Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Untuk Perempuan yang Melawan
13 Maret 2020 13:38 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Ajo Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Lawan, lawan, lawan patriarki, lawan patriarki sekarang juga!" nyanyian ratusan perempuan itu menggema di sepanjang Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, Minggu pagi (8/3).
ADVERTISEMENT
Nurul Nur Azizah berada di dalam barisan ratusan perempuan yang turun ke jalan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2020 itu. Sedari pagi, Nurul telah berdiri di tengah kerumunan massa tersebut.
Bermodalkan toa, suaranya yang pagi itu terdengar cukup serak tak henti-hentinya melaung. Tangan kanannya memegang mikrofon pengeras suara. Sementara di tangan kiri, sebuah poster bertuliskan 'Cuti haid apa bayar pajak? Cuma bisa lapor setahun sekali' tak hentinya ia angkat tinggi-tinggi.
Jaket berwarna hitam ia gantungkan di leher, lengkap dengan topi terpasang terbalik di kepala. Sembari memberi komando, spanduk yang membentang di depan tetap ia genggam sangat erat.
"Kegelisahanku itu selama ini pertama kayak ruang, keberanian bersuara belum banyak di dunia media. Terutama mereka enggak semua sadar kalau mereka ini buruh, selama ini mereka anteng saja enggak mendapatkan hak mereka. Semangat untuk berjuang itu ya, selama ini serikat pekerja itu enggak ada. Yang membuat perjuangan jurnalis perempuan itu enggak punya media, kita enggak punya tempat untuk bersuara," jelas Nurul berapi-api kepadaku.
ADVERTISEMENT
Pagi itu, jurnalis kumparan ini mengkoordinir puluhan wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen Jakarta. Mereka membawa spanduk dan poster-poster menyuarakan tentang ketidakadilan yang hingga sekarang dialami ratusan jurnalis.
Spanduk itu, yang aku tahu, ia lukis secara manual bersama rekan-rekan hingga pukul tiga dinihari. Berarti ia hanya sempat tidur beberapa jam saja menjelang aksi. Tetapi semangatnya pagi itu tampak sama sekali menolak kalah oleh rasa lelah.
Ia masih saja terlihat begitu menggebu-gebu, sambil sesekali membetulkan posisi toa di pinggangnya, memutar arah topi, atau membuka botol minum, untuk kemudian berteriak lagi dan lagi. Padahal aku sangat yakin, ia pasti lupa untuk sekadar sarapan kala itu.
"Masalah selama ini tu ada ketimpangan juga, tadi enggak cuma jenis kelamin, jurnalis masih didominasi laki-laki, itu isu ngaruh ke ragam gender. Itu ngaruh kepada adanya media yang enggak punya ruang menyusui. Masih liputan saat hamil, terus ketimpangan gaji, terus kesempatan untuk naik di posisi keredaksian yang masih minim," tuturnya.
Bagi Nurul, barangkali rasa lelahnya tak ada artinya dibanding kenyataan yang dihadapi perempuan hingga hari ini. Sejarah panjang perempuan dengan kekerasan jauh lebih penting disuarakan ketimbang tidur manis di kosan.
ADVERTISEMENT
Jangankan untuk berkurang atau bahkan hilang, kasus kekerasan terhadap perempuan malah kian besar jumlahnya. Setidaknya, Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, dalam 12 tahun terakhir jumlah kekerasan itu bahkan meningkat hingga 8 kali lipat.
Kasus yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2019 mencapai 431.471. RATUSAN RIBU. Angka itu naik dari tahun 2018 yang tercatat 406.178 kasus.
"Bahwa dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen," ujar Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin.
Kasus-kasus itu terjadi dengan beragam bentuk. Dari kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kekerasan seksual.
Nurul, sebagaimana yang aku tahu, sangat-sangat menolak ketidakadilan gender itu, khususnya di dalam pembingkaian media. Ia sama sekali tak akan menoleransi pelecehan sedikitpun yang dialamatkan pada perempuan. Di AJI, ia tercatat sebagai Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kaum Marjinal.
ADVERTISEMENT
"Terus juga untuk kegelisahan lainnya itu tadi yang soal selama ini media perlu untuk mendorong secara jernih apa riding the flow, kayak terbawa arus juga untuk gila gilaan klik. Media juga harus jernih ya, terus juga perlindungan korban dan ruu pks dan omnibus law itu perlu dukungan media secara jernih lah, media jadi ruang yang mengkaji dan menjernihkan, enggak cuma mengikuti sensasi," tegasnya.
Selain Nurul, aku juga bertemu Okke Oscar dalam barisan massa itu. Bedanya, dia datang seorang diri. Okke bercerita betapa hingga sekarang bahkan masih banyak yang, jangankan untuk ikut atau sekadar mendukung, ia justru beroleh pesan yang mempertanyakan apa yang ia lakukan.
"Kalian ngapain sih turun ke jalan, apa sih yang dibela?" komentar seorang lelaki sebagai balasan unggahan Okke terkait aksi.
ADVERTISEMENT
"Aku enggak suka cowok yang ignorant," Okke kesal sendiri mendapati pertanyaan itu. "Selama ini lu ke mana aja, kita enggak bahas soal perempuan sekadar minta hak lebih doang," tegasnya.
Komentar senada barangkali juga didapatkan ratusan orang yang membawa semangat keadilan dan kesetaraan gender hari itu. Sebagian orang boleh memandang sinis mereka. Orang boleh saja memandang aksi mereka itu cuma buang-buang tenaga.
Namun semangat Okke dan Nurul ini, jelas menguar dari semua orang yang ikut long march hari itu. Mereka menari-nari di terik panas siang ibu kota, merayakan seolah kedamaian itu telah berada di pelupuk mata.
Meskipun faktanya hingga detik ini patriarki tumbuh subur di tanah air yang kita cintai ini. Negara yang mengumbar slogan keadilan sosial. Di mana pelecehan masih mendapat pemakluman. Korban pemerkosaan malah dibikin tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi. Kenapa mereka tak melawan, atau kenapa berpakaian seperti itu, mengundang inilah, memancing itulah.
ADVERTISEMENT
Bahkan untuk melawan saja butuh waktu yang panjang dan tenaga yang tak sedikit. Baiq Nuril mesti berhadapan dengan hukum bertahun saat ia berani mengungkapkan pelecehan yang ia terima.
Di luar sana, tak sedikit Baiq Nuril yang memilih bungkam lantaran takut, merasa malu atau bahkan karena merasa sendirian.
Kekerasan demi kekerasan itu bahkan sebagian besar terjadi di lingkaran terdekat. Di tempat kerja, di lingkungan masyarakat, di rumah, hingga dalam hubungan percintaan.
Belum lagi tembok penghalang kesetaraan mengatasnamakan kodrat. Untuk yang satu ini bahkan kerap kali datang dari sesama perempuan sendiri. Aturan yang tanpa jelas wujudnya itu mengakar begitu kuatnya di tengah masyarakat.
Belum lagi hal-hal serius yang sering kali dipandang remeh. Suat suit di jalan. Menggoda perempuan sebagai kebanggaan atas maskulinitas mereka rasa sudah dipunyai. Memandang tubuh perempuan sebagai objek belaka. Mematok standar kecantikan tertentu. Dan masih banyak lagi. Masih masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Di tengah kepungan labirin itu, masih juga berbagai regulasi pemerintah yang mereka hadapi. Sebut saja Omnibus Law Cilaka yang meski diubah jadi Cika pun, sama sekali tak menampakkan keramahan. Belum lagi RUU Ketahanan Keluarga. Sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung disahkan.
Di hadapan bermacam tembok penghalang ini, boleh jadi aksi mereka hanyalah oase di tengah padang pasir. Tetapi oase ini lah yang justru sangat sangat kita perlukan sekarang ini.
"Aku merinding sebenarnya, karena ternyata masih banyak masalah yang selama ini tu terjadi, maksudnya kenapa orang repot turun ke jalan kalau enggak ada masalah, ada banyak kegelisahan yang kemudian tumpah ruah di jalanan. Ada yang diperkosa sampai lebam dan aku disalahkan, itu kayak ngerasa kesakitan," ujar Nurul mengutarakan yang ia rasakan saat menjadi bagian dalam aksi.
Seperti Nurul, Aku dan mungkin saja ada banyak orang lain di luar sana belajar banyak dari apa yang mereka perjuangkan. Atau setidaknya, apa yang mereka tunjukkan membuatku untuk lebih menghargai keberadaan semua yang hidup di sekitar kita, untuk lebih menerima perbedaan-perbedaan yang ada. Untuk minimal mulai menerima dan mencintai diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Untuk para perempuan khususnya, jangan pernah takut bersuara. Kalian tidak sendiri, masih banyak di luar sana yang menginginkan hal sama.
Sudah waktunya bagi kita untuk tidak memberikan kesempatan cikal bakal kekerasan, ketidakadilan, langgeng di atas dunia yang hanya sementara kita nikmati ini!
Demi mendapati apa yang disebut John Winston Lennon sebagai 'live ini peace'.
"Jurnalis, ayo berserikat ya! ajak Nurul dengan begitu semringah.