Konten dari Pengguna

Sang Pembaharu Suntan Singajuru Satu

Alfi Rahmadi
Peneliti independen dan Social entrepreneurship
3 Oktober 2022 11:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfi Rahmadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Letkol Moehammad Moeslimin Suntan Singajuru (Dok. Erwin Moeslimin Singajuru)
zoom-in-whitePerbesar
Letkol Moehammad Moeslimin Suntan Singajuru (Dok. Erwin Moeslimin Singajuru)
ADVERTISEMENT
Bung Karno mungkin tenang-tenang saja akan nasib rakyat Sumatera Selatan setelah kejatuhannya melalui Sidang Istimewa MPRS, 7 Maret 1967, berkat keteguhan para tokoh wilayah tersebut, antara lain Letkol Moehammad Moeslimin Suntan Singajuru. Ia tokoh kunci Baturaja, pusat kekuasaan tepian Sungai Ogan dan Sungai Komering; ia juga Raja Adat Buay Pematang Ribu Ranau di Sumatera Selatan.
ADVERTISEMENT
Ketenangan Bung Karno yang terkenal paling tidak tenang untuk urusan persatuan dan kesatuan bangsa antara lain berpijak pada stabilitas Sumatera Selatan setelah bergabung dengan RI pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS) yang hanya berjalan sekitar delapan bulan, Desember 1949-Agustus 1950.
Pada zaman sistem pemerintahan federal, Negara Sumatera Selatan yang dipimpin Abdul Malik dan berdiri pada 30 Agustus 1948 tidak mengalami gejolak yang signifikan. Bersama sejumlah tokoh lainnya, Letkol Moehammad Moeslimin turut mendorong bergabung kembali ke pangkuan RI sejalan dengan animo hampir semua negara bagian dan daerah otonom RIS untuk kembali, kecuali Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur bergejolak sengit.
Sejarah Indonesia mencatat: Negara Sumatera Selatan tergolong federasi RIS paling awal yang bergabung kembali pada Maret 1950 atau sekitar lima bulan lebih sebelum Bung Karno secara resmi membubarkan RIS--dan kelak muncul istilah NKRI.
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu menandai cikal-bakal terbentuknya Ogan Komering Ulu (OKU) sebagai kabupaten yang berpusat di Baturaja. Dimulai dari terbitnya UU No. 11 Tahun 1950 tentang Pembubaran Negara Bagian Sumatera Selatan dan Perppu No.3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Sumatera Selatan menjadi provinsi. Kelak sembilan tahun kemudian, daerah-daerah kabupaten di provinsi ini berdiri melalui UU No. 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Kotapraja di Sumatera Selatan.
Pada zaman itu luas OKU lebih dari 13.600 km persegi; membentang hampir sembilan kali lipat dari luas London sekarang atau sekitar 103 persen dari luasnya Tokyo sekarang. Sebagai pintu gerbang terdepan memasuki Provinsi Lampung dari sepanjang Pulau Sumatera, asumsi luas ini akumulasi dari luasnya OKU yang telah dimekarkan pasca 1998 berupa Kabupaten OKU Timur dan OKU Selatan.
ADVERTISEMENT
Dengan bentang geografis tersebut hampir tidak ada penolakan berarti dari kalangan federalis yang bertumpah darah OKU untuk kembali ke pangkuan RI.
Pada zaman Orde Lama sampai pertengahan Orde Baru, ketokohan Letkol Moehammad Moeslimin begitu menonjol bukan semata pengalaman kemiliterannya turut berjuang pada zaman pra kemerdekaan dan revolusi fisik, tetapi ia generasi paling menonjol dari Pangeran Singajuru, raja pertama wilayah Danau Ranau pada zaman Nusantara yang kelak membentuk marga tersendiri; disebut Marga Ranau.
***
Keraton Adat Saibatin Marga Ranau 2017 (Dok.Ditjent Kebudayaan Kemendikbud RI)
Ranau sebetulnya nama danau tektonik, kini luasnya lebih dari 129 km persegi yang membentang dari perbatasan OKU Selatan sampai Lampung Barat; terbesar kedua setelah Danau Toba seantero Sumatera.
Sebagai sumber kehidupan, sejak zaman Nusantara pesisir di sepanjang Danau Ranau telah menjadi pemukiman masyarakat hingga membentuk sistem kekerabatan bagi generasinya dan menjadi sistem pemerintahan kemargaan.
ADVERTISEMENT
Keraton/Istana Adat Saibatin Marga Ranau di Desa Jepara Tua di OKU Selatan yang dibangun Pangeran Singajuru pada abad ke-15 menjadi supemasi pemerintahan tersebut. Istana ini muncul sezaman dengan Kesultanan Malaka, Cirebon, dan Demak; menjadi keraton tertua di daerah Ranau dan jauh lebih tua dari Kesultanan Palembang Darussalam yang berdiri pada pertengahan abad ke-17.
Dalam spektrum politik, keberadaan keraton ini mematahkan klaim sejarah dan generalisasinya. Ia mematahkan klaim para arkeolog dan sejarahwan bahwa pemerintahan corak Islam di bumi Sriwijaya telah tumbuh sejak awal abad ke-16 yang merintis berkembanganya Islam di pedalaman Sumatera Selatan dan kelak memang berpuncak dengan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Padahal corak tersebut telah tumbuh pada abad sebelumnya yang dikonfirmasi melalui keraton ini.
ADVERTISEMENT
Keberadaannya juga mengonfirmasi minimnya sumber sejarah situasi Palembang pasca runtuhnya Majapahit pada dekade kedua abad ke-16. Pada masa akhir kekuasaan Majapahit dan bahkan jauh sebelumnya, yaitu pasca kejatuhan Sriwijaya pada awal abad ke-11, corak pemerintahan di keseluruhan Sumatera Selatan mesti dibedakan dengan pusatnya di Palembang.
Setelah Sriwijaya runtuh, pemerintahan di pedalaman Sumatera Selatan tumbuh dalam bentuk pemerintahan adat yang dirintis leluhur suku-sukunya dan kelak membentuk marga di hulu-hilir sembilan sungai besarnya besarnya, dikenal dengan sebutan “Sungai Batanghari Sembilan”, serupa dengan nama Sungai Batanghari di Jambi.
Di sepanjang sembilan tersebut, suku-sukunya memiliki tradisi kuat pada aktivitas perladangan akibat timbulnya telasokrasi, yakni kekuasaan maritim Asia Tenggara namun menggantungkan kehidupan pada sektor agrotropis.
ADVERTISEMENT
Corak ekonomi semacam itu lahir sejak periodisasi kedua Imperium Sriwijaya pada akhir abad ke-8 yang dikenal dengan pemerintahan dua kaki: raja-raja Dinasti Syailendra berkuasa di Imperium Sriwijaya sekaligus di Kerajaan Madang/Mataram Kuno.
Dua maharaja pertamanya, Sri Dharmatungga/Raja Wisnu dan Dharanindra/Raja Indra (kadang dianggap orang yang sama), melebarkan sayap kekuasaan politik ke Semenanjung Malaya melalui penaklukan Thailand selatan dan Indochina melalui penaklukan Kerajaan Chenla di Kamjoba sebagai penerus Kerajaan Funan sampai penaklukan Kerajaan Champa yang kini menjadi Vietnam bagian tengah dan selatan.
Di Jawa, pada periodisasi kedua Imperium Sriwijaya ini telah menggusur pengaruh Hindu yang sebelumnya dikuasai Dinasti Sanjaya yang berpusat di Jawa Tengah bagian selatan sekaligus menandai dimulainya internasionalisasi Madang/Mataram Kuno. Itulah kenapa Madang juga mengklaim kekuasaan mereka menjangkau Semenanjung Malaya dan Indochina, karena raja-rajanya merupakan Sri Maharaja Imperium Sriwijaya.
ADVERTISEMENT
Bila di Swarnadwipa telasokrasinya lebih pada perladangan, di Yawadwipa (Jawa) lebih pada pertanian. Swarnadwipa, istilah India klasik untuk menyebut Sumatera dan merujuk secara spesifik pada kekayaan emas Kepulauan Indonesia sebelum istilah Nusantara muncul pada zaman Majapahit.
Setelah Sriwijaya runtuh, di Swarnadwipa bagian selatan, kini Sumatera Selatan, pemerintahan adat suku-suku cenderung otonom. Mereka tidak tunduk pada Kekuasaan Palembang yang pada zaman itu tengah dianeksasi oleh Kerajaan Madang dari Dinasti Isyana yang memindahkan kekuasaan Madang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Watak otonom suku-suku di Sumatera Selatan terus berlangsung saat Palembang dikuasai oleh Majapahit dan sempat diperebutkan oleh Kerajaan Sunda yang berakhir pada akhir abad ke-16; termasuk tidak tunduk dengan sejumlah pemerintahan Islam di Jawa seperti Demak, Cirebon, Banten, Pajang dan Mataram Islam. Bahkan dalam kasus Marga Ranau, mereka tidak tunduk pada kekuasaan Palembang Darussalam.
ADVERTISEMENT
Memang pada abad ke-16 itu atau setelah Majapahit jatuh dan sebelum kemunculan Palembang Darussalam, Kekuasaan Palembang sering sekali dicap sebagai negara penyanggah (buffer state) Demak sebagaimana yang distempel oleh sejarahwan Belanda spesialis kajian Jawa, Hermanus Johannes de Graaf.
Cap itu tidak salah bila tidak mengeneralisir keseluruhan Sumatera Selatan karena psikologis-politik Palembang memang intim dengan Demak melalui ketokohan satu ini: Sultan Akbar Al-Fattah atau dikenal Raden Patah atau Raden Bagus Hasan (lahir 1455 dan wafat 1518) alias Jin Bun, pendiri dan sultan pertama Demak.
Ia putra dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit dari hasil perkawinannya dengan seorang selir Tionghoa, Siu Ban Ci, zaman Majapahit menguasai Palembang dipimpin Adipati Arya Dillah atau Arya Damar alias Swan Liong, putra Maulana Hasanuddin, pendiri dan sultan pertama Kesultanan Banten.
ADVERTISEMENT
Siu Ban Ci ini putri dari Tan Go Hwat, dikenal dengan nama Syaikh Bentong atau Kiai Batong, ulama dan saudagar Gresik. Ia putra Syaikh Quro atau Syaikh Mursahadatillah, putra Syaikh Yusuf Siddiq, seorang ulama besar di Champa.
Babat Tanah Jawa mengisahkan: karena Permaisuri Brawijaya V cemburu, yaitu Ratu Dwarawati Putri Champa, terpaksa sang suami memberikan Siu Ban Ci untuk dinikahi Arya Damar, adipatinya di Palembang, tetapi sudah hamil dari perkawinan dengan Brawijaya V. Dari sini, Raden Patah menjadi anak tiri Arya Damar.
Perkawinan Arya Damar dengan Siu Ban Ci dikaruniai anak bernama Raden Husain alias Kin San. Jadi ia saudara tiri Raden Patah. Kakak-beradik ini, Jin Bun/Raden Patah dan Kin San/Raden Husain, merantau ke Jawa. Keduanya singgah ke Cirebon untuk berguru dengan Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Raden Patah melanjutkan perjalanan ke Surabaya berguru dengan Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Raden Husain mengabdi di Majapahit.
ADVERTISEMENT
Karena keintiman itu Kekuasaan Palembang pada zaman Demak yang dipimpin Pati Unus, sultan ke-2 Demak, bergabung dengan Jepara dalam pertempuran laut di Malaka 1512 setelah setahun sebelumnya Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Bila klaim sejarah bahwa Sumatera Selatan pernah dikuasai Majapahit, Kerajaan Sunda, dan para kesultanan di Tanah Jawa, itu hanya terjadi di Palembang sebagai pusatnya dan tidak menjangkau keseluruhan pedalaman Sumatera Selatan, karena suku-sukunya telah memiliki pemerintahan adat masing-masing dan tidak tunduk pada kekuasaan manapun seperti Marga Ranau.
Selain Ranau, ada marga Kikim, Komering, Semenda, Lintang, Pasemah, Pegagah, Rawas, Sekak Rambang, Lembak, Kubu, Gumay, Ogan, Bilida, Panukal, Rejang, dan sebagainya. Jumlahnya pada akhir abad ke-19 saja tembus 170-an marga.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan adat suku-suku itu bahkan tidak tunduk pada pemerintah Hindia-Belanda pasca kejatuhan Palembang Darussalam pada dekade kedua abad ke-19 sebagaimana yang banyak dikisahkan dalam sejarah perlawanan marga-marga ini terhadap kolonialisasi Hindia-Belanda. Justru akibat ketindaktundukan ini pemerintah kolonial membuat kebijakan unifikasi kesukuan di bumi Sriwijaya, termasuk dialami marga Ranau pada 1908.
Dalam sejarah Indonesia modern, penamaan marga di Sumatera Selatan banyak merujuk pada tipologi geografis, sistem keturunan dan kebijakan politik unifikasi kesukuan maupun re-unifikasi pengembangan administrasi teritorial sampai pasca kemerdekaan RI; jumlahnya mendekati 200-an marga.
Semua marga tersebut terikat oleh adat-istiadat masing-masing yang dipimpin oleh masing-masing “poyang” atau “pesirah” sebagai pemimpin tertinggi dalam ikatan adat (politik dan hukum) dan geneologi kekerabatan.
ADVERTISEMENT
Pada marga-marga besar seperti Ranau, mereka tampil sebagai kedatuan atau kerajaan kecil sebagaimana Keraton Saibatin Marga Ranau tadi. Keraton ini memiliki sistem keuangan tersendiri, disebut Nilayan Marga, semacam sistem APBN.
Saat Palembang Darussalam jatuh, pemerintah Hindia Belanda membagi wilayah Sumatera bagian selatan (Sumbagsel) ke dalam residen-residen; persis lima provinsi Sumbagsel sekarang dan pada zaman itu pusat kekuasaannya tetap di Palembang.
Danau Ranau di OKU (Dok. Pelita Sumsel)
Marga Ranau menjadi contoh unik unifikasi karena penggabungannya bukan hanya merujuk pada kecenderungan geneologis sebagaimana yang menjadi kecenderungan umum, tetapi dengan menisbatkan nama marga pada nama geografisnya, yaitu marga-marga di Danau Ranau.
Marga-marga bersifat geneologis ini punya poyang masing-masing yang membuka permukiman pertama kali di sekitar Danau Ranau sejak abad ke-15; bahkan di duga jauh sebelum itu oleh leluhur marga-marga ini sejak kejatuhan Sriwijaya dengan presenden adanya telasokrasi tadi yang berdampak terbukanya hutan-hutan rimba pedalaman menjadi pemukiman penduduk sebelum dikenal dengan istilah "dusun".
ADVERTISEMENT
Pada marga Ranau abad ke-15 ada tiga orang poyang yang masih mengikat kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat marga masing-masing sampai sekarang. Mereka itu: Poyang Singa Juhku--kelak dalam dialek lokal disebut Singajuru--berasal dari marga Sekala Brak Lampung yang menguasai sebelah timur Ranau; Poyang Umpu Sejadi Helau menguasai Ranau utara; serta Depati Alam Padang yang bermigrasi dari Pagaruyung-Sumatera Barat dan menetap di sebelah barat Ranau.
Status dan prestise masing-masing marga ditentukan oleh asal-usul dusun masing-masing sebelum dileburkan pemerintah Hindia Belanda menjadi marga besar Ranau, tetapi Singajuru tampil sebagai poyang paling senior di antara dua poyang lainnya. Maka dapat dimaklumi bila pasirah yang dipilih pertama kali untuk memimpin marga hasil penggabungan itu ialah keturunan langsung poyang Singajuru dan dapat dimaklumi pula bila ada pihak yang kurang setuju dalam kepemimpinan adat tersebut akibat perbedaan poyang dalam Marga Ranau.
ADVERTISEMENT
Pada zaman Hindia-Belanda, di antara keturunan Pangeran Singajuru sekaligus Pasirah Marga Ranau yang menonjol ialah Pangeran Achmad Abi Sudjak Berlian, ayahnya Letkol Moehammad Moeslimin. Pangeran Achmad menjadi Asisten Wedana Bangka-Belitung, pejabat tinggi pembantu kepala residen (bupati). Ia pasirah kedua yang memimpin Marga Ranau setelah Pangeran Amrah Depati Moeslimin; dan ia membuka sejumlah kampung-kampung di pedalaman Lampung Barat.
Lanskap politik rezim marga-marga Sumatera Selatan pada satuan teritorial dusun pada akhirnya mengkristal menjadi salah satu basis penyusunan tingkat daerah administratif di tanah air menyambut kemerdekaan RI. Pemikiran ini diinisiasi oleh Soepomo dengan membagi daerah besar dan daerah kecil RI pada sidang hari ke-6 BPUPKI, 15 Juli 1945. Tanggal ini menjelang dua hari sebelum masa sidang kedua BPUPKI berakhir yang berlangsung sepekan, 10-17 Juli, dan beragenda pokok membahas rancangan UUD.
ADVERTISEMENT
Ia menyambung gagasan Mohammad Yamin tentang struktur pemerintahan tingkat bawah, menengah dan tinggi kewilayahan RI. Yamin mengusulkan daerah kekuasaan RI dibentuk dengan mempertimbangkan satuan masyarakat desa yang memiliki ciri khas tradisi dan adat-istiadat serta mengikuti perkembangan zaman; ia lontarkan empat hari sebelum usulan Soepomo. Pemikiran Yamin ini dianggap sebagai benih konstitusi tentang pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Usulan Yamin dikongkritkan Soepomo dengan membagi karakter daerah di Indonesia. Daerah besar, usul Soepomo terdiri dari daerah-daerah swapraja atau daerah kerajaan Nusantara. Daerah kecil, terang Bapak paham negara integralistik ini ialah daerah yang memiliki susunan asli seperti Desa di Jawa, Nageri di Minangkabau, Dusun dan Marga seperti di Palembang, Huta dan Kuria di Tapanuli. Soepomo melanjutkan usulannya ini dalam sidang PPKI mengenai susunan dan kedudukan daerah-daerah di tanah air.
ADVERTISEMENT
***
Letkol Moehammad Moeslimin Suntan Singajuru I (Dok. Rama Deranau)
Karena Poyang Singajuru berasal dari Lampung Barat, garis keturunan Letkol Moehammad Moeslimin sangat dekat dengan kerajaan-kerajaan di Lampung. Ibunya bernama Siti Nuraini ialah Ratu Kepaksian Buay Belunguh, anak pertama Pangeran Jaya Dilampung, penguasa Kepaksian ini. Adik ibunya bernama Lela Amrin ialah Ratu Sekala Brak Kepaksian Buay Pernong, nenek dari Edward Syah Pernong, Sultan Sekala Brak Kepaksian Buay Pernong saat ini. Nenek Letkol Moehammad Moeslimin berasal dari Sekala Brak Kepaksian Buay Pernong, anak dari Pangeran Habiburrahman atau Sultan Sempurna Jaya.
Bergelar Suntan Singajuru I, ketokohan Letkol Moehammad Moeslimin di Sumatera Selatan melumat hal-hal kenisbatan tersebut. Ia hadir mengisi relung arti penting pemimpin dan kepemimpinan dalam situasi yang sungguh tidak normal: transisi kritis Orde Lama menuju Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Ia Bupati OKU periode 1968-1979; dimulai sejak beberapa bulan setelah kejatuhan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967 sekaligus naiknya Soeharto sebagai pejabat presiden sampai sekitar dua tahun setelah Pemilu kedua Orde Baru 1977 berlangsung.
Rentang 12 tahun ia menjabat dalam transisi besar kepemimpinan nasional dari Kabinet Ampera bentukan Soeharto selaku pemegang mandat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966-1968 sampai stabilitas pembangunan periode pertama Kabinet Pembangunan III 1978-1984: menunjukan tingkat kompetensi dan keterterimaan publik terhadap dirinya begitu tinggi.
Kepemimpinannya bak pembaharu karena ia menyambung spirit pembangunan mental karakter bangsa Indonesia ala Bung Karno dengan spirit pembangunan fisik ala Soeharto di segala bidang. Stabilitas politik sebagai pra syarat stabilitas pembangunan di segala bidang, dalam konteks kewilayahan Sumatera Selatan, ditunjang oleh ketokohan Letkol Moehammad Moeslimin sebagai petinggi Polrestabes Palembang selain jejak kemiliterannya zaman pra kemerdekaan dan revolusi fisik.
ADVERTISEMENT
Dalam istilah politik kontemporer, tingginya elektabilitas dan akseptabilitas kepemimpinan tersebut sepadan dengan lebelnya sebagai Bupati Terlama dalam sejarah politik OKU sejak zaman Orde Lama sampai sekarang pasca reformasi 1998. Hanya sanggup didekati oleh bupati penggantinya, Saleh Hasan, memimpin OKU satu dekade, 1979-1989.
Sebagai Raja Ranau yang melaksanakan sistem pemerintahan adat dengan kapasitasnya selaku Bupati OKU (hukum positif), corak kepemimpinan “dua kaki” ini menarik dikaji. Sebab jejaknya membekas dalam fundamental pembangunan fisik serta mental dan karakter keseluruhan OKU. Bahkan melalui upaya pengkajian kepemimpinannya dapat membongkar yang sengaja dilestarikan masyarakat Ranau yang kini dimanifestasi ke dalam mistisme, ritual adat, dan kesustraan, untuk digiring sesuai semangat zaman.
Arti kehadiran pemimpin sebagaimana ketokohan Letkol Moehammad Moeslimin di wilayah kekuasaannya pada zaman transisi kritis Orde Lama menuju Orde Baru, sangat penting dan mendasar justru dalam situasi genting yang super tidak normal. Dalam situasi normal, kehadiran pemimpin menjadi biasa saja.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, Suntan Singajuru I ini, dengan segala atribusinya yang lengkap sebagai tokoh politik, militer, budaya dan pembangunan di Sumatera Selatan, khususnya di OKU, dapat menjadi salah satu jembatan perjalanan panjang sejarah Indonesia modern.
Sejarah Indonesia modern pra kemerdekaan juga tercipta dari para tokoh besar lokal di masing-masing daerah seperti dirinya yang terlampau banyak tenggelam dari besarnya figur tokoh nasional. Padahal melalui dekonstruksi sejarah akan dapat ditelusuri peran penting tokoh-tokoh lokal sejenis ini dalam perlintasan sejarah panjang Indonesia yang menopang terciptanya bagian-bagian penting dari sejarah besar itu.
Sebagaimana Wawasan Nusantara sebagai geostrategi Indonesia yang tercipta dari rantai sambung-menyambung geografis Kepulauan dan biodiversitas demografis di dalamnya, kompleksitas sejarah Indonesia modern diurai dalam rangka mengisi fungsi-fungsi sejarah kebangsaan dalam aspek informatif, edukatif, inspiratif maupun pragmatis.
ADVERTISEMENT
Keseluruhan aspek tersebut sukses diserap keluarga besar Letkol Moehammad Moeslimin, sang Suntan Singajuru I. Tetapi kesuksesan tersebut tampak berbanding sejajar antara penyerapan spirit kesejarahan leluhurnya dengan berbagai peran komplit ketokohan keluarga besar “Singajuru” kontemporer.
Kesejajaran tersebut tak lain ‘keadilan sejarah’ bahwa kesuksesan dan kemuliaan bukan disumbang dari nasab, tetapi jejak peran dan manfaat dari sikap dan perilaku dengan berbagai jangkauannya. Kemuliaan nasab hanya ‘pagar’ ataupun ‘jangkar’ yang senantiasa menggiring pada berbagai kebaikan peran dan manfaat tersebut.
Itulah kenapa garis keturunan lurus kedua tokoh kunci Ranau ini, Pangeran Sungajuru maupun Suntan Singajuru I/Letkol Moehammad Moeslimin, sampai sekarang tetap diakui sebagai raja oleh kalangan masyarakat Ranau. Tidak semata pengakuan hal-hal kenisbatan nasab, tetapi peran sosial yang sukses ditembus anak-cucunya. Kiprah mereka tersebar hampir di segala bidang: politik, ekonomi, hukum, budaya, pendidikan, agama, sampai sains dan teknologi pada berbagai insitusi republik.
ADVERTISEMENT
***
Acara di halaman Keraton Adat Saibatin Marga Ranau, tampak Erwin Moeslimin Singajuru berpidato; dihadiri Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo (Dok. Erwin Moeslimin Singajuru)
Jika Letkol Moehammad Moeslimin merupakan keturunan paling menonjol Pangeran Singajuru di daerah Ranau pada zaman Orde Lama sampai pertengahan Orde Baru, pasca reformasi 1998 Erwin Moeslimin Singajuru yang bergelar “Dalom Singajuru Raja Penggalang Paksi” tampil sebagai keturunan Pangeran Singajuru paling menonjol di kalangan Marga Ranau. Ia putra Letkol Moehammad Moeslimin dan cucu Pangeran Achmad Abi Sudjak Berlian.
Bung Karno memang belum pernah singgah ke Istana/Keraton Adat Saibatin Marga Ranau dalam memastikan kemajuan OKU pada zaman Orde Lama sampai wafatnya di zaman Orde Baru, tetapi hal itu ditebus oleh Megawati Soekarnoputri pasca reformasi 1998 karena ketokohan Erwin di PDI Perjuangan.
Putra Letkol Moehammad Moeslimin ini dianggap tokoh paling mendekati gaya Taufiq Kiemas, mendiang suami Presiden RI ke-3 itu dalam merekatkan--kalau bukan disebut meleburkan--tiga golongan besar pendiri NKRI: Nasionalis, Islam, dan Sosialis. Andai sekalipun Muhammad Rizieq Shihab masuk ke PDI Perjuangan, hal itu dirintis Erwin Moeslimin Singajuru.
ADVERTISEMENT
Ia politikus unik; bernaung dalam partai nasionalis sekuler namun moderat dengan merangkul kelompok politik Islam sebagaimana ditunjukan pada aksinya pada 2006, 2012, dan 2018.
Pada pertengahan 2006, meski ia salah satu pendiri Banteng Muda Indonesia, sayap pemuda PDI Perjuangan, ia menggagas lahirnya ormas Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) sebagai wadah aspirasi politik Islam untuk partai Banteng ini setelah berdiskusi dengan Taufiq Kiemas; Mayjen TNI (Purn) Cholid Ghozali, mertua Jenderal Dudung Abdurachman; dan Din Syamsudin.
Tahun 2012, di tengah kehebohan publik atas wacana pembubaran ormas anti-Pancasila yang ditabuh KH. Said Aqil Siradj, ia tidak menyetujui usulan itu karena dirinya mengedepankan upaya persuasif secara elegan membumikan Pancasila; bukan seperti tangan besi Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Tahun 2018 di tengah suhu panas politik Pilpres 2019, publik heboh akibat pertemuannya dengan Muhammad Rizieq Shihab di sela-sela ia menunaikan ibadah umroh pada April 2018. Foto Erwin tengah bercengkrama duduk lesehan dengan tokoh itu viral hingga para fungsionaris PDI Perjuangan terbelah menyikapinya.
Erwin Moeslimin Singajuru berbincang dengan Muhammad Rizieq Shihab di sela-sela Erwin menunaikan ibadah Umroh 2018 (Dok.Istimewa)
Jauh sebelum itu, saat menjadi Ketua HMI Cabang Yogyakarta 1985-1987 sekaligus Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), ia salah satu aktor penting aktivis mahasiswa penolak Asas Tunggal Pancasila (Astung). Gara-gara ini aparat pelaksana khusus (Laksus) Kopkamtib Korem 072/Pamungkas empat kali menangkapnya.
Tahun 1986, ia bersama tujuh orang aktivis HMI Cabang Yogyakarta, Ujungpandang (Makassar), dan Jakarta datang ke arena Kongres ke-16 HMI di Padang menggunakan mobil CJ7 milik keluarganya di Lampung untuk menolak penggantian asas Islam pada HMI. Dalam perjalanan menuju arena kongres, mereka kucing-kucingan menghindari razia operasi gabungan aparat yang memasang barikade kawat berduri, tetapi mereka selalu lolos.
ADVERTISEMENT
Sejarah HMI mencatat: Kongres di Padang 1986 menjadi cikal-bakal lahirnya Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) HMI yang tetap memegang asas Islam; dan ia salah satu pentolan di balik lahirnya MPO ini.
Tantangan dan peluang zaman memang saling berbeda di tengah kompleksitas kesatuan dan persatuan bangsa sebagaimana sejarah politik di zaman Letkol Moehammad Moeslimin, tetapi spirit kemajuan zaman konstanta.[] Alfi Rahmadi