Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Inovasi Kebijakan Keluar dari Kutukan Sumber Daya Alam di Bojonegoro
31 Agustus 2020 12:33 WIB
Tulisan dari Ahmad Sholikin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagaimana tertuang pada Undang Undang no. 22/1999 dan revisinya pada UU no. 32/2004 menjadi salah satu landasan perubahan sistem tata-kelola pemerintahan (governance system) yang penting dalam sejarah pembangunan politik dan administrasi pengelolaan wilayah secara nasional di Indonesia. Konsep otonomi daerah secara eksplisit ataupun implisit hendak mengedepankan cita-cita penegakan prinsip-prinsip demokrasi (kesetaraan, kesejajaran, etika egalitarianisme), keunggulan lokal, keberagaman, prinsip bottom-up.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan utama penerapan desentralisasi di Indonesia oleh pemerintah pusat (Jakarta) setelah jatuhnya rezim Soeharto yang terpusat dan otoriter adalah tuntutan untuk pemisahan diri, dengan berbagai tingkat dan luasan, dari provinsi-provinsi kaya sumber daya, seperti Aceh, Papua, Riau, dan Kalimantan Timur yang telah menantang pemerintah pusat selama beberapa dekade (Tadjoeddin, 2014). Daerah-aerah tersebut dalam studi ekonomi politik disebut mengalami “resource curse”(kutukan sumber daya alam). Ada situasi terbalik (kontradiktif-kontraproduktif), dimana daerah dengan sumber daya alam (natural resouses) melimpah, namun memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Pemerintahan yang baik dan demokratis merupakan aspek penting dalam mengatasi kutukan sumber daya alam (Ross, 2012), sehingga penting untuk mengelaborasi tata kelola industri ekstraktif dalam konteks politik desentralisasi. Pengalaman Kabupaten Bojonegoro menarik untuk dijadikan kajian dalam melihat bagaimana inovasi kebijakan tata kelola industri ekstraktif pada level lokal, karena beberapa alasan;
ADVERTISEMENT
Pertama, Minyak dan Gas Bumi di Bojonegoro saat ini menyumbang 210 ribu barel dari kebutuhan minyak secara nasional sebanyak 750 ribu barel per hari. Kontribusi Minyak yang besar maka berimplikasi pada Dana Bagi Hasil Migas yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro. Nilai DBH Migas Bojonegoro sebesar Rp2,6 triliun lebih (Rp2.668.110.378.000), ditambah dengan pendapatan DBH Migas Triwulan IV sebesar Rp 300 miliar dan ditambah dengan SILPA tahun anggaran 2018 Rp 500 miliar maka jumlah APBD Bojonegoro tahun 2019 mencapai Rp 5,7 triliun. Perlu diketahui bahwa sebelum adanya pendapatan Minyak dan Gas Bumi tersebut Bojonegoro merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan yang tertinggi di Jawa Timur.
Kedua, Bojonegoro dengan hasil DBH Migas yang luar biasa tersebut telah melakukan inovasi kebijakan terkait dengan tata kelola industri ekstraktif, seperti meningkatkan transparansi dalam pendapatan Minyak dan Gas Bumi, perencanaan pembangunan partisipatif dan berkelanjutan, menerapkan distribusi dana minyak dan gas ke pedesaan, memperkenalkan gagasan Dana Abadi Minyak dan Gas Bumi serta konten lokal.
ADVERTISEMENT
Transparansi dalam Pendapatan Minyak dan Gas Bumi
Pemerintah daerah Kabupaten Bojonegoro berusaha meningkatkan transparansi dalam pendapatan Minyak dan Gas melalui Peraturan Daerah No. 28/2012. Aspek kunci dari mekanisme ini adalah; komite transparansi, agenda kerja tahunan, akses inklusif informasi dan sosialisasi serta publikasi informasi.
Pembentukan Komite Transparansi Minyak dan Gas Bumi pada tingkat kabupaten, yang diisi oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil. Pembentukan agenda kerja tahunan yang mengoordinasikan manajemen transparansi industri ekstraktif dan disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan. Mendorong akses inklusif terhadap informasi yang terkait dengan transparansi industri ekstraktif minyak dan gas. Pelaksanaan sosialisasi dan publikasi informasi terkait ekstraksi minyak dan gas, khususnya pendapatan minyak dan gas (DBH dan Kepentingan yang Berpartisipasi), informasi sosial dan lingkungan - termasuk peluang kerja, rencana tanggap darurat, AMDAL, dan juga informasi program CSR.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ruang lingkup informasi yang didorong untuk transparan mencakup: Informasi terkait pendapatan minyak dan gas bumi seperti DBH, pajak, minat partisipasi, standar manajemen lingkungan, standar keadaan darurat yang melibatkan semua tahap proses mulai dari pra-konstruksi, konstruksi, pengeboran, operasi produksi dan pasca operasi, dan Tanggung jawab sosial perusahaan termasuk persentase dan jumlah anggaran CSR.
Inovasi dalam Perencanaan Partisipatif dan Berkelanjutan
Bojonegoro mengundang para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam Perencanaan Partisipatif dan Berkelanjutan. Skema ini sebenarnya bukan keunikan Bojonegoro tetapi bekerja lebih bermakna di kabupaten itu. Perencanaan Pembangunan Sosial dan Ekonomi Lokal (LSED) digunakan untuk Rencana Pembangunan Daerah Berkelanjutan (RPDB), yang melibatkan: pertama, prioritas pembangunan. Kedua, daftar program dan kegiatan yang tersedia untuk periode lima tahun, dan tersedianya akuntansi anggaran.
ADVERTISEMENT
Kabupaten Bojonegoro memiliki dua prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Daerah Berkelanjutan (RPDB) yaitu (a) peningkatan standar pendidikan dan kesehatan untuk pengembangan sumber daya manusia, (b) Peningkatan basis sektor ekonomi di bidang pertanian dan UMKM. Pemerintah daerah mengatur untuk menginvestasikan kembali pendapatan minyak dan gas di dua basse sektor ekonomi sehingga sektor tersebut dapat mendukung ekonomi masyarakat.
Inovasi dalam Distribusi Dana Minyak dan Gas ke Perdesaan
Pemerintah daerah Bojonegoro berusaha menjaga keseimbangan dan kesetaraan daerah di dalam kabupaten dengan menerapkan Distribusi Dana Minyak dan Gas ke Daerah Pedesaan. Sebenarnya, pemerintah Indonesia telah merancang instrumen untuk Dana Alokasi Pedesaan (ADD). Instrumen ini diatur dalam Peraturan Daerah melalui Peraturan Domestik No. 37/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Pedesaan. Pedoman tersebut menyatakan peraturan wajib tentang alokasi minimum untuk tingkat pedesaan (ADD) menjadi 10 persen dari total anggaran APBD. Dana alokasi pedesaan diimplementasikan untuk meminimalkan risiko kegiatan ekstraksi pertambangan yang ditanggung oleh desa-desa di sekitar lokasi, termasuk kerusakan infrastruktur (jalan, dll), kerusakan lingkungan, bencana terkait ekstraksi, dan konflik sosial. Dengan demikian, pemerintah daerah secara kuat mengatur DBH untuk kabupaten dan desa melalui Peraturan Bupati No. 31/2009 tentang Pedoman Alokasi Anggaran Proporsional Pedesaan berdasarkan Koefisien Variabel di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Peraturan Bupati terdiri dari dua tujuan, termasuk (a) meningkatkan alokasi ADD dari total ADD reguler. Terlepas dari alokasi ADD reguler dari APBD, tambahan 12,5 % dari total DBH tahunan untuk ADD minyak dan gas diterima oleh Pemerintah Daerah Bojonegoro. (b) Prioritas alokasi anggaran untuk desa-desa yang berdekatan dengan situs ekstraksi minyak. 12,5 persen anggaran ADD dialokasikan sebagai berikut: desa-desa penghasil (12,5 %), desa-desa ring I (10 %), desa-desa ring II (7,5 %), desa-desa lain (70 %). Sehingga masing-masing desa di Bojonegoro mendapatkan anggaran yang jauh lebih tinggi daripada alokasi anggaran ADD reguler sebelum ADD migas diimplementasikan.
Konten Lokal
Pemerintah daerah Bojonegoro mendukung inisiatif Konten Lokal untuk menjamin bahwa manfaat dari kegiatan ekstraksi akan mengalir ke bawah bagi masyarakat lokal dan pengusaha lokal. Melalui Peraturan Daerah No. 23/2011 tentang Optimalisasi Konten Lokal, pemerintah daerah bertujuan untuk melibatkan dan memberdayakan semua potensi lokal dalam operasi pertambangan seperti tenaga kerja lokal, peralatan, dan material. Premis inovasi konten lokal adalah untuk menghasilkan manfaat dan penciptaan lapangan kerja yang lebih tinggi bagi masyarakat lokal di Bojonegoro.
ADVERTISEMENT
Dana Abadi Minyak dan Gas Bumi
Pada tahun 2014, Pemerintah Bojonegoro merumuskan naskah akademik Dana Abadi Migas dan mengonsultasikannya ke Kementerian Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Keuangan. Pada tahun 2016, Raperda Dana Abadi Migas masuk ke dalam program legislasi di DPRD Kabupaten Bojonegoro. Target besaran dana sebesar 20 - 25 miliar rupiah per tahun yang akan dikumpulkan dalam kurun waktu 30 tahun, di tambah 20 tahun (Bojonegoro Institute, 2016). Raperda dana abadi migas telah selesai dibahas di level Kabuapten Bojonegoro, namun berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah sebuah Perda harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Sehingga raperda dana abadi migas tersebut dikirimkan ke Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, namun Pemprov Jatim menolak rapeda tersebut karena; pertama pembentukan dan pengelolaan dana abadi migas lebih dari 50 tahun, sehingga tidak masuk dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD). Kedua, raperda Dana Abadi Migas bersifat mengikat atau dibuat untuk tidak boleh dilakukan perubahan. Padahal masing-masing Bupati yang menjabat memiliki kebijakan yang berbeda. Ketiga, Dana Abadi Migas belum memiliki dasar hukum yang kuat atau tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur (Radar Bojonegoro : 2018).
ADVERTISEMENT
Catatan Akhir
Dari berbagai inovasi kebijakan tata kelola industri ekstraktif di Kabupaten Bojonegoro, kita dapat belajar beberapa hal. Pertama-tama, desentralisasi membuka jalan bagi inovasi di tingkat lokal. Bojonegoro dapat melakukan langkah-langkah inovatif dalam mengelola pemerintahan mereka di bawah otoritas desentralisasi. Sulit terjadi dalam pemerintahan yang terpusat. Namun demikian, Pelajaran yang didapat dari implementasi kebijakan berbasis konten lokal di Bojonegoro juga menekankan bahwa pemerintah pusat harus meningkatkan kewenangan yang lebih asimetris untuk wilayah yang kaya sumber daya di Indonesia. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah pusat memegang peran penting dalam mempromosikan atau menghambat inovasi di tingkat lokal. Inovasi dan reformasi tidak berarti apa-apa tanpa koordinasi yang baik dan dukungan pelengkap antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu, peran agen yang berkomitmen, baik bupati dan birokrasi lokal dan organisasi masyarakat sipil yang kuat, sangat penting.
ADVERTISEMENT