Konten dari Pengguna

Lupakan Pemilu yang Runyam, Jalani Ramadhan dengan Damai

Ali Sajad
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11 Maret 2024 11:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Sajad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Hari pencoblosan telah lama berlalu, namun anggota KPU masih berjibaku dengan waktu. Mereka masih membenahi data-data perolehan suara yang belum padu, demi mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat yang mulai layu. Sudah tak terhitung berapa kali KPU memberikan klarifikasi rancu, yang tentu membuat kita semakin ragu. Apakah lembaga ini benar-benar mampu untuk tidak memihak kepada salah satu?
ADVERTISEMENT
BAWASLU yang seharusnya mengawasi sejak awal masa kampanye pemilu, malah terindikasi mendukung “kubu biru”. Lembaga survei juga tak lebih baik dari itu. Uang yang digelontorkan oleh salah satu paslon menjadi pemicu, menyebabkan pemilu tahun ini tak layak ditiru. Meski ada yang menyangkal fakta itu, tapi hati yang bersih dan pikiran yang jernih tak akan terpedaya semudah itu.
Presiden? Apalagi Pak Jokowi. Yang dulunya hanya bisa memotong kayu, sekarang mampu membegal MK dan menjadikanya babu. Para menteri juga membisu setelah dipanggil KPK kemudian dipaksa mendukung “si gemoy palsu”. Mereka enggan mengundurkan diri dari jabatannya, meski mendapat banyak cemooh dan gerutu. TNI dan Polri ia kerahkan untuk melobi kepala desa agar tidak condong ke 03 dan 01. Pak Jokowi yang dulu lugu kini berubah menjadi orang dengan manuver berkuasa paling jitu.
ADVERTISEMENT
Kubu ini dipandang berkepala batu, dan enggan diberi tahu. Mereka menggaungkan demokrasi padahal Pak Jokowi sedang membangun politik dinasti. Lembaga-lembaga independen disandera demi memuluskan jalan Gibran. Aturan diotak-atik demi meloloskan PSI, partai yang dinahkodai si adik. Padahal seharusnya aturan dibuat secara rasional bukan karena ada kepentingan “ordal”.
Belum dinyatakan menang namun program makan siang gratis sudah dibahas dalam rapat kabinet, yang tentu saja sangat janggal dan tidak etis di mata pakar politik dan juga warganet. Real-count disembunyikan, transparasi diabaikan, pihak yang melakukan protes seperti tak didengarkan. Mengenaskan bukan?
Kita, bahkan orang awam tentu tak akan mengiayakan apa yang terjadi saat ini. Beberapa di antara mereka yang menengadahkan tangannya saat pembagian Bansos tidak sepenuhnya setuju dengan peserta pemilu yang mengkhianati konstitusi. Mereka hanya takut anaknya menangis karena di atas meja tidak ada sepiring nasi. Mereka hanya khawatir anak-anak mereka kekurangan nutrisi. Ya, ini hanya urusan perut yang tak berisi, bukan urusan hati.
ADVERTISEMENT
Beruntung, setelah 30 hari kita hidup dalam hiruk-pikuk hari pencoblosan, 30 hari ke depan kita akan menjalani puasa Ramadhan. Bulan mulia ini memberikan kita ruang agar kita tak selalu terjebak dalam atmosfer perebutan kekuasaan. Mengalihkan pikiran dan perhatian kita dari isu-isu politik yang “menggelitik” menuju penghambaan yang khusyu’ pada Tuhan.
Memenuhi shaf-shaf dalam masjid saat ini lebih dibutuhkan daripada memenuhi story media sosial kita dengan umpatan karena berbeda pandangan dan pilihan. Saat ini adalah waktunya memperbanyak doa, panjatkan pada Tuhan, berhenti berharap pada manusia-manusia yang haus kekuasaan. Datangi tempat ibadah, ramaikan dengan tadarus Qur’an, hiasi malam dengan penuh pengharapan dan kebahagiaan.
Bukan saatnya lagi kita mempersoalkan politik identitas. Tidak ada lagi istilah minoritas dan mayoritas. Kita semua adalah pemeluk agama yang dipersatukan oleh Indonesia, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tampil di tengah masyarakat untuk menyatukan pikiran dan mendapat dukungan memang penting, namun mendekatkan diri pada Tuhan tidak boleh dilupakan agar tak mudah terombang-ambing.
ADVERTISEMENT
Istirahatlah sejenak. Berhenti memikirkan para paslon yang belum tentu memenuhi semua janji-janji yang membuat bising telinga. Jangan lagi mati-matian membela mereka yang wajahnya bertebaran di baliho-baliho yang mengganggu pandangan mata. Masa jabatan mereka tak akan lama, hanya sementara, sedangkan urusan kita dengan Tuhan tak akan berhenti hanya di dunia saja.
Sadarlah, para memimpin kita hanya memikirkan kita ketika hidup di dunia, tidak di alam baka. Jangankan kita, bahkan keluarga terdekatnya tidak lagi mendapat perhatian mereka. Di sana, masing-masing orang sibuk untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sambutlah Ramadhan sebagaimana kita menyambut hari raya. Sambutlah Ramadhan sebagaimana kita menyambut kedatangan orang tersayang. Sambutlah Ramadhan tahun ini sebagaimana kita menyambut Ramadhan di tahun sebelumnya, dimana kita tidak dilelahkan oleh permainan para elite yang memperebutkan kursi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Lupakan pemilu yang runyam, jalani Ramadhan dengan damai. Jangan lupa untuk tetap saling menghargai antar umat beragama. Mungkin kita berbeda dalam hal agama dan keyakinan, namun kita sama dalam hal kemanusiaan. Dari pada saling menjatuhkan karena berbeda pilihan, lebih baik kita berdoa agar Indonesia senantiasa baik-baik saja dan aman, berdoa agar pajak tidak terus dinaikkan.