Konten dari Pengguna

Eufemisme: sebagai Pola Bahasa Para Elite Politik

Akhlis Nastainul Firdaus
Aktivis Mahasiswa Peneliti Surabaya Academia Forum (SAF) Universitas Muhammadiyah Surabaya
1 Februari 2024 9:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhlis Nastainul Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pidato politik. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pidato politik. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai eufemisme tentu tidak terlepas dari konteks bahasa yang digunakan oleh manusia sebagai alat berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Awalnya, gaya bahasa eufemisme ini hanya digunakan pada tataran adat budaya dan istiadat dalam kehidupan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi penggunaan bahasa yang komunikatif.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, lambat laun telah terjadi distorsi sosial akibat perkembangan bahasa yang begitu signifikan dan cenderung kebablasan membuat pesan yang ada dalam suatu proses komunikasi menjadi kabur dan rancu. Hal seperti ini sangat tampak dalam tataran elite politik. Bagi para elite politik bahasa bukan hanya semata-mata digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi bahasa juga dapat digunakan dalam proses sosial politik yang dapat membentuk tema-tema wacana tertentu yang bertujuan untuk menutupi suatu realita, mengkritisi lawan politik atau untuk melanggengkan kekuasan (Evert Vedung : 1982: 131).
Akhir-akhir ini, fenomena eufisme tersebut bahkan seolah-olah sudah menjadi konsumsi dan komoditas para elite politik sebagai pola bahasa yang sudah melembaga di setiap instansi elite politik untuk menutupi suatu fakta dan menjaga image yang baik di mata masyarakat.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, telah terjadi dikotomi kekuasaan serta tarik menarik kepentingan antara elite politik dengan masyarakat luas yang berbenturan dengan kepentingan golongan tertentu. Seperti yang dikatakan oleh pernyataan ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan sebagai suatu proses dominasi dan penggunaan kekuasaan sebagai sarana utama politik, penggunaan bahasa dapat merefleksikan bagaimana kekuasaan itu digunakan.
Eufemisme adalah suatu bentuk ungkapan yang digunakan untuk meredam atau menyamarkan makna yang kurang menyenangkan, keras, atau kontroversial dengan menggunakan kata-kata yang lebih lembut atau diplomatis. Dalam konteks politik, elite politik seringkali menggunakan eufemisme untuk mengubah cara suatu konsep atau kebijakan diungkapkan agar terdengar lebih positif atau lebih dapat diterima oleh masyarakat.

Contoh eufemisme dalam bahasa politik:

"Pemotongan Anggaran" untuk "Efisiensi Anggaran"

Sebuah kebijakan pengurangan belanja pemerintah dapat diungkapkan dengan lebih positif menggunakan istilah "efisiensi anggaran" untuk mengurangi dampak negatifnya.
ADVERTISEMENT

"Reformasi Pendidikan" untuk "Pemotongan Dana Pendidikan"

Jika pemerintah mengurangi anggaran pendidikan, mereka mungkin menggunakan istilah "reformasi pendidikan" untuk menyampaikan kebijakan tersebut dengan nuansa yang lebih positif.

"Penyesuaian Tarif" untuk "Kenaikan Pajak"

Kenaikan pajak dapat diringankan dengan menggunakan istilah "penyesuaian tarif" agar terdengar lebih halus.

'Pertukaran Pendapat' untuk 'Konflik Diplomasi"

Dalam hubungan internasional, pertukaran pendapat dapat digunakan untuk merujuk pada konflik diplomatik antara negara-negara.
Penggunaan eufemisme oleh elite politik dapat memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan meredam ketegangan sosial. Namun, pada saat yang sama, beberapa kritikus berpendapat bahwa penggunaan eufemisme dapat menyesatkan atau mengaburkan fakta sesungguhnya.