta: Ombak.