Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Mengenal Model Manajemen Risiko Pariwisata ala Faulkner
6 April 2025 9:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Alicia Kirbi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saat akhir pekan tiba, banyak orang memilih melepas penat dengan berlibur ke alam. Salah satu destinasi yang sering diperbincangkan adalah Coban Lanang, sebuah air terjun memesona di Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Bukan hanya pemandangan yang menggoda mata, tapi juga akses yang mudah membuat tempat ini menjadi favorit wisata keluarga maupun rombongan muda yang ingin mencari udara segar dan konten menarik untuk media sosial. Namun di balik keindahan itu, potensi bahaya juga mengintai. Kolam dengan kedalaman bervariasi, aliran air deras, hingga jalur licin bisa menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan baik. Di sinilah konsep manajemen risiko wisata menjadi sangat penting. Artikel ini menjelaskan praktik manajemen risiko berdasarkan model Faulkner yang diterapkan di destinasi wisata alam air terjun seperti Coban Lanang.
ADVERTISEMENT
Coban Lanang dan Realita Risiko di Wisata Alam
Coban Lanang bukan sekadar tempat foto-foto cantik. Air terjun ini memiliki tinggi sekitar 15–20 meter, dengan kolam alami yang terbentuk di bawahnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hardian M. Akbar dan Made Bambang Adnyana (2024), tempat ini mengalami lonjakan kunjungan setelah dilakukan renovasi besar-besaran. Tapi peningkatan kunjungan ini juga diiringi oleh tantangan baru, terutama terkait keselamatan pengunjung.
Dalam observasi lapangan, peneliti menemukan bahwa ada sejumlah risiko yang signifikan. Pertama, kedalaman kolam yang tidak seragam bisa membahayakan pengunjung, terutama anak-anak atau yang tidak pandai berenang. Kedua, medan di sekitar air terjun cenderung licin, apalagi saat musim hujan tiba. Ketiga, arus air yang kuat dapat menyeret tubuh tanpa disadari, dan ini sangat berbahaya jika tidak ada sistem pengamanan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Sebagai respons, pengelola mulai menerapkan beberapa langkah preventif, seperti memasang papan peringatan berwarna kuning yang mencolok untuk menunjukkan kedalaman air dan zona bahaya. Warna kuning dipilih karena secara universal diasosiasikan dengan peringatan. Tak hanya itu, edukasi bagi petugas keselamatan dan rencana evakuasi darurat pun mulai disusun. Namun langkah ini belum cukup jika tidak disusun secara sistematis. Maka dari itu, pendekatan teori manajemen risiko dari Faulkner menjadi acuan penting untuk memperkuat sistem keamanan wisata di Coban Lanang.
Mengenal Model Manajemen Risiko Faulkner
Bill Faulkner (2001), pakar manajemen pariwisata, mengembangkan Model Manajemen Risiko Terpadu (Integrated Risk Management Model) yang sering dijadikan pedoman dalam merancang sistem keamanan di destinasi wisata. Model ini menekankan bahwa risiko harus diantisipasi bahkan sebelum bencana terjadi.
ADVERTISEMENT
Model Faulkner terdiri dari enam tahap, diantaranya sebagai berikut :
ADVERTISEMENT
Model ini tidak berhenti pada tindakan saat krisis saja, tapi menekankan pentingnya sistematisasi dari awal hingga akhir. Proses ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pengelola, pengunjung, komunitas lokal, hingga pemerintah daerah. Komunikasi, konsultasi, dan keterlibatan semua stakeholder menjadi elemen penting yang tidak boleh diabaikan.
Penerapan Langsung Teori Faulkner di Coban Lanang
Menurut penelitian Akbar dan Adnyana, beberapa elemen dari teori Faulkner sudah mulai diterapkan di Coban Lanang, meskipun belum sepenuhnya komprehensif. Tahap pra-peristiwa dilakukan dengan observasi medan, wawancara dengan pengunjung, dan analisis dokumen pengelolaan kawasan wisata. Data ini menjadi dasar dalam menyusun peta risiko.
Tahap prodromal terlihat dalam tindakan preventif seperti pemasangan papan peringatan, desain jalur aman, serta rambu larangan menyelam. Informasi yang dicantumkan dibuat dalam bahasa yang mudah dipahami dan disertai ikon visual, sehingga pengunjung dari berbagai latar belakang bisa cepat memahami.
ADVERTISEMENT
Untuk tahap darurat, pengelola dilatih untuk memberikan pertolongan pertama dan melakukan evakuasi jika terjadi insiden. Pelatihan ini juga diperkuat dengan pelibatan komunitas lokal agar tidak hanya petugas resmi yang tanggap, tetapi juga warga sekitar.
Di tahap intermediate dan pemulihan, sistem monitoring berkala diterapkan. Papan yang rusak diganti, jalur yang licin diperbaiki, dan kondisi sekitar selalu dipantau setelah hujan deras atau lonjakan pengunjung. Umpan balik dari wisatawan dikumpulkan melalui kotak saran dan evaluasi dilakukan secara berkala untuk mengidentifikasi titik rawan baru.
Terakhir, pada tahap resolusi, pengelola melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi keselamatan yang telah diterapkan. Hasil evaluasi ini menjadi dasar untuk memperbarui standar operasional dan menyusun rencana jangka panjang agar Coban Lanang tidak hanya aman, tetapi juga menjadi destinasi edukatif dalam praktik manajemen risiko wisata.
ADVERTISEMENT
Menuju Wisata yang Aman, Nyaman, dan Berkelanjutan
Penerapan manajemen risiko bukan hanya soal menghindari kecelakaan, tetapi juga membangun kepercayaan publik terhadap destinasi wisata. Ketika pengunjung merasa aman, mereka akan lebih nyaman, puas, dan kemungkinan besar akan kembali atau merekomendasikannya kepada orang lain. Hal ini tentu berdampak langsung pada keberlangsungan ekonomi lokal dan reputasi wisata jangka panjang.
Coban Lanang telah menunjukkan langkah-langkah awal yang baik. Namun, agar strategi ini berkelanjutan, pengelolaan risiko harus terus diperbarui mengikuti dinamika alam, cuaca, dan perilaku wisatawan. Edukasi kepada pengunjung juga perlu ditingkatkan, termasuk melalui media digital dan aplikasi mobile sebagai panduan keselamatan.
Partisipasi komunitas lokal dalam pelatihan dan pemantauan juga harus diperluas. Ketika masyarakat sekitar ikut merasa memiliki, maka upaya menjaga keselamatan dan kelestarian akan menjadi bagian dari budaya bersama. Dengan pendekatan seperti ini, Coban Lanang bisa menjadi contoh nyata praktik manajemen risiko berbasis komunitas dan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka