Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Maleficence Demokrasi Indonesia
9 April 2022 8:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Al Mukhollis Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Publik masih menyayangkan di halaman Nusantara tentang tanggapan Presiden Jokowi dinilai yang belum menunjukkan ketegasan mengenai wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Ditandai dengan maraknya gerakan demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini, angka sebesar 4.660.000 dengan kata kunci ‘tolak penundaan pemilu’ dan angka sebesar 8.130.000 dengan kata kunci ‘tolak presiden tiga periode’ yang dikeluarkan oleh Google per 04/08/2022, pukul 05:23 WIB.
ADVERTISEMENT
Rakyat tidak inginkan terbentuknya kontras akan ketegasan dan kebijaksanaan seorang kepala negara tentang prinsip dasar reformasi, spirit reformis, dan nilai demokrasi kedaulatan rakyat. Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak terlalu buruk tanggapan berubah-ubah demikian. Artinya pertimbangan besar terhadap kondisi masyarakat dengan tujuan negara dan percaturan global yang diabadikan dalam konstitusi sedang bergejolak dalam pikiran presiden.
Namun ketidaktegasan sikap dan tanggapan bermuatan multitafsir dari Jokowi (khususnya dua tanggapan terakhir) tidak bisa dipungkiri telah memicu kemarahan publik. Tanggapan pertama bernada penolakan dari Jokowi tentang wacana tiga periode; kedua, tanggapan bernada kecaman bahwa memunculkan narasi tersebut adalah ulah orang-orang yang mencari muka atau ingin menampar wajah presiden; ketiga, tanggapan bernada luwes terhadap demokrasi bahwa boleh-boleh saja siapapun menyuarakannya; dan termutakhir adalah menyerukan pengisi kabinet agar tidak lagi memunculkan narasi tunda pemilu maupun presiden tiga periode.
ADVERTISEMENT
Setelah pertunjukkan berbagai tanggapan di atas, Jokowi harus bermain cerdas dan tegas dengan mengingatkan bahwa demokrasi bukanlah alat untuk melanggengkan birahi kekuasaan. Ini merupakan prinsip dasar yang didefinisikan oleh konstitusi. Selanjutnya, Presiden Jokowi nampaknya sedang dikelilingi oleh para pembelot yang hendak menyembunyikan bagian dari sejarah. Jangan tersinggung, UU Omnibus Law dan mengambil alih demokrasi daerah/deotonomisasi (menggeser pilkada 2022 dan 2023 menjadi pilkada serentak pada tahun 2024) merupakan puncak dari pembalikan standar demokrasi dan konstitusi di Republik Indonesia pasca-reformasi.
Dua praktik di atas adalah kondisi kelam pasca-reformasi 1998, mengantarkan kita pada mimpi buruk sejarah di masa Orde Lama dan Orde Baru yang mengalami maleficence demokrasi di Indonesia. Produksi kehancuran yang tak henti-hentinya dalam bentuk perang ‘birahi’ telah membuka topeng musuh lama Indonesia; mafia kapitalisme dan mafia depedensi berwajah baru.
ADVERTISEMENT
Kejahatan demikian melakukan apa pun yang diinginkan dan bahwa setiap saat dapat meledakkan ilusi homogenitas serta membuka kran kejahatan lebih besar. Sialnya nama demokrasi secara tergesa-gesa ditempelkan padanya yang bertemu dengan generasi muda nan dilanda krisis identitas.
Momen ofensif dari skandal konstitusi yang mengatasnamakan demokrasi telah terputus dengan konsensus semu. Berdiri di gapura kedaulatan rakyat dan menegaskan ke halaman nusantara bahwa kemahakuasaan elit (politik, pengusaha, dan purnawirawan) telah menjungkirbalikkan standar demokrasi reformis.
Kejahatan terhadap kedaulatan rakyat mengingatkan kita bahwa musuh lama Indonesia tengah bertumbuh subur: otoriterianisme / totaliterisme. ORBA memang musuh, seperti halnya ORLA, di mana kekuasaan diarahkan untuk melanggengkan birahi kuasa. Tetapi akan konyol untuk percaya bahwa pelanggengan kekuasaan tidak berjalan lurus dengan totaliterisme / otoriterianisme.
ADVERTISEMENT
Mutasi kejahatan maleficence demokrasi juga nampaknya sedang bekerja disetiap aspek ekonomi sosial. Memanifestasikan dirinya di tempat terbuka dengan praktik pengingkaran yang memalukan. Dan jika kita baru menemukan bahwa ‘birahi’ mereka sangat kotor, itu karena dalam beberapa tahun terakhir kita tertidur dan ketel neraka terus mengisi serta membakar harapan akan cita negara, sebuah negeri yang sejahtera dan makmur rakyatnya.
Bencana ini terus-menerus, maleficence demokrasi mengambil alih semua tindakan, kapitalisme dan depedensi terintegrasi melahap kehendak masyarakat sekecil apa pun. Semuanya terjadi dalam kegelapan, dari waktu ke waktu lampu menyala lagi, kemudian kita melihat kebijakan-kebijakan aneh yang tidak pro-masyarakat kecil dan tata kelola buruk (un-governance).
Kurang lebih kita seperti berada dalam konteks yang sama dengan ORLA dan ORBA, bahkan mendahului desain dan adopsi pola keduanya. Konstitusi telah berubah empat kali, tetapi serangannya memiliki sifat yang sama: ekonomi, politik, dan sosial. Meskipun ada perbedaan dari jiwa zamannya, namun hari ini Indonesia memiliki generasi muda dengan kondisi krisis identitas yang mengalami puncaknya dari dentuman covid-19.
ADVERTISEMENT
Realitas yang terbentuk dari praktik-parktik di atas adalah kerusakan demokrasi di nusantara, kalau dilanjutkan tentu akan sangat sukar memperbaikinya lagi. Salah satu langkah mengakhiri kecamuk publik dan memastikan prinsip reformasi serta menegakkan dasar dan pilar demokrasi, Presiden Jokowi hendaknya meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas ulah menteri-menterinya. Dan jika perlu bersih-bersih kabinet, silahkan dilakukan.
Apabila sejumlah politisi, aktivis, akademisi, dan lainnya pernah meminta Negara untuk minta maaf terhadap PKI atau sebagaimana Belanda melontarkan permintaan maaf kepada Indonesia, maka dalam konteks wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode yang dikemukakan oleh menteri-menterinya, perlu Presiden Jokowi lakukan permintaan maaf atas nama kepala pemerintahan.
Tindakan demikian sangatlah mulia, tegas dan menentramkan, serta sebagai bentuk komitmen menjaga kualitas demokrasi Indonesia yang sedang mengalami kemerosotan signifikan agar sehat berkedaulatan rakyat dan konstitusional.
ADVERTISEMENT