Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hukuman Mati, Netizen, dan Vonis 1,5 Tahun
21 Februari 2023 18:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Alfiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sempat menjadi trending topic di jagat maya dan menjadi perbincangan semua kalangan di Indonesia, bahkan menjadi perhatian dunia Internasional ketika Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis hukuman mati atau pidana mati kepada terdakwa Ferdy Sambo di kasus kematian mendiang Yosua Hutabarat.
ADVERTISEMENT
Bagaikan dua sisi mata uang tentu terhadap pidana mati ini selalu ada yang pro dan kontra dengan masing-masing pendapat dan pemahaman terhadap pidana mati tersebut. Namun, yang perlu dipikirkan adalah dasar pemidanaan mati itu mengacu ke Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 yang telah berumur 77 tahun.
Pertanyaan mendasar apakah masih relevan aturan yang dibuat dengan pemikiran, pemahaman serta perkembangan zaman pada tahun 1940-an diterapkan pada saat ini?
ADVERTISEMENT
Lebih dari setengah negara-negara yang ada di dunia telah menghapus praktik hukuman mati dan tren global menunjukkan penurunan vonis hukuman mati pada tahun 2020. Sebagian besar negara melihat hukuman mati sudah tidak efektif dan melanggar hak asasi manusia.
Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Negara Indonesia Tahun 1945 menyatakan dengan tegas bahwa hak untuk hidup adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).
Hal ini sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966, sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang bersifat melekat pada setiap individu dan merupakan hak yang harus dilindungi oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Hukuman mati pun bertentangan dengan maksud tujuan serta arti pemidanaan yang berdasarkan Putusan PK MA RI No. 39 PK/Pid.sus/2011 jo. No. 45 PK/Pid.sus/2009 bahwa tujuan pemidanaan adalah bersifat edukatif, korektif, dan preventif.
Maka dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, system pemasyarakatan diselenggarakan dengan berusaha untuk memanusiakan terpidana atau tahanan berupa memberikan pembinaan dan kesempatan untuk memperbaiki diri agar tidak mengulangi kesalahannya serta dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah bersama dengan DPR telah membentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang terbaru, yang dibuat oleh para ahli berdasarkan segala keilmuan telah berusaha untuk untuk mewujudkan tujuan dari pemidanaan dengan salah satunya mencoba menghindari Pidana Mati.
ADVERTISEMENT
Adapun hal itu tercermin pada pasal 100 KUHP Baru yaitu hakim menjatuhkan Pidana Mati dengan masa percobaan 10 tahun sehingga dimungkinkan vonis hukuman mati menjadi vonis seumur hidup tentu dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi.
Jelas dan terang bahwa bangsa Indonesia sudah mengambil posisi untuk meninggalkan pidana mati di mana sesuai dengan KUHP Terbaru yang berlaku pada tahun 2026. Jangan sampai karena hanya desakan dari masyarakat maupun media sosial, tujuan dari negara untuk meninggalkan pidana mati menjadi terlupakan, contohnya dari vonis hukuman mati kasus kematian mendiang Yosua Hutabarat.
Hal ini dapat dilihat pada tanggal 15 Februari 2023 yang di mana dunia hukum Indonesia heboh dengan keberanian yang ditunjukkan oleh Majelis Hakim Yang Mulia dalam memberikan vonis kepada Bharada E dengan vonis hukuman penjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.
ADVERTISEMENT
Menjadi trending topic dan pembicaraan hampir di semua televisi nasional terkait vonis tersebut. Bagi netizen mungkin hampir sebagian besar meluapkan kegembiraan atas vonis tersebut di dunia maya.
Banyak netizen yang memberikan perhatian lebih kepada kasus tersebut, yang belum tentu para netizen tersebut berlatar pendidikan dibidang hukum atau mengerti hukum. Para netizen hanya melihat dari satu sudut pandang tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah hukum yang lainnya.
Tentu hal menarik bagaimana netizen memberikan perhatian lebih kepada kasus tersebut karena suara tersebut begitu besarnya sehingga bagi penulis ada keyakinan suara-suara netizen tersebutlah yang memberikan keyakinan lebih kepada Majelis Hakim yang Mulia dalam menjatuhkan vonisnya kepada Bharada E.
Penulis yakin ketika Majelis Hakim membacakan vonis tersebut tidak sedikit termasuk para pembaca artikel ini merasakan mungkin terharu atau bahkan ikut senang padahal tidak ada hubungan kekerabatan dengan Bharada E, ibaratnya teman juga bukan, apalagi keluarga.
ADVERTISEMENT
Bagi penulis ini bentuk perhatian serta pembelaan netizen kepada hal–hal yang menurut netizen itu diperlakukan secara tidak adil sehingga penulis bertanya apakah independensi para pemegang kewenangan masih terjaga.
Memang, dengan perhatian netizen yang begitu besar membuat kasus menjadi lebih transparan dan menghindari agar tidak ada penyelewengan di kasus tersebut. Tetapi menjadi suatu pertanyaan kembali, apakah kasus harus viral terlebih dahulu, baru ditanganin dengan baik sesuai aturan yang berlaku.
Hal ini dapat dijawab oleh aparat penegak hukum dengan membuktikan melakukan penegakan hukum di kasus-kasus lainnya meskipun tanpa perhatian dari netizen.
Pada akhirnya, hukum harus ditegakkan sesuai dengan aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Seperti vonis hukuman mati dalam kasus Alm. Yosua Hutabarat dan vonis hukuman penjara terhadap Bharada E, apakah sudah sesuai dengan hukum yang berlaku atau hanya untuk memenuhi keinginan netizen.
ADVERTISEMENT