Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pandemi Bukan Penghalang untuk Membahagiakan Diri
15 Juni 2021 17:27 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Alifia Putri Yudanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Padahal selain menjaga protokol kesehatan, Satgas Penanganan Covid-19 juga menganjurkan masyarakat untuk menjaga pikiran positif dengan menghindari stres agar daya tahan dan imun tubuh terjaga.
Salah satu cara untuk menjaga imun adalah dengan bahagia. Namun, pandemi telah mengubah cara seseorang dalam meraih kebahagiaan. Ketika kita merasa bahagia saat menghabiskan waktu dengan teman,—seperti jalan-jalan atau nongkrong—pandemi membatasi kegiatan itu. Alhasil, terkadang kita merasa "terjebak" karena tidak dapat melakukan rutinitas.
Di dalam rumah, perbatasan antara pekerjaan rumah dan pekerjaan formal menjadi sangat tipis. Apalagi saat kita memiliki lebih dari satu peran, pasti beban pekerjaan yang ditanggung lebih besar daripada anggota keluarga yang lain. Hal itu tentu menyebabkan kelelahan fisik dan mental.
Melansir dari The Indonesian Institute , berdasarkan data swaperiksa yang dihimpun Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari April sampai Agustus 2020, sebanyak 3.443 orang mengeluhkan masalah psikologis.
ADVERTISEMENT
16% pasien menyampaikan permasalahan trauma psikologis, 47,9% memperlihatkan gejala kecemasan, dan 36,1% menunjukkan gejala depresi. Data tersebut terlihat mengkhawatirkan karena naiknya jumlah orang yang mengalami permasalahan psikologis pada masa pandemi.
Emang kenapa sih kita harus bahagia?
Aristoteles mengungkapkan kalau kebahagiaan itu terdiri atas dua aspek, yaitu hedonis dan eudemoni. Kebahagiaan hedonis mengacu pada kesejahteraan subjektif melalui aspek eksternal sedangkan eudemoni adalah pemaknaan yang dilakukan ke diri sendiri. Kedua aspek kebahagiaan tersebut sangat diperlukan oleh kita pada masa pandemi.
Setiap orang tentu memiliki makna yang berbeda soal kebahagiaan. Misalnya, sebagian orang bahagia saat BTS mengeluarkan single terbaru atau sebagiannya lagi bahagia saat bisa makan mi ayam. Nah, lebih bahagia lagi saat orang yang memiliki dua parameter kebahagiaan itu digabungkan: bisa dengerin lagu BTS sambil makan mi ayam!
ADVERTISEMENT
Melansir dari situs Positive Psychology , beberapa peneliti berpendapat bahwa perasaan bahagia bisa memicu seseorang untuk melakukan aktivitas yang lebih sehat, seperti olahraga, makan makanan sehat, bersosialisasi, dan kebiasaan tidur yang baik. Saat bahagia, dopamin dan serotonin akan dihasilkan oleh tubuh sehingga kita menjadi semangat dan terpacu untuk melakukan banyak aktivitas.
Terus-terusan memiliki perasaan negatif akan berdampak buruk terhadap kesehatan karena akan dapat memicu hipertensi. Hormon adrenalin dan neurotransmitter yang dikeluarkan secara berlebihan akan membuat kerja jantung menjadi lebih berat sehingga menimbulkan perubahan set poin yang tinggi pada tekanan darah.
Kita memerlukan kebahagiaan untuk melanjutkan hidup. Pikiran yang bahagia dan positif akan menghasilkan tubuh yang sehat. Bahagia juga membuat seseorang memiliki makna dalam hidupnya. Bahagia yang dimaksud adalah ketika dilakukan dengan porsi yang tepat. Tentu, saat kita sedang merasa emosional, kita tidak perlu berpura-pura bahagia.
ADVERTISEMENT
Jangan Sampai Keliru! Bedakan Rasa Bahagia dengan Toxic Positivity
Bahagia itu baik. Tapi, bahagia ternyata tidak harus selalu dilakukan, loh. Sebelum bisa bahagia, kita harus mau menerima segala perasaan negatif terlebih dahulu, seperti sedih, takut, dan cemas. Kalau tidak bisa menerima perasaan negatif itu, stres pun akan muncul.
Kita harus dapat membedakan antara kebahagiaan sesungguhnya dan kebahagiaan palsu. Toxic positivity adalah situasi saat kita dituntut untuk selalu bahagia tanpa mengenal keadaan. Padahal, kita sebagai manusia memiliki emosi dan reaksi negatif juga.
Toxic positivity dapat membawa kita ke pemikiran tidak realistis. Kita hanya akan melihat solusi permasalahan yang bias dari satu sisi. Ketika terus-menerus memiliki mindset ini, kita akan “terjebak” sehingga perasaan positif akan mendominasi. Akibatnya, perasaan negatif kita tidak memiliki penerimaan.
ADVERTISEMENT
Berada dalam situasi yang tidak normal, seperti pandemi membuat reaksi baru terhadap segala hal. Justru, penerimaan bahwa kita sedang tidak baik-baik saja adalah langkah awal untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Oleh Karena Itu, Mulailah Menemukan Makna dan Tujuan Hidupmu
Setelah sudah berhasil menerima segala perasaan di dalam diri. Selanjutnya, kita perlu tahu makna atau tujuan yang membuat bahagia. Kalau belum bisa memulai pada hal-hal besar, cukup mulai dari hal kecil yang terkadang tidak disadari. Misalnya, kamu bahagia saat melihat kucing. Maka, jadikanlah hal tersebut sebagai parameter kebahagiaanmu.
Untuk mengetahui sesuatu menjadi pemicu kebahagiaan, kita dapat membuat daftar, loh. Setelah membuat daftar, mulailah untuk mengidentifikasi,
Karena, terkadang kita juga terjebak dalam bahagia yang semu dan negatif, misalnya senang saat melihat orang lain dalam kesulitan.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, jangan pernah membandingkan kebahagiaan diri sendiri dengan orang lain. Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam meraih kebahagiaan. Kita semua berhak bahagia dengan cara kita masing-masing.
Sudahkah kamu membahagiakan dirimu sendiri hari ini?