Konten dari Pengguna

Yang Fana Sapardi, Puisinya Abadi

Ajo Darisman
~Sebab life sesungguhnya laif.
19 Juli 2020 19:11 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajo Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sapardi Djoko Damono. (Foto : twitter @Em_Alwi_A)
zoom-in-whitePerbesar
Sapardi Djoko Damono. (Foto : twitter @Em_Alwi_A)
ADVERTISEMENT
Takdir kini membawa Sapardi Joko Damono menuju bait puisi Pada Suatu Hari Nanti. Pagi hari di 19 Juli, ia pulang menuju peristirahatan abadi. Jasadnya kini tak akan ada lagi. Bersemayam di palung bumi. Berangkat ke pangkuan ilahi.
Sepanjang hidup Sapardi adalah penyair cum akademisi. Namanya harum lewat bait demi bait puisi. Yang juga dilantunkan dalam lirik-lirik musikalisasi.
Menjadi tua karena hitungan angka agaknya tak berlaku bagi Sapardi. Ia justru jadi sosok eyang bagi jutaan generasi hari ini. Kalau saja Rendra masih hidup, ia sudah pasti iri. Menyaksikan Sapardi bermain TikTok, aplikasi populer masa kini.
Orang boleh jadi tak akrab dengan sosoknya secara pribadi. Tapi, siapa tak kenal karya Sapardi. Sekali dua kali pasti puisinya dipakai untuk meluluhkan pujaan hati.
ADVERTISEMENT
Saya telah membuktikan sendiri. Bagaimana lirik-lirik Aku Ingin itu jadi amunisi mencurahkan isi hati.
Di tangan para mahasiswa sastra, puluhan karyanya itu melahirkan skripsi. Di tangan para penyair, puisi-puisinya melahirkan puisi lagi. Di tangan para desainer undangan, puisi itu jadi kalimat pembuka hari bahagia dua sejoli.
Orang-orang sedemikian rupa menghayati ketabahan Hujan Bulan Juni. Jadi wadah melampiaskan patah hati. Atau menjelma keagungan bagi para Gemini. Di mata mereka, hujan di bulan Desember kalah arti.
Memang benar, jasadnya kini tak ada lagi.
ADVERTISEMENT
Memang benar, suaranya tak terdengar lagi.
Dan memang benar dia tak abadi.
Namun puisinya sungguh abadi. Tertuang dalam puluhan skripsi.
Dalam kalimat pembuka undangan pernikahan. Dalam jalinan asmara dua insan.
Dalam hati yang tengah kehilangan. Atau paling tidak, jadi penghias dinding omprengan dan angkutan.
Selamat jalan penyair. Yang fana Sapardi, puisimu abadi!