Konten dari Pengguna

Gunung Merbabu via Suwanting, Jalur Berdebu Bikin Eling

Ajo Darisman
~Sebab life sesungguhnya laif.
15 September 2023 14:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajo Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cipaw di jalur Suwanting. Dok: Pak Ano
zoom-in-whitePerbesar
Cipaw di jalur Suwanting. Dok: Pak Ano
ADVERTISEMENT
Gunung Merbabu jadi tujuan kumpala bulan September 2023 ini. Butuh melangkahkan kaki lebih dari 40 ribu langkah, 8 jam duduk di kereta ekonomi jurusan Senen-Lempuyangan, lalu 8 jam Lempuyangan-Jatinegara, demi menggapai puncak gunung di Magelang itu.
ADVERTISEMENT
Begini cerita perjalanan pendakian Gunung Merbabu via jalur Suwanting.
Tim bersepuluh, 8 laki-laki dan 2 perempuan. Kesialan pertama perjalanan adalah sebagian besar dari kami kurang tidur. Saya misalnya, hanya sempat nyuri-nyuri buat lelap kurang lebih sejam di kereta, dan sejam lagi di minibus yang menjemput untuk menuju basecamp.
Sedang yang lain, paling banyak menurut perkiraan saya tak lebih dari 5 jam. Pendakian ini menghabiskan setidaknya dua kali lipatnya, hampir 10 jam.
Posnya memang hanya 3 pos utama plus beberapa pos lembah di sela-sela menuju pos 2 dan 3. Tapi jalur yang dilewati cukup berat: kebanyakan terjal, minim vegetasi, debu sepanjang jalan.
Istirahat sejenak. Foto Paul Polos
Poin terakhir adalah tantangan terberatnya. Sepanjang perjalanan, kami harus memilih apakah menggunakan masker tapi bikin napas dua kali lebih ngos-ngosan, atau tanpa masker namun mesti menghirup debu-debu Merbabu.
ADVERTISEMENT
"Kena ISPA bukan karena polusi udara Jakarta, malah karena debu Merbabu," keluh Fawwaz alias Kongs.
Saya memilih kedua opsi itu, kadang kala menggunakan kain penutup, masker atau buff, terkadang tidak menggunakannya terutama karena kadung sesak. Risikonya, terpaksa menghirup debu atau mulut kemasukan pasir saat tiba-tiba ada pendaki jagoan berlari menerabas jalur pasir. Mereka ini bikin saya mengucap sabar berkali-kali. Alhasil, muka saya perih beberapa hari setelah kembali ke Jakarta.
Minim vegetasi juga menambah beratnya trek Suwanting ini. Apalagi, kami berjalan dari Pos Rimba, tempat ojek men-drop pendaki, sekitar hampir jam 12.00 WIB. Jadi matahari persis di atas kepala saat kami baru mulai melangkah.
Penyebabnya di luar prediksi, proses registrasi awal gunung satu ini cukup memakan waktu. Sebelum naik, para pendaki akan dikumpulkan terlebih dulu dalam satu rumah sempit, untuk mendengarkan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang boleh dan tidak boleh dibawa.
ADVERTISEMENT
Dan bahkan si pemberi arahan (saya lupa istilahnya) sampai menceritakan soal Manto. Dia ini orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang berkeliaran di pos 3. Suka meminta makanan dengan paksa, dan kalau tidak diberi akan berani mencuri. Begitu penjelasannya.
"Kalau Manto membahayakan, enggak apa-apa kalian keroyok saja," itu penjelasannya yang menurut saya berlebihan. Kata mereka sih, Manto ini sudah sering dibawa ke dinas sosial namun kabur lagi.
Intinya arahan awal ini cukup memakan waktu. Ada baiknya kawan-kawan yang ingin lewat jalur Suwanting, datanglah lebih awal. Ya, walaupun saat perjalanan balik, ada saja pendaki yang latar belakangnya kebanyakan mahasiswa, baru memulai perjalanan petang hari.
Ilustrasi gembira di atas gunung. Foto Pak Ano.
Merbabu punya ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut (MDPL). Dengan jalur mendatar yang minim sekali. Kemarau makin membuatnya makin sulit didaki.
ADVERTISEMENT
"Suwanting bikin eling," kalau ini istilah Mas Wendi. Memang sepanjang menuju ke pos 3, saya jadi lebih sering mengingat Tuhan. Tersisih paling belakang bareng Fawwaz, biasanya dia akan berada di baris terdepan di tiap trip. Kali ini Fawwaz kepayahan lantaran bebannya lebih berat dari biasanya.
Takbir. Maju satu langkah. Takbir lagi, satu langkah naik lagi. "Berhenti dulu, Jo!" kata Fawwaz, hingga terciptalah momen romantis kami, makan apel menyaksikan senja berlalu.
Foto dulu. Dok Pak Ano
Dengan sisa tenaga dan dorongan doa, saya dan Fawwaz baru berhasil mencapai pos 3 tempat camp, pukul 21.30 WIB. Sebelumnya sudah ada Paul yang sudah mencapai pos 3 pukul 20.20 WIB dan langsung mendirikan tenda.
Disusul kemudian yang lainnya (oh iya di perjalanan ini ada juga Ova, Tama, Reki, Ano, Iqbal "Terminator", dan Icha yang belum disebut-sebut dari awal). Kami (kecuali Reki dan Iqbal yang berjaga di tenda) berhasil mencapai puncak Suwanting, 3017 MDPL lewat pukul 6 pagi keesokan harinya, Minggu (10/9).
ADVERTISEMENT
Sesaat sebelum sampai puncak. Foto Pak Ano
Mas Wen termasuk yang paling semringah. Sebuah pencapaian untuk usianya yang sudah matang setengah abad.
Sebagian besar dari kami memutuskan pencapaian cukup sampai puncak ini, walau Merbabu masih punya puncak yang lebih tinggi. "Hemat tenaga untuk turun," begitu kira-kira alasan Ova.
Dari puncak Merbabu ini, kami bisa menyaksikan keindahan Merapi yang paling deket di sisi kiri. Kemudian agak ke kanan dari jalur kami turun, tampak cukup jauh Gunung Sindoro, Sumbing, dan Bromo.
Sebuah keindahan yang sayang dilewatkan bila tanpa berleha dulu minum teh dan bekal roti. Terlebih bila dengan orang tersayang.
Jalur Suwanting yang katanya sinting ini, naik dan turun sama saja susahnya. Jadi bila ingin menjamahnya, persiapkan fisik, perlengkapan dan kesabaran.
Pak Ano setelah mengevakuasi tasnya Tama. Dok Paul Polos

Apa saja yang perlu dibawa ke Gunung Merbabu?

Kami biasa membuat list detail dengan membaginya menjadi kebutuhan kelompok dan pribadi. Selain dua ini, yang terutama adalah kecukupan logistik. Terutama air. Meski di Merbabu ada pos air, kami tetap membawa air untuk kebutuhan seolah tak ada air di atas.
ADVERTISEMENT
Tenda yang kuat, nyaman, dan mencukupi jumlah tim. Kompor, nesting, hingga fly sheet dan kantong sampah masuk ke kebutuhan kelompok ini.
Angin yang cukup kencang ditambah dingin adalah alasan mesti bawa tenda yang kokoh. Perasan pentingnya tenda inilah yang mendorong saya dan kumpala memboyong tenda Eiger sehari sebelum keberangkatan.
Si penyelamat kami. Foto saya
Sungguh kebetulan ini barang muat untuk bahkan bersepuluh, tenda yang sudah kami bawa tiga, cukup dipasang dua saja. Terlebih sudah sangat larut bila kami mesti repot lagi memasang tenda ketiga.
Nyenyak bangun tidur bossku. Model Iqbal terminator. Foto saya.

Perlengkapan Pribadi

Kebutuhan pribadi ini lebih banyak lagi. Kami membuatnya jadi wajib karena sangat penting fungsinya sepanjang perjalanan. Sebut saja sepatu yang memang buat hiking, sendal, jaket, pakaian, outfit trekking yang cepat kering, jas hujan, carrier dan rain cover, matras sampai sleeping bag. Lalu buff atau masker, sarung tangan, headlamp, trekking pole, perlengkapan makan.
Kurang lebih begini lis saya.
Meski sudah kami buat list pun, tetap saja ada yang terlewat. Saya misal, sehari sebelum berangkat punya firasat untuk beli kacamata dan urung terlaksana. Hasilnya saya berkali-kali menanggung kelilipan sambil menyesal.
ADVERTISEMENT
"Harusnya gue bawa gaiters nih," kata Paul setelah kakinya kemasukan kerikil.
Sedang saya pribadi, hampir seluruh produk yang saya gunakan buat berbagai kegiatan outdoor, memang kebetulan juga Eiger. Maklum harganya enggak bikin galau, kualitasnya juga enggak bikin risau.
Ini perlengkapan pribadi saya.
Bila semua kebutuhan ini sudah dipersiapkan dengan baik, tinggal fisik dalam kondisi sehat. Selebihnya berserah. Oh iya persiapkan hati juga barangkali penting.
Kalau kata Fawwaz, "gunung itu magis". Ia bisa menumbuhkan benih sayang; memperkuat perasaan sayang yang sebelumnya sudah ada. Kalau kami sih tentu memperkuat perasaan sebagai rekan sekantor dan se-kumpala. Toh, kalau ada yang lebih itu semata bonus saja.
Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya!
Ajo Darisman
Sekjen kumpala ✌️
ADVERTISEMENT
Bonus video Paul: