Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Benarkah Penegakan Hukum Pasar Modal Justru Dihadang Institusi Peradilan?
1 September 2024 11:12 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Musthakim Alghosyaly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tren kasus dalam industri pasar modal kian merebak di tanah air. Dalam rilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 13 Mei lalu, disebutkan bahwa selama tahun 2024, sanksi administratif atas pemeriksaan kasus pasar modal telah dijatuhkan kepada 55 pihak. Pada tahun 2023, dalam kurun waktu Januari s.d. Oktober, OJK telah menangani 104 kasus yang terdiri dari sanksi administratif berupa denda sebesar Rp58,85 miliar, 8 pencabutan izin, 1 pembekuan izin, 48 perintah tertulis, dan 23 peringatan tertulis.
ADVERTISEMENT
Pemberian sanksi administratif dalam rangka penegakan hukum tersebut bukan tanpa hambatan, melainkan OJK “kebanjiran” gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta). Dalam kurun waktu 2023-2024 (hingga tulisan ini dibuat), merujuk laman sistem informasi penelusuran perkara PTUN Jakarta, OJK telah tercatat menerima 24 gugatan, baik yang masih berproses pada tingkat pertama maupun yang sudah memasuki tahapan kasasi. Hal demikian mengindikasikan penegakan sanksi administratif, khususnya dalam industri pasar modal mendapat tantangan yang serius.
Kasus belakangan ini yang membuat dunia pasar modal melontarkan tanda tanya besar ialah perkara Michael Steven serta konglomerasi Kresna Group, yang berhasil membatalkan sanksi administratif dan perintah tertulis OJK hingga pengadilan tingkat banding di PTTUN Jakarta. Pada 9 Juli lalu, majelis banding menguatkan Putusan Nomor 438/G/2023/PTUN.JKT (Putusan 438) yang menganulir pemberian sanksi kepada PT KAM berupa denda sebesar Rp1,8 miliar dan perintah tertulis untuk mengakhiri Kontrak Pengelolaan Dana (KPD dengan para nasabah.
Sebagaimana hasil pemeriksaan OJK yang terungkap di persidangan, PT KAM selaku Manajer Investasi telah melanggar ketentuan pasar modal lantaran tidak mengalihkan dan bersikeras menempatkan dana-dana nasabah pada emiten yang terafiliasi dengan Kresna Group, walaupun emiten dimaksud mengalami deviasi yang kian memburuk. Pemerhati pasar modal, Budi Frensidy mengungkapkan bahwa saham-saham yang dikelola PT KAM, termasuk saham PT Kresna Graha Investama Tbk anjlok drastis dan hanya bernilai 6 rupiah perlembar. Alih-alih mengedepankan kepentingan nasabah, PT KAM justru memprioritaskan saham afiliasinya yang bernilai 6 rupiah itu dan akhirnya korporasi milik Michael Steven ini tidak mampu mencairkan dana-dana nasabah.
ADVERTISEMENT
Peliknya, bila menelaah penanganan Perkara 438, cukup terlihat bahwa pertimbangan hakim tingkat pertama dan banding, tidak mencermati kepentingan nasabah yang lebih luas, dan ajaibnya justru membebaskan PT KAM dari sanksi administratif dan perintah tertulis OJK. Singkatnya, pengadilan memenangkan kepentingan Michael Steven yang sebenarnya berstatus sebagai buronan Bareskrim Polri atas dugaan kejahatan di bidang pasar modal, penipuan, dan penggelapan. Hal yang dikhawatirkan adalah efek domino dari putusan Perkara 438 yang akan mendegradasi dan mendeligitimasi penegakan hukum di bidang pasar modal.
Pembatas Kewenangan Yudikatif dan Eksekutif
Masih dalam Perkara 438, terdapat sejumlah pertimbangan hakim yang mengandung kekeliruan mendasar. Misalnya, pemberian sanksi kepada PT KAM dilakukan tanpa melalui prosedur alternatif penyelesaian sengketa sehingga melanggar asas kepastian hukum. Kekeliruan majelis hakim ini yang tertuang pada halaman 170-171 putusan, sebenarnya dapat dihindari bila saja para pengadil membaca dengan saksama POJK 31/2020 tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Dalam ketentuan dimaksud, OJK berwenang untuk menilai apakah aduan masyarakat masuk dalam kelompok “pelanggaran” atau “sengketa”.
ADVERTISEMENT
Faktanya, PT KAM yang tidak mematuhi sejumlah ketentuan di bidang Pasar Modal, berdasarkan hasil pemeriksaan telah terbukti melakukan berbagai pelanggaran. Dalam hal suatu aduan terindikasi pelanggaran, maka alternatif penyelesaian sengketa tidak lagi diperlukan. Sederhananya, bila aduan memuat indikasi pelanggaran, maka dilakukan pemeriksaan oleh OJK dan ujungnya penjatuhan sanksi. Sebaliknya, dalam hal substansi aduan berisikan sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dengan nasabah, maka OJK memfasilitasi agar damai tercipta antar para pihak.
Pertimbangan hakim di atas, yang secara tidak langsung mengarahkan agar OJK mengambil tindakan tertentu, dapat dinyatakan sebagai abuse of power sebab dalam kacamata hukum tata negara, pengadilan dalam rumpun kekuasaan yudikatif, telah mencampuri wilayah kekuasaan eksekutif. Dalam buku Hukum Administrasi Indoneisa, Philipus M. Hadjon menerangkan bahwa konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif, memiliki makna bahwa antara kekuasaan yang satu tidak diperbolehkan mencampuri kekuasaan yang lain.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, perlu adanya pembatasan terkait pengujian yang dilakukan oleh PTUN, supaya marwah eksekutif dengan hak ekslusifnya jangan sampai dicampuri oleh hakim yang notabene duduk sebagai yudikatif. Adalah tidak tepat bila hakim pada Peradilan TUN menggunakan dalil domunis litis (hakim aktif) untuk mengekspansi objek pengujian hingga mencampuri jenis kewenangan atributif yang dimiliki oleh OJK dalam pemberian sanksi kepada pelanggar di sektor pasar modal.
Sejalan dengan pandangan di atas, menurut hemat penulis, cakupan pengujian keputusan oleh peradilan TUN adalah dengan memeriksa dan menilai keterpenuhan syarat prosedur, substansi, dan kewenangan dalam proses penerbitannya. Cukup sampai di situ. Mutatis-mutandis, maka pengadilan tidak berhak mengintervensi pilihan tindakan atau kebijakan badan/pejabat administrasi yang melaksanakan tugas pelayanan publik, sebab dapat menimbulkan problem bagi efektivitas kewenangan lembaga eksekutif.
ADVERTISEMENT
Tantangan Penegakan Hukum Administrasi
Sulit dipungkiri bahwa perkara yang memiliki benang merah dengan kepentingan Sang Buron (Michael Steven), bisa-bisanya diberikan kemenangan pengadilan. Terlepas dari segala fakta yang tertungkap di persidangan, hakim sejatinya dibebani amanah untuk mengikuti rasa keadilan yang bertumbuh serta berkembang di masyarakat sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Mahkamah Agung.
Silogisme dari ketentuan dimaksud sejalan dengan pandangan E. Utrecht yang pada pokoknya dalam kasus tertentu, prinsip doelmatigheid (asas kemanfaatan) keputusan tata usaha negara lebih penting daripada sesuai tidaknya dengan hukum positif “rechtmatigheid”. Diperjelas oleh Sudikno Mertokusumo bahwa asas doelmatigheid memiliki tingkat prioritas yang lebih tinggi daripada asas rechtmatigheid, sehingga dalam kondisi apapun ketika asas rechtmatigheid dan asas doelmatigheid ini sangat tidak sejalan bahkan menjadi nampak kontras sekali, maka asas doelmatigheid yang harus didahulukan. Dalam praktiknya, Putusan Mahkamah Agung Nomor 456/K/TUN/2015, halaman 74, paragraf ke-2, juga menguraikan hal serupa, yaitu: pemeriksaan dan pengujian objek sengketa TUN oleh PTUN tidak hanya didasarkan kepada segi rechtmatigheid semata, tetapi harus juga memperhatikan segi doelmatigheid yang lebih mengedepankan kemanfaatan dan bersifat futuristik.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, penegakan hukum administrasi oleh kekuasaan eksekutif selamanya akan mendapatkan tantangan bila para pengadil tidak memahami suasana kebatinan masyarakat yang dipertaruhkan di balik keputusan tata usaha negara (TUN). Dalam kasus OJK, manfaat keputusan TUN berupa pemberian sanksi denda kepada PT KAM dan pengakhiran KPD, adalah untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat tindak tanduk Michael Steven dan konglomerasinya.
Pertanyaan a contrario, apakah Putusan PTUN yang membatalkan keputusan lembaga administrasi dapat membawa manfaat? Secara kasuistis iya, seperti perkara Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT Gema Kreasi Perdana dengan warga Pulau Wawonii. PTUN Kendari mengambil langkah yang membawa manfaat bagi perlindungan lingkungan hidup dengan membatalkan IPPKH tersebut lantaran PT GKP menambang nikel di pulau-pulau kecil, yang sebenarnya mengancam ekosistem kehidupan serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, penulis hendak menegaskan bahwa penegakan hukum administrasi perlu didudukkan pada kepentingan publik yang lebih luas, bukan bagi segelintir pihak tertentu. Majelis hakim PTUN mesti menelusuri implikasi putusannya bagi masyarakat terdampak sebab sifat putusan PTUN di samping mengikat para pihak (inter pares), juga bersifat erga omnes (mengikat bagi pihak lain di luar perkara). Kita tentu tidak mengharapkan putusan PTUN justru menjadi penghambat penegakan hukum administrasi yang kontraproduktif dengan kepentingan publik.
Musthakim Alghosyaly
Associate INTEGRITY Law Firm